SIAPA bilang warga Tionghoa tidak bisa menjadi jenderal? Itulah
yang dibuktikan Daniel Tjen, kepala Pusat Kesehatan Mabes TNI. Dua
bintang kini tersemat di pundaknya sebagai prajurit TNI-AD.
EMPAT pos pemeriksaan dan penjagaan terlebih dulu
harus dilalui sebelum sampai di kantor Mayjen TNI Daniel Tjen di lantai 6
Gedung B-3, Markas Besar (Mabes) TNI, Cilangkap, Jakarta. Bagi orang
luar, tentu tidak cukup hanya dengan pasang wajah manis setiap melintas
di masing-masing pos tersebut.
Setiap tamu memang harus menyebutkan tujuan dan keperluan secara
jelas mengapa akan menemui Daniel. Tanpa itu, sulit rasanya bisa menemui
satu-satunya perwira tinggi TNI berdarah Tionghoa yang masih aktif
tersebut.
Sesampai di depan ruangan sang jenderal, dua prajurit TNI kembali
akan ’’menginterogasi’’ orang yang akan bertemu komandannya. Setelah
memastikan tujuan dan maksud kedatangan tamu, salah seorang prajurit
masuk ke ruang dan menyampaikan kepada atasannya tersebut.
’’Mohon izin, Jenderal,’’ ujar prajurit tersebut tegas, Jumat siang (19/12).
Membaca namanya, Daniel Tjen, orang yang belum pernah bertemu mungkin
bisa menebak bahwa sang jenderal berdarah Tionghoa. Benar saja, kesan
itu mendapat penegasan ketika berhadapan langsung dengan prajurit TNI
kelahiran Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung, 24 Juni 1957,
tersebut.
Ya, jenderal bertinggi badan 168 cm itu memang terlahir dari orang
tua berketurunan Tionghoa. Mendiang ayahnya, Tjen D. Tjoeng, adalah
salah seorang karyawan di pabrik timah di Pulau Bangka.
Di antara enam bersaudara, Daniel adalah satu-satunya yang memilih
jalan hidup yang ’’out of the box’’. Yakni, menjadi tentara. Lima
saudaranya, sebagaimana umumnya warga Tionghoa, menjadi pedagang atau
pekerja di perusahaan swasta.
’’Masa kecil saya sama dengan anak-anak lain yang lahir di kampung. Kami tidak berpikir untuk menjadi tentara,’’ kenang Daniel.
Hingga SMA, bapak dua anak itu masih tinggal di pulau yang berada di
pesisir timur Sumatera Selatan tersebut. Baru ketika kuliah, dia
melanjutkan pendidikan dokter di sebuah universitas di ibu kota.
’’Waktu kuliah itu pun masih belum terpikir (mau jadi tentara). Yang ada bagaimana saya bisa menjadi dokter,’’ tambahnya.
Namun, seiring perjalanan waktu, dunia militer justru menarik
perhatian Daniel. Tepatnya sesaat setelah dia lulus pendidikan dokter
pada 1984. Ketika itu, Daniel melihat sejumlah seniornya sukses masuk
menjadi tentara melalui jalur wamil (wajib militer).
’’Pada tahun-tahun itu, sistem di TNI sudah berjalan baik, tidak ada
sekat suku atau agama. Mereka yang terbaik yang akan dipromosikan,’’
tuturnya.
Daniel pun ikut mendaftar tentara lewat jalur wamil pada 1984.
Setahun kemudian, dia lulus sekolah calon perwira (secapa) dan mendapat
tugas pertama di Kodam IX/Udayana. Tepatnya di Batalyon 745 yang
bermarkas di Lospalos, Timor Timur (sekarang Timor Leste). Dia langsung
bertugas dalam operasi militer.
Daniel bertugas selama 2,5 tahun di kota berpenduduk sekitar 28 ribu
jiwa itu. Selanjutnya, dia pindah tugas ke ibu kota Timor Leste, Dili.
Selama sekitar 3,5 tahun dia bertugas di wilayah yang kemudian lepas
dari RI pada 1999 tersebut.
’’Enam tahun penugasan di daerah operasi militer itu banyak menempa saya,’’ ungkapnya.
Keluar masuk hutan dengan hanya berjalan kaki sudah biasa bagi dia
waktu itu. Sebagai dokter militer, Daniel tidak berbeda dengan prajurit
pada umumnya.
’’Makan hanya dengan nasi putih dan sedikit sambal, nikmatnya sudah
luar biasa. Makanan di hotel bintang lima nggak ada apa-apanya,’’
ucapnya lantas tersenyum.
Daniel merasa pengalamannya di daerah operasi militer itu sangat
berkesan. Sebab, tidak semua dokter militer pernah bertugas di daerah
operasi.
Meski juga menguasai penggunaan senjata, sebagai tenaga medis, Daniel
memang lebih banyak memainkan peran soft power saat bertugas. Tidak
hanya mengurusi kesehatan prajurit TNI dan keluarganya, dia juga
melayani masyarakat umum.
