Pedalaman Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Gambar diambil pada 6 Desember 2014
Dua jam kaki mereka melangkah, air bersih tak kunjung didapat. Pagi itu, menjadi awal mereka tersesat selama empat hari di tengah rimba belantara.
"Jujur, kami takut sekali tersesat di hutan yang tidak kami kenal sebelumnya," kenang Agus saat Kompas.com jumpai pada awal Desember 2014.
Agus adalah salah satu prajurit yang bertugas di Pos Pengamanan Perbatasan (Pospamtas) Desa Apau Ping, Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, yang dipindahkan ke Pospamtas Long Bulan bersama dua rekannya per 9 November 2014.
Rencananya, Pospamtas Apau Ping hendak ditiadakan lantaran terlalu jauh dengan patok batas perbatasan Indonesia-Malaysia.
Situasi Pospamtas Long Bulan berbeda dengan Pospamtas Apau Ping. Long Bulan berada di tengah hutan rimba, butuh waktu berhari-hari berjalan dari pos itu ke pedesaan terdekat. Logistik pun harus dikirim memakai helikopter setiap satu bulan sekali.
Pada pagi di pertengahan November itu, para prajurit di Pospamtas Long Bulan kehabisan cadangan air bersih. Hujan yang merupakan sumber air satu-satunya bagi pos ini, tak kunjung turun.
Air tanah di lokasi pos tak bisa diandalkan sebagai sumber air bersih, karena warnanya kemerahan dan berbau tak enak.
"Pagi itu saya sama tiga adik llifting (angkatan TNI) inisiatif mencari air bersih di hutan," ujar Agus.
Pesan kepala adat
Lelah, lapar, dan dahaga, merusak konsentrasi keempat prajurit ini. Hari pun merembang petang. Sebagai prajurit tertua, Agus berupaya mengingat dan menyusun strategi dengan tenaga yang tersisa.
Pelahan Agus lalu teringat perkataan kepala adat Dayak di Desa Apau Ping saat pertama kali bertugas di sana. "Kepala adat bilang sama saya, kalau tersesat di hutan adat ini jangan takut. Ikuti saja awal matahari terbit, pasti akan menemui sungai Bahau," kenang Agus.
Sungai Bahau memiliki hulu di salah satu bukit yang merupakan perbatasan Indonesia-Malaysia. Jika mengikuti aliran sungai itu ke hilir, ujar Agus menirukan pesan kepala adat itu, dipastikan akan bertemu desa.
Untuk menghapus dahaga, mereka memeras air dari tumpukan lumut yang menempel dari batang pohon. Meski membawa senjata, Agus mengaku tidak berani menembak binatang hutan yang sering mereka temui.
Agus mengaku dia dan teman-temannya khawatir ketika membunuh binatang di hutan adat secara sembarangan malah akan berakibat celaka bagi mereka.
Tanpa bekal
Pagi itu, mereka sama sekali tak berpikir bakal tersesat berhari-hari di tengah hutan. Mereka tak membekali diri dengan makanan maupun minuman.
Agus hanya berkaos loreng dan bercelana training, begitu juga dua prajurit lain. Satu prajurit lagi bahkan hanya berkaos loreng dan memakai celana selutut.
"Saya hanya bawa senjata laras panjang satu," lanjut cerita Agus. Setiap langkah mereka ayun masih dengan pikiran sumber air tak akan terlalu jauh dari pos.
Di sepanjang perjalanan, hanya ada pepohonan besar--berukuran sepelukan hingga enam pelukan lelaki dewasa--di sekitar mereka. Pemandangan lain hanya semak belukar.
"Kami mengikuti jalan setapak keluar pos. Kami sempat bertemu jalan sama dua kali. Tapi kok ke arah pos lagi, ke pos lagi? Kami merasa aneh kan, akhirnya kami ambil jalur beda," ujar Agus.
Dua jam pun berlalu. Agus memutuskan kembali saja ke pos karena air tak kunjung ditemukan. Namun, kali ini justru jalan pulang menuju pos "menghilang".
Saat menatap berkeliling, pemandangan terasa asing. "Sadarlah kami telah tersesat," ujar Agus. Seharian itu mereka masih berupaya terus berjalan mencari jalan pulang tetapi tak juga bisa.
Malam pertama
Seharian berjalan, "pasukan" ini pun memutuskan mencari tempat beristirahat pada pukul 17.00 Wita. Mereka juga bersepakat akan tidur bergantian hingga fajar menyingsing.
Tidur beralas tanah, mereka masih harus menahan pedihnya gigitan agas--serangga kecil semacam nyamuk yang juga mengisap darah--selain kekhawatiran didatangi binatang buas. "Sudah enggak tahu malam itu rasanya kayak apa. Semuanya campur-aduk jadi satu," ujar Agus.
Mental mereka pada malam itu sempat jatuh karena mimpi salah satu prajurit. Pada saat giliran tidur, prajurit itu bermimpi minum kopi bersama prajurit TNI yang tewas karena helikopternya jatuh di tengah proses pembangunan Pospamtas Long Bulan pada November 2013.
Hanya lantunan doa yang membuat mereka saling menguatkan diri dan menjaga pikiran tetap jernih pada saat itu. "Meski sangat sulit," aku Agus.
Jawaban alam
Agus mengatakan dua hari pertama mereka jalani dengan kalut. Makan dan minum tak cukup, lelah karena terus berjalan kaki mulai terasa mendera, ditambah efek mimpi salah satu dari mereka itu.
Pada titik terendah kondisi mereka, tutur Agus, alam menunjukkan kekuatannya. Pada saat itulah mereka akhirnya menemukan sungai, meskipun baru sungai kecil dan bukan Sungai Bahau.
Meski demikian, keempat prajurit ini memutuskan untuk mengikuti alur sungai kecil tersebut. "Untungnya lagi, hari ketiga dan keempat hujan. Jadi meski lapar kami tidak kehausan," lanjut Agus.
Terasa sangat lama, kata Agus, sudah empat hari mereka berempat menyusuri kelebatan hutan Malinau ini. Namun, pada petang hari keempat itu, mereka akhirnya menemukan Sungai Bahau.
Semangat keempat prajurit pun timbul kembali. Benar saja, tak berselang lama mereka berpapasan dengan rombongan ketinting kepala desa yang memang sedang mencari mereka.
"Kami akhirnya ditemukan. Saya tidak ingat lagi bagaimana kami ditemukan. Katanya, baju kami sudah compang-camping, badan penuh pacet. Pas di kampung, saya timbang, berat badan saya turun 15 kilogram," tutur Agus.
Petang itu adalah 21 November 2014. Setelah dirawat beberapa hari di desa terdekat, Agus kembali bertugas di Pospamtas Apau Ping, sementara tiga prajurit lain dikembalikan ke batalyonnya di Tarakan.
Agus mengaku tidak kapok bertugas di perbatasan sekalipun mengalami peristiwa ini. Dia mengaku, peristiwa itu menguji kemampuan keprajuritan mereka, dan jelas tak terlupakan.
"Tidak kapok. Asalkan tidak tersesat sampai ke Malaysia saja..." ujar Agus, kali ini sembari tertawa mengingat kisah sengsaranya itu.( KOMPAS.com)