Pages

Thursday, 4 June 2015

Nota Provokatif Belanda Jadi Trigger Agresi Militer I


Bala Tentara Belanda bersiap jelang Agresi Militer I (Foto: Wikipedia)
Bala Tentara Belanda bersiap jelang Agresi Militer I (Foto: Wikipedia)

PROVOKASI demi provokasi biasa dijadikan Belanda untuk memancing kekuatan militer Indonesia untuk bertempur di front terbuka. Belanda merasa punya keuntungan dengan jumlah personel sekira 100 ribu pasukan, jika bentrok dengan TNI yang dianggap tak punya perlatan tempur memadai di medan terbuka.
Dan, salah satu provokasi “resmi” jelang melancarkan Agresi Militer I dengan sandi ofensif “Operatie Produkt” pada 21 Juli 1947, Belanda melayangkan nota bernada ancaman nan provokatif dua bulan sebelumnya.

Ya, pada 27 Mei 1947 (68 tahun silam), Belanda mengeluarkan ultimatum yang berisi sejumlah tuntutan. Tuntutan yang dirasa takkan bisa dipenuhi pemerintah RI dan wajib dibalas dalam tempo dua pekan.
Nota yang disampaikan pada pemerintah RI melalui perwakilan Belanda, Dr. P.J.A Idenburg itu berisikan sebagai berikut, seperti dikutip dari ‘Kronik Revolusi Indonesia’:

1. Pembentukan pemerintahan peralihan bersama.
2. Mengadakan garis demiliterisasi dan pengacauan di daerah-daerah Konferensi Malino (Negara Indonesia Timur, Kalimantan, Bali) harus dihentikan.
3. Mengadakan pembicaraan pertahanan negara, di mana sebagian Angkatan Darat, Laut dan Udara Kerajaan Belanda harus tinggal di Indonesia.
4. Pembentukan Kepolisian demi melindungi kepentingan dalam dan luar negeri.
5. Hasil-hasil perkebunan dan devisa diawasi bersama.
Merespons ultimatum itu, Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun hanya bisa menafsirkannya antara kapitulasi (menyerah) pada Belanda, atau perang total. Belanda sendiri sedianya sudah mulai bersiap dengan menyiagakan sejumlah pasukan sejak Maret 1947.

Sjahrir tentu menolak dan itu jadi “trigger” atau pemicu tersendiri buat Kepala Staf pasukan Belanda Jenderal Simon Hendrik Spoor, untuk me-launching serangan total yang tentunya sesuai instruksi dari Den Haag.

Namun rencana Spoor sempat tersendat, lantaran pada akhirnya Sjahrir bertekuk lutut pada tuntutan tersebut. Akibatnya, Kabinet Sjahrir pun tumbang lantaran tak lagi dipercaya rakyat. Adapun Belanda, kembali melayangkan ultimatum pada 15 Juli 1947 dengan tuntutan pasukan TNI mundur 10 kilometer dari garis demarkasi.

Lantaran PM Amir Sjarifoeddin yang menggantikan Sjahrir tak memberi jawaban, maka meletuslah ofensif Belanda yang pertama ke berbagai wilayah RI di Sumatera dan Jawa pada 21 Juli 1947.

Terlepas dari sejumlah kejadian yang terjadi dalam agresi itu, pemerintah juga belum berhenti ikut bertarung di arena diplomasi. Sjahrir dan H. Agus Salim diutus ke Sidang Dewan Keamanan PBB, di mana akhirnya diputuskan Belanda harus menghentikan serangan pada 1 Agustus dan gencatan senjata sudah harus terjadi tiga hari setelahnya.

Spoor pribadi sedianya ‘kebelet’ meneruskan gerak ofensif pasukannya hingga Yogyakarta yang kala itu jadi Ibu Kota RI, yang kemudian ditentang pemerintah sipil Belanda.

Seperti termaktub dalam buku ‘Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949’, Spoor bercita-cita menguasai Yogyakarta yang kelak baru bisa dilakukannya pada Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.

Satu fakta menarik bahwa jelang Agresi Militer I itu, markas Tentara Belanda bahkan melancarkan psywar kepada tentaranya sendiri. Mereka menyebarkan selebaran yang tercatat dikeluarkan di Batavia (kini Jakarta) tertanggal 27 Mei 1947, bersamaan dengan keluarnya nota pemerintah Belanda kepada RI.

Selebaran itu dikatakan dikeluarkan pihak RI untuk memecah-belah Belanda antar kesatuan campuran KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia-Belanda dengan Divisi I “7 December” yang merupakan kesatuan asli Angkatan Darat Belanda (Koninklijke Landmacht).

Tujuannya, agar para personel Divisi “7 December” kian terdongkrak spirit-nya jelang Agresi Militer I. Berikut kira-kira isi selebaran itu jika diterjemahkan dari bahasa Belanda:

Para Perwira, Prajurit Divisi 7 Desember.
Dengan meningkatnya gejolak pemerintah menyelamatkan pasukan dalam setiap harinya ketika terlibat dan bertemu langsung dengan unit campuran dari KNIL, di mana mayoritas mereka menunjukkan simpati untuk Indonesia, 100 persen tidak dibenarkan, khususnya oleh kita yang empat tahun hidup di bawah cengkeraman Jerman.

Kita telah digolongkan jadi alat untuk dengan kehendak Pemerintah terkait perjuangan kemerdekaan Indonesia, untuk menahan kontak bersenjata. Kami berharap dalam hati terdalam, bahwa orang-orang dari Divisi '7 Desember' yang terkenal itu akan menyingkir demi mencegah pertumpahan darah yang tak perlu dan tidak dibenarkan dengan masyarakat Indonesia.

Semoga waktu yang singkat, kelompok kapitalis dan penjajah bertaubat, dan membiarkan kita menjadi yang pertama berhadapan dengan resistensi yang umumnya pasif dari mereka (TNI), demi Tanah Air kita tercinta dan kesejahteraan negara,”. (Okzone)