Pages

Saturday, 20 June 2015

Buat Apa Punya Angkatan Udara Tapi Ecek Ecek

 Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal Purnawirawan Chappy Hakim
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal Purnawirawan Chappy Hakim
Bandara Halim Perdana Kusuma, sekaligus pangkalan udara militer untuk pertahanan nasional kini kembali dijadikan penerbangan komersil. Era Orde Baru, Bandara Halim memang pernah dijadikan tempat mengudaranya pesawat komersil saat Bandara Internasional Soekarno Hatta dalam proses pembangunan.

Menjadikan Bandara Halim untuk penerbangan komersil dinilai berbahaya. Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal Purnawirawan Chappy Hakim menilai salah jika Bandara Halim harus kembali dijadikan penerbangan komersil. Apalagi alasannya menurut dia bukan untuk kepentingan nasional, melainkan hanya untuk bisnis.

“Itu yang mau saya bilang. Jadi tentara ini jadi pusat pertahanan udara nasional dikorbankan sebagai akibat dari salah urus International Airport di Cengkareng,” kata Chappy saat berbincang dengan merdeka.com di kantornya, Jalan Pejaten Barat Nomor 6, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu kemarin.

Berikut penuturan Chappy Hakim kepada Arbi Sumandoyo, Muhammad Hasits Masrukin dan Juru Foto, Muhammad Lutfi Rahman dari merdeka.com:

Kembali ke media sosial tadi, kenapa akhirnya anda menulis di Twitter ‘bubarkan saja TNI AU’?
Twitter itu bukan penjelasan kepada media. Twitter itu adalah penjelasan sosial yang masuk ranah pribadi. Karena dia terbuka, bisa saja orang menanyakan. Tapi secara kepantasan dia tidak boleh untuk mengadu domba, untuk manas-manasin. Ada tiga poin belum terkonfirmasi, saya juga terjebak media juga. Bandara Halim dijadikan penerbangan komersil, di Soekarno Hatta, Paskhas diganti Marinir, kemudian ada lagi Panglima TNI tidak usah giliran. Dari ketiga ini dengan plus pengalaman saya puluhan tahun memang negeri ini tidak membutuhkan Angkatan Udara. Buat apa kalau tidak dibutuhkan. Kan boros. Buat apa bikin Angkatan Udara ecek-ecek.

Bayangin, Bandara Halim itu adalah markas besar pertahanan udara nasional, yang merupakan bagian dari sistem keamanan nasional. Yang run way-nya cuma satu dikasih untuk penerbangan komersial. Masuk akal tidak sebagai warga negara yang punya tanggung jawab? Sekarang orang tanya begini, dulu kan bisa kenapa sekarang enggak bisa. Oke. Terus ada yang tanya kenapa Angkatan Udara diam saja? Angkatan Udara diam saja kalau presiden dan wakil presiden ngomong, “Dek tolong dibantu dulu dek ya” selesai, siap kerjakan. Dia tidak mungkin protes, dia bukan LSM.
Kalau saya protes, saya puluhan tahun di Halim. Saya tau diperlakukan tidak benar. Waktu itu masih bisa diterima kalau alasannya kepentingan nasional. Kepentingan nasional yang mana? Ada dulu, ada Repelita, ada rencana bikin Cengkareng. Kalau kita mau membantu, bantu dong kita karena mau bikin Cengkareng. Pembangunan Nasional mana, ada di rencana pembangunan nasional. Jadi masih masuk akal kalau dibandingkan dulu. Kenapa harus dibantu dulu? Desain Halim itu bukan untuk penerbangan komersial. Desain halim itu, untuk Air Force Base. Dia enggak ada Rappid Taxi Way, enggak ada Taxi Way untuk parkir pesawat. Dia ada satu run way yang panjang, di sini adalah Flight Line untuk commbad redines, pesawat-pesawat tempur untuk isi senjata segala macam, untuk pesawat angkut isi logistik. Orang, senjata atau pasukan. Jadi dia keluar terus masuk lagi.

Nah itu dipaksakan untuk komersial. Dulu ok..ok, karena untuk pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang mana ada Repelita. Repelita yang mana, ada Soekarno Hatta. Jadi jelas sekali, kalau kita bantu sampai Cengkareng selesai. Sekarang bantu dong untuk pembangunan nasional, pembangunan nasional yang mana? Ada enggak rencananya?.

Itu bukan karena ada wacana pemindahan bandara ke Karawang karena Soekarno-Hatta sudah padat?
Itu yang mau saya bilang. Jadi tentara ini jadi pusat pertahanan udara nasional dikorbankan sebagai akibat dari salah urus International Airport di Cengkareng. Cengkareng itu sudah dibikinin desainnya oleh Aero Pertu de Paris, itu sudah desain paling top di dunia. Dibikinin tahapan-tahapannya. Tapi tahapannya tidak dilakukan, pertumbuhan penumpang didiamkan saja. Setelah delay 12 jam panik mau ngapain, dikembalikan ke Halim. Ini bukan untuk pembangunan nasional, tapi untuk orang cari duit. Untuk bisnis, untuk komersial. Boleh-boleh saja sih, karena negara dalam memenuhi cita-citanya ada dua aspek. Ini yang harus diperhatikan, aspek security dan aspek prosperity. Ke mana dia beratnya? Sekian persen ke sini, sekian persen ke sini, itu yang namanya National Policy. Tetap di Pemerintah.

