Bicara tentang battle proven dan popularitas, RPG-7 (Rocket Propelled Grenade) hingga kini masih menjadi senjata jawara untuk unit infanteri, milisi, pemberontak, hingga teroris. Dikenal bandel, punya sistem kerja sederhana, mudah dalam perawatan, dan punya fleksibilitas hulu ledak, menjadi magnet tersendiri untuk permintaan RPG-7, termasuk senjata ini dipercaya sebagai senjata bantuan infanteri (senbanif) untuk Korps Marinir TNI AL.
Bicara keunggulan suatu senjata, tentunya juga ada sisi kelemahan. Untuk RPG-7 yang sering jadi langganan atribut film-film action, titik perhatian pertama ada di soal hulu ledak, RPG-7 yang hulu ledaknya mencuat keluar, plus pin pengamannya yang harus dilepas saat hendak ditembakkan, menjadikannya bom hidup yang dibawa kemana-mana saat prajurit berpindah tempat. Biarpun dircancang aman untuk dijatuhkan ke permukaan dari ketinggian tiga meter, tapi siapa bisa menjamin proses manufaktur dan penyimpanan di lapangan bisa memadai untuk menjaga kualitasnya? Dengan kata lain, pemeliharaan oleh pengguna saat digunakan di lapangan, tetap mempengaruhi efektifitas RPG saat hendak digunakan.
Masih di seputaran hulu ledak, Konon menurut hasil pengujian AD AS di Jerman pada medio 1980-an, sumbu pada hidung RPG-7 sangat sensitif dan bisa terpicu hanya akibat bertemu dengan benda keras. Belum lagi ancaman sekunder, misalnya hulu ledak yang mencuat bisa dijadikan sasaran tembak oleh sniper, sehingga saat meledak akan membunuh rekan-rekan penembak RPG-7 yang ada di sekitarnya. Kelemahan lain RPG-7 adalah booster berbahan selulosa yang rawan kelembapan.
Struktur RPG-7
Lebih detail pada soal fleksibilitas, seorang penembak RPG dapat menyesuaikan antara hulu ledak yang dibawanya dengan karakter misi yang diembannya. Mau melawan tank? Beroperasi dalam perang urban? Menyerbu basis infanteri? Penembak RPG-7 dapat memadukan hulu ledak PG-7, OG-7, dan PG-7VR secara fleksibel bergantung pada jenis sasaran. Sementara peluncur roket sekali pakai (disposable) biasanya hanya disediakan berupa hulu ledak serbaguna seperti HEAT (high explosive anti tank), yang walaupun sifatnya multpurpose, tetap tidak bisa maksimal dalam tiap tujuan penggunaanya.
Lain dari itu semua, pemahanan akan spesifikasi hardware, keterampilan prajurit dan taktik mengoperasikan sistem senjata menjadi elemen terpenting. Dengan kematangan, latihan yang cukup dan pengetahuan memadai, bukan mustahil setiap kekurangan dari peluncur roket dapat diatasi, atau bahkan bisa disulap menjadi suatu keunggulan dalam medan pertempuran. Istilah yang tepat untuk hal ini adalah the man behind the gun.
Disposable vs Reusable
Meski tidak terlalu menonjol, militer Indonesia sejak lama telah mengenal penggunaan senjata anti tank berbasis roket, seperti RPG-2, LRAC 89, C90-CR, Armbrust, dan belakangan hadir basis rudal FGM-148 Javelin Block I dan rudal NLAW (Next Generation Light Anti Tank Weapon).
Armbrust
C90-CR
Personel TNI AD tengah berlatih menembakkan C90-CR
Beginilah pose perajurit infanteri dalam membawa NLAW
Rangkaian sistem Javelin.
Saat penembak RPG-7 dan LRAC 89 sudah kehabisan amunisi hulu ledak, tak ubahnya seperti membawa pipa besi yang tak bermanfaat sampai ia bisa mendapatkan pasokan amunisi kembali. Akan tetapi, peluncur roket reusable seperti RPG-7 jauh lebih relevan, kinerja akurasi tembakan bisa ditingkatkan lebih maksimal berkat dukungan teleskop optik yang terintegrasi. (Bayu Pamungkas)
indomiliter