Australia menerapkan kebijakan keras
terhadap kapal pengangkut pendatang gelap yang akan masuk ke wilayah
negara itu.
Budi Santoso, kepala gugus tugas pencari suaka kepolisian Indonesia, mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa kapal yang karam di lepas pantai provinsi Nusa Tenggara Timur pada Minggu (31/5) ini mencoba mencapai pulau karang Ashmore milik Australia.
Kapal itu membawa 54 warga Sri Lanka, 10 orang Bangladesh dan satu pengungsi dari Myanmar. Tiga diantaranya adalah anak-anak.
Sementara itu seorang politisi partai oposisi Australia mengatakan kapal itu karam setelah diusir oleh angkatan laut Australia. Hal ini menggarisbawahi risiko yang dihadapi oleh para migran akibat kebijakan Australia yang keras.
|
“Sementara Malaysia, Indonesia dan Tahiland tidak lagi mengusir kapal-kapal pembawa pendatang, pemerintah Australia terus menampik tanggungjawab di wilayah dengan membahayakan nyawa manusia.”
Dalam beberapa minggu terakhir, para pendatang yang mempergunakan kapal tak laik layar mencoba menyebrangi laut Mediterania yang memisahkan Afrika dan Eropa, serta Laut Andaman di Asia Tenggara.
Hal ini menggarisbawahi satu isu global yang sulit diatasi oleh sejumlah negara.
Australia menerapkan salah satu kebijakan paling keras terhadap para pencari suaka yang mencoba mencapai wilayahnya melalui kapal laut. Mereka mengusir balik kapal-kapal pembawa pendatang itu jika laut memungkinkan, dan menahan ribuan pendatang lain di pusat-pusat penampungan di negara lain.
Jumlah pencari suaka yang berhasil mencapai Australia jauh lebih kecil dibanding negara lain, tetapi ini adalah isu politik yang memecah warga dan Perdana Menteri Tony Abbott pun menerapkan kebijakan keras sejak memenangkan pemilu pada 2013.
Australia mempergunakan pusat penampungan di Papua Nugini dan negara Pulau Nauri untuk memproses calon pengungsi yang seringkali membayar para penyelundup manusia di Indonesia untuk mendapatkan kursi di kapal-kapal tak laik layar itu.
Banyak dari mereka tewas ketika mencoba mencapai Australia. (CNN)