Tetapi, National Policy itu biasanya bersandar pada National Master Plan. Australia misalnya, punya Australian White Paper. White paper itu ada defense white paper, political white paper, semua white paper. White paper itu adalah buku sucinya negara, suatu pemerintahan dalam menjalankan kendali negara ini dalam menuju final destination. Jadi setiap ada perkembangan dia bikin buku itu. Jadi tidak per lima tahun, tapi setiap perkembangan.

Kalau anda melihat ini, artinya pusat pertahanan udara nasional dalam kondisi bahaya?
Bukan bahaya. Tidak dihargai. Tidak dihitung. Tidak diperhitungkan. Tidak di pedulikan. Tidak diperlukan namanya. Lebih diperlukan penerbangan komersial.

Apa solusinya?
Itukan akibat, itukan penyakit. Kalau kita datang ke dokter, apa kita langsung dapat obat. Orang selalu mendesak, Angkatan Udara harus ngalah. Enggak bisa, itu penyakit. Penyakit itu dicek dulu, yang menyebabkan penyakit itu apa. Itu baru namanya solusi. Kalau itu namanya memindahkan masalah, bukan solusi.

Singapura itu tidak lebih dari Kramat Jati. Pada waktu dia bikin Changi dia enggak tutup tuh Sailetar, Taylebar. Kenapa? Value dari aero drone itu terlalu tinggi untuk dimusnahkan. Itu yang negaranya kecil lho. Kita yang negaranya gede banget, Kemayoran itu ditutup, dijadikan tempat dagang dan dihancurkan semua spesifikasi aero drone di sana. Changi, kalau kamu di samping Changi itu ada jalan raya lurus yang ada pot-potnya yang remover, yang dalam 1×24 jam jika dibutuhkan untuk Changi yang sudah darurat atau apapun ini bisa dibersihin jadi Run Way. Karena jalan raya itu kualifikasinya adalah Run Way. Begitu.

Sebelum Halim dijadikan penerbangan komersil, bukankah banyak pesawat carter dan pribadi terparkir di sana, artinya sama saja?
Kalau sudah sampai dalam tahap sama saja, tidak usah tanya saya lagi, you now? Apa yang mau dianalisis di sini. Kalau saya bilang tidak sama. Bagaimana bisa bilang sama, harusnya dikembangkan Air Force Base, Halim itu Subsistem dari sistem pertahanan udara lho. Buang duit banyak buat beli pesawat untuk ber-home base di Halim. Terus enggak dikasih kesempatan untuk latihan, apa namanya? Saya di sana puluhan tahun dan saya tahu waktu itu kita harus mengungsi ke Bandung dan ke Lampung karena pada waktu itu memang sempit. Sekarang sudah meluber semua, bohong kalau tidak terganggu. Saya saksi hidup, puluhan tahun saya training di situ terganggu. Enggak bisa begitu, itu akibat perencanaan yang tidak ada. Solusinya gimana dong? Bikin rencana, perbaiki manajemen.

Menurut anda perlu kah jika dibuat Pangkalan Udara lagi pengganti Halim khusus untuk Angkatan Udara?
Perlu enggak Angkatan Udara, itu saja jawab. Selalu orang mengatasnamakan nasional terus yang lain mesti minggir. Iya kan? Ini kan pembangunan nasional, jadi minggir kan? Boleh aja, tapi yang tadi saya bilang memerlukan security atau prosperity. Security enggak perlu silakan. Saya hanya melihat seperti itu dan saya kasih tahu dan saya punya moral mengingatkan. Tapi saya punya pemikiran yang bertanggung jawab, yang saya bertanggung jawab pemikiran-pemikiran itu saya berbagi.

Saya dari letnan dua sampai bintang empat masih terbang di Halim. Ada perbaikan? Enggak ada tuh, diperes aja tuh Halim. Enggak ada niat. Yang diartikan di sini adalah bagaimana mengelola yang baik. Mengelola Cengkareng yang enggak bener begitu mau mengelola Halim? Bisa dibayangkan kaya apa gitu. Kan tidak ada perang, ya makanya saya bilang bubarin aja.

Banyak yang menilai, pertahanan itu diperlukan jika hanya ada perang?
Ini pemahaman kebangsaan. Saya tidak menyalahkan kamu, bagus kamu punya pemikiran begitu. Saya kasih contoh Singapura, sebelum pelajaran dimulai dia harus nyanyi lagu kebangsaan “Majulah Singapura”. Bayangin dari taman kanak-kanak sampai SMA. Apa yang terjadi, dia disadarkan bahwa dia adalah seorang Singapura. Dia punya masalah besar lho, orang China, orang India, orang kaya, orang miskin, pada umumnya usia 18 tahun dia harus masuk national service. National service ini dia menjalani pendidikan universal basic militery training. Mereka dibagi menjadi tujuh orang-tujuh orang, itu anak India, orang kaya, anak orang miskin dijadikan satu.

