Pages

Saturday, 27 September 2014

Kisah Juru Masak Kapal Perang Markas KRI Makassar


Priyando (kiri) dan Alfan Khoirul menunjukkan kemahiran memasak cepat di dapur rumah jabatan komandan satuan kapal amfibi.

Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos
Priyando (kiri) dan Alfan Khoirul menunjukkan kemahiran memasak cepat di dapur rumah jabatan komandan satuan kapal amfibi. Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos


Kamis siang (18/9) yang terik di Dermaga Semampir, Mako Armatim, KRI Makassar baru sandar. Kapal itu bagian dari armada pendukung di lingkungan Satuan Kapal Amfibi (Satfib) Armatim, satuan yang hari ini, 25 September, berumur 56 tahun.
= = = = = = = = = = = = =
KAPAL jenis landing platform dock (LPD) itu mengangkut ratusan prajurit Kostrad. Di dalam perut kapal terdapat berbagai kendaraan taktis dan kendaraan tempur pasukan matra darat. Kapal tersebut berlayar dari Dermaga Kolinlamil, Jakarta, sehari sebelumnya. Itu bagian dari pergeseran pasukan dan material menjelang peringatan HUT Ke-69 TNI.
Dalam rutinitasnya, KRI Makassar menjadi kapal markas dalam berbagai operasi. Jumlah personel yang diangkut dalam setiap misi berkisar 600–700 orang. Komposisinya, 500-an penumpang sesuai kapasitas akomodasi plus 120-an awak kapal masuk kamar. Selebihnya, penumpang dapat menggunakan fasilitas di masing-masing geladak serbaguna kapal yang didesain seperti penginapan terapung.
TNI-AL punya empat kapal sejenis KRI Makassar. Di antaranya, KRI Surabaya dan KRI dr Soeharso (semuanya produksi Korsel dan bermarkas di Armatim). Dua lainnya KRI Banjarmasin dan KRI Banda Aceh (produksi PT PAL Surabaya, bermarkas di Kolinlamil Jakarta). Kini KRI dr Soeharso, eks KRI Tanjung Dalpele, difungsikan sebagai rumah sakit apung.
Mereka yang bertugas di KRI Makassar atau kapal setipe bakal merasa ”berakrobat” setiap hari. Terutama yang terlibat urusan dapur atau juru masak. Itu dialami dua bintara korps suplai. Yakni, bintara perbekalan Serma Bek Priyando dan bintara tata graha Serma TTG Alfan Khoirul.
Dua personel senior itu ditugaskan di departemen logistik KRI Makassar sejak kapal tersebut diambil pada 2006 dari Daesun Shipbuilding & Engineering, Korea Selatan. ’’Bertugas di kapal protokol yang sedang beroperasi rasanya hampir seperti tidak ada waktu senggang,’’ ungkap Priyando.
Waktu 24 jam nyaris full time digunakan di dapur geladak H. Lantaran jumlah bahan pokok dan lauk pauk yang dimasak ekstra banyak untuk kebutuhan ratusan anggota, dibutuhkan waktu sekurang-kurangnya tiga jam untuk mengolah bahan makanan sesuai porsi hingga siap saji.
Untuk menyajikan sarapan sebelum pukul 06.00, dia sudah bangun tidak lebih dari pukul 02.30 dini hari. Begitu pula makan siang dan makan malam. Waktu mempersiapkan masakan bisa lebih panjang karena menu yang diberikan lebih bervariasi. Waktu istirahat malam Priyando bisa berkurang saat ada pejabat militer maupun sipil on board. Dia sesekali terjaga pada tengah malam untuk stand by meski sudah berbagi waktu jam piket bersama 11 juru masak lain.
Contohnya, dalam perhelatan Sail Raja Ampat akhir Agustus. Armada yang dikomandani Letkol Laut (P) Setiyo Wibowo itu dipercaya menjadi kapal tempat tinggal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, SBY berlayar sampai tiga hari dua malam. Itu waktu terlama presiden di kapal perang. ’’Kami baru tahu bahwa SBY bersama Ibu Negara Ani Yudhoyono mau on board tidak sampai seminggu menjelang kedatangan RI 1,’’ ingat Priyando.