Misalnya, saat bertugas di Lospalos, Daniel tiba-tiba dibangunkan
pada tengah malam oleh penduduk setempat. Mereka meminta tolong kepada
Daniel untuk membantu persalinan seorang warga. Rumah pasien itu
berlokasi di seberang hutan yang cukup jauh dari tempat tinggal Daniel.
Tanpa pikir panjang, sebagai satu-satunya dokter di rumah sakit
kabupaten, Daniel pun berangkat. Padahal, lokasi desa tempat si ibu yang
akan melahirkan dikenal sebagai salah satu sarang Fretilin, kelompok
pemberontak.
’’Saat itu, saya berpikir mau membantu karena niat baik saja, tidak
melihat apakah warga yang meminta bantuan itu GPK (gerombolan pengacau
keamanan) atau bukan,’’ ujarnya.
Daniel bersama dua penduduk yang meminta bantuan itu langsung
meluncur ke lokasi. Mereka menembus hutan dengan mengendarai ambulans
yang lampu depannya sudah mati.
’’Jadi, yasatu tangan pegang setir, satu lagi pegang senter. Tapi,
bersyukur, semua berjalan baik saat itu,’’ ungkapnya lantas tertawa.
Selepas dari Timor Leste, Daniel menjalani tour of duty
jabatan dan penugasan. Dia sempat bertugas di Komando Strategi Angkatan
Darat (Kostrad), di Kodam III/Siliwangi, hingga akhirnya di Direktorat
Kesehatan Mabes TNI-AD. Dengan cepat, dia menjabat wakil direktur
kesehatan AD, lalu promosi menjadi wakil kepala pusat kesehatan
(Wakapuskes) TNI.
Di jabatan itulah pangkat kemiliteran Daniel naik menjadi bintang
satu alias brigadir jenderal (brigjen). Mulai November lalu, dia pun
resmi menjabat Kapuskes TNI.
Saat Daniel menjadi direktur kesehatan TNI-AD, prestasi membanggakan
berhasil diraih Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto,
Jakarta. RS milik TNI-AD itu menjadi rumah sakit pertama di dunia yang
terakreditasi secara internasional.
Akreditasi dilakukan Join Commission International (JCI). Di
Indonesia, rumah sakit pemerintah yang berstandar internasional adalah
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), RS Sanglah Bali, RS Fatmawati
Jakarta, dan RSUP Sardjito Jogjakarta.
Menurut Daniel, akreditasi itu penting karena menjadi jalan bagi RS
Gatot Soebroto sebagai rumah sakit berkelas internasional. Dia kemudian
mengungkapkan keprihatinannya atas fakta bahwa 2 persen GDP (gross
domestic product) Singapura berasal dari sektor kesehatan yang disumbang
orang-orang Indonesia.
”Saya bersyukur memiliki teman-teman yang merupakan orang-orang hebat
hingga Indonesia bisa diakui secara internasional seperti sekarang,”
tandas Daniel.
Karir militer Daniel tidak hanya cemerlang di lingkungan TNI. Di
dunia internasional, dia juga mendapat pengakuan. Saat ini dia dipercaya
duduk sebagai co-chairman di International Committee of Military Medicine (ICMM).
Organisasi di bawah PBB yang berkantor pusat di Brussel, Belgia, itu
menaungi satuan kesehatan militer dari 114 negara. Dia terpilih saat
kongres terakhir di Riyadh, Arab Saudi.
”Tahun depan, jika tidak ada halangan, saya akan menjadi chairman-nya,” kata Daniel.
Kepercayaan itu bakal diberikan seiring penunjukan Mabes TNI sebagai
tuan rumah kongres ICMM. Kepercayaan tersebut tidak didapat begitu
saja. Indonesia harus lebih dahulu menjalani open bidding (seleksi terbuka) dengan sejumlah negara. Saingan terberat saat itu adalah Tiongkok dan Singapura.
”Dua negara yang militernya relatif lebih hebat dari kita itu ternyata kalah oleh kita,” katanya dengan bangga.
Menjadi chairman ICMM, bagi Daniel, bukan sekadar
penghargaan atas sebuah jabatan berkelas internasional. Namun, dia
memandang jabatan tersebut bisa menjadi peluang Indonesia untuk semakin
memajukan peran militer di kancah internasional. Khususnya di lingkup
kesehatan militer.
”Ini strategis. Jangan dibayangkan perang era sekarang
tembak-tembakan dan senjata. Sesuai perkembangan, kini ada perang
asimterik, ada perang proxy, di mana bidang kesehatan menjadi salah satu
bagian penting,” ungkapnya.
Selain Daniel, beberapa warga keturunan Tionghoa pernah meniti karir
di bidang kemiliteran hingga berpangkat jenderal. Namun, mereka sudah
memasuki masa pensiun. Di antaranya, Brigjen TNI (pur) Tedy Jusuf,
Laksamana Pertama TNI (pur) Dr dr Harmin Sarana, dan Laksamana Muda TNI
(pur) Jahja Daniel Dharma atau yang lebih dikenal sebagai John Lie.
”Saya tidak pernah merasa dibeda-bedakan selama bertugas di milter.
Yang saya alami dan rasakan di militer selama ini hanya dua, yakni enak
dan enak banget. Tidak ada yang lain,” tegas Daniel, lalu kembali
tersenyum.