Tiga bulan tidak boleh berhubungan dengan dunia luar selain sebagai latihan basis militer. Setelah selesai, orang China kalau ditanya “saya orang Singapura”. Kenapa? Karena tiga bulan dia digojlok. Orang Kristen jadi satu dengan orang Islam. Harus mengetahui ras bagaimana. Kesetiakawanan dia, namanya meeting talk dan dia harus tiga tahun berdinas di Angkatan Darat, Angkatan Laut atau Udara atau Bea Cukai. Sekarang karena sudah bagus cukup dua tahun. Tidak hanya warga negara, permanen residence harus ikut national service. Dia tidak bilang wajib militer, dia bilang national service. Kenapa seperti itu, setiap warga negara bertanggung jawab sama bagi kehormatan negerinya.
Dia dagang kepentingan nasional. Tentaranya gede, kan enggak ada perang, enggak bisa. Darimana pemahamannya, pertama dari nyanyi dari anak-anak sampai SMA sampai masuk base dan sampai terbuka wawasannya. Bukan wawasan yang hanya cari duit.

Indonesia perlu seperti itu?
Terserah mau perlu atau tidak, saya hanya ngasih gambaran bahwa pengelolaan angkatan perang itu seperti itu. Mengelola negeri itu seperti itu. Yang dimaksud national karakter building itu seperti itu. Dia tiap ulang tahun Agustus, bulan Juni-Juli saja, kalau kamu ke Singapura banyak anak-anak kecil ada yang latihan angklung, ada yang latihan nari “for hour national day” dengan bangganya dia menjawab. Cuma anak kecil begitu yang besarnya bicara dia enggak akan nalar jika karena kesalahan management di Cengkareng. Dia tidak punya nalar kalau enggak perlu perang jadi tidak ada pertahanan. Itu namanya karakter building. Negeri punya karakter memang seperti itu.

Tapi kalau negeri yang mau jadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa ya pemikirannya begitu, tentara enggak usah karena enggak ada perang. Siapa bilang enggak ada perang. Mau lihat Ambalat sebentar lagi diambil yang lain? Mau lihat dan senang dengan begitu silakan. Saya tidak bisa terima itu. Jadi saya berbagi pemikiran-pemikiran yang jauh lebih tinggi daripada itu. Karakter kita sebagai bangsa itu apa.

Sekarang program Presiden Jokowi juga mulai seperti itu?
Saya tidak bicara program presiden begini, begitu. Saya tidak mau dan melepaskan itu. Yang saya berikan gambaran, yang saya berbagi itu adalah pengalaman saya dan tanggung jawab saya, seyogyanya negeri ini seperti ini. Itu saja. Saya enggak mau ditarik-tarik soal politik, soal Jokowi begini, soal Jokowi begitu.

Bagaimana pandangan anda soal pertahanan, mengingat kemarin Konflik Laut China Selatan dan Ambalat muncul?

Boro-boro mikirin Ambalat. Siapa yang ngejar Ambalat. Kalau saya tidak mendorong Pak Joko Suyanto jadi Panglima TNI. Itu tidak dua, tiga bulan, puluhan tahun saya berdiskusi dengan teman saya, perwira di Angkatan Darat. Saya siapkan peristiwa Bawean, begini lho kalau kita tidak punya angkatan perang. Tidak pernah ada peristiwa pelanggaran udara sebelumnya. Bawean itu saya yang ungkap.

Sebulan setelah itu ada rapat di Hawai “gila ini angkatan udaranya Indonesia” itu di semua negara diomongin, enggak ada di media. Saya hanya mau mengajak orang Indonesia, begini lho kalau kita tidak memiliki angkatan udara. Kehormatan saya sering bicara soal kedaulatan.

Anda tadi mengatakan buat mendorong Joko Suyanto menjadi panglima perlu puluhan tahun, ini artinya memang ada diskriminasi untuk Angkatan Udara?
Saya tidak mau pakai terminologi diskriminasi. Saya mau pakai bagaimana orang mengelola angkatan perang. Yah tidak bisa kalau kita berbicara dengan terminologi diskriminasi, itu provokatif. Baca tulisan Said Diman di Kompas, bagus sekali itu. Teman saya diskusi Pak Said Diman. Ada generasi yang melihat perang secara general, ada generasi yang melihat perang dengan teknologi. Perang teknologi bagaimana mengatasinya? Dia harus relay concept teknologi dan total defense, selesai. Selama tidak dua ini enggak bisa apa-apa, setiap saat bisa dilecehkan.

Anda dulu menjabat KSAU pada zaman Megawati, bagaimana saat itu?
Saya begitu pensiun, begitu selesai jabatan saya, saya berjanji untuk tidak mau ikut campur pemerintahan. Saya tidak mau ikut campur apapun, apalagi politik. Tanggung jawab moral saya hanya berbagi, ceramah dan nulis, berbagi dan yang kaya gini ini. (Merdeka.com)