Perbekalan yang terbatas membuat dia memutar otak. Standar menu makan, snack, dan makanan tambahan welcome food untuk pejabat setingkat presiden disusun bervariasi bersama protokol kepresidenan. Apalagi banyak menteri dan perwira tinggi TNI yang bergabung dalam joy sailing tersebut. Menu-menu itu dicek dokkes kepolisian daerah.
Menu sarapan pagi adalah ’’jenis kering’’. Misalnya, nasi goreng kapal, pecel sayur, dan sejumlah lauk. Di antaranya, ayam goreng, daging empal, telur omelet, telur asin, tahu, dan tempe goreng.
Menu siang adalah sayur sop dengan berbagai lauk. Di antaranya, ikan bakar, daging bumbu rendang, ayam bumbu kecap, telur mata sapi, dan perkedel kentang.
Menu makan malam berupa rawon, asem-asem ikan kakap, dan cah brokoli. Lauk pauknya udang goreng tepung saus merah plus kerupuk udang. Biskuit khas yang tidak dijumpai selain di kapal perang adalah kabindo. ’’Ronde dan angsle khas KRI Makassar yang kami sajikan saat malam mendapat apresiasi dari ibu negara,’’ beber chef Priyando dengan bangga.
Bukan Alfan jika tidak bisa menghadapi situasi kebutuhan logistik bervariasi dengan jumlah terbatas. Ketika masih sandar di Pelabuhan Sorong, dia bersama anak buahnya berburu dari supermarket sampai ke pasar tradisional kota terdekat di Papua Barat itu. ’’Karena sulit mendapat buah yang kondisinya bagus dan masih segar, saya minta pangkalan di Surabaya kirim paket buah dalam keranjang dengan menggunakan pesawat,’’ kenang suami Amalia itu.
Bertugas sebagai juru masak di kapal protokol, bagi dua bintara itu, merupakan hasil tempaan dua KRI berbeda. Mereka sebelumnya mengabdi di kapal bantu angkut personel maupun angkut tank. Priyando sejak menjadi prajurit TNI-AL berpangkat kelasi dua bertugas di kapal perang dukungan angkutan calon jamaah haji (CJH) KRI Tanjung Oisina, 1980–2000.
Berbagai kisah mengantar pergi-pulang ke Arab Saudi menjadi pengalaman suami Purwaningsih itu. Setelah kapal tersebut pensiun, keberangkatan CJH menggunakan moda angkutan udara. Priyando kemudian mengawaki dapur KRI Tanjung Kambani selama enam tahun.
Sementara itu, setelah menjalani pendidikan dasar militer dan lanjutan, Alfan ditempatkan di KRI Teluk Mandar mulai 1988. Selama enam tahun dia bertugas sebagai asisten administrasi suku cadang sampai 1994. Setelah itu, dia dimutasi mengawaki korvet antikapal selam KRI Sutedi Senaputra hampir 12 tahun.
Berkat pengalaman itu, penugasan di KRI Makassar hingga kini dapat mereka lalui dengan lancar. Tantangan terberat sebelum menjamu presiden dan petinggi negara adalah melayani masyarakat yang mudik selama masa Lebaran lalu. Ketika itu Kemenhub dan TNI-AL bekerja sama menyiapkan armada angkutan laut untuk mudik dan balik Lebaran gratis bagi 1.700 pemudik. Rutenya Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta,–Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, pergi-pulang.
Jumlah penumpang ekstra membuat mereka lebih bersabar dan disiplin. ’’Istirahat malam belum nyenyak, tahu-tahu masuk waktunya menyiapkan masakan untuk sarapan pagi,’’ kenang Alfan.(*/c6/dos/jawapos)

Jpnn