BUKU
Ekonom Bersenjata
Para ekonom mengajak militer untuk mengawal pembangunan ekonomi Orde Baru.
PAGI hari, 1
Oktober 1965, Presiden Lyndon Johnson di Gedung Putih menerima laporan
singkat dari Central Intelligence Agency (CIA) mengenai perkembangan
situasi di Indonesia: “Pergeseran kekuasaan yang mungkin punya dampak
luas sedang terjadi di Jakarta.”
Penumpasan Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan penyusutan kekuasaan Sukarno mengubah tataran hubungan
Indonesia-Amerika Serikat (AS). Bagi Soeharto dan sekutu militernya,
tugas penting mereka bersifat politis: menyingkirkan Sukarnois dari
pemerintahan, mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, melanjutkan
serangan terhadap sisa-sisa PKI, dan memperkuat cengkeraman tentara atas
kekuasaan.
Sementara AS berkepentingan terhadap
sebuah rezim yang moderat, dengan mulai mengalihkan perhatian dari
antikomunisme ke pemberian bantuan untuk teknokrat dan tentara
Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu, mereka harus mengharmoniskan
persekutuan militer-teknokrat yang akan mendominasi ranah politik dan
ekonomi. Mereka pun berupaya memelihara dan melindungi sekutu-sekutu
terkuat mereka, “orang sipil seperti Adam Malik dan ekonom-ekonom
Universitas Indonesia, yang tampil sebagai penasihat utama Soeharto dan
pendukung utama stabilitas ekonomi yang berorientasi pasar,” tulis
Bradley R. Simpson dalam buku ini.
Arah mazhab ekonomi Universitas
Indonesia (UI) condong ke AS berkat Sumitro Djojohadikusumo, dekan
Fakultas Ekonomi UI kala itu. Dia meminta para pejabat Rockefeller
Foundation agar dia bisa mereorganisasi Fakultas Ekonomi UI “sesuai
rambu-rambu Amerika”, baik dalam hal riset maupun organisasi. Sumitro,
mantan menteri perdagangan dan menteri keuangan, adalah pakar ekonomi
terkemuka Indonesia, anggota Partai Sosialis Indonesia dan pendukung
pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Meski
diasingkan pada 1957, dia menjaga hubungan dekat dengan Departemen Luar
Negeri AS dan CIA selama Demokrasi Terpimpin, sampai dipanggil kembali
ke Indonesia oleh Soeharto pada 1966.
Para ekonom UI di sekitar Sumitro adalah Widjojo Nitisastro,
Mohammad Sadli, Subroto, Ali Wardhana, dan Emil Salim. Mereka memainkan
peran penting dalam menetapkan kebijakan ekonomi Indonesia dan
meruntuhkan bangunan Ekonomi Terpimpin Sukarno, sampai-sampai mereka
mendapat julukan “Mafia Berkeley”.
Soeharto menyadari bahwa dia memerlukan
bantuan para ekonom tersebut, dan segera memerintahkan mereka bekerja.
Sepanjang musim semi 1966, Widjojo, Salim, dan Wardhana berpindah dari
satu rapat ke rapat lain dengan amanat yang sama: perekonomian Indonesia
sangat buruk dan langkah-langkah tegas harus diambil untuk
menyelamatkannya. Kedutaan AS di Jakarta membantu dengan mengirimkan
sinyal kepada petinggi militer Indonesia bahwa “Indonesia tak akan
mendapatkan bantuan sampai mereka melakukan yang disarankan oleh para
ekonom itu.”
Para petinggi AS menggambarkan para
ekonom itu dengan istilah-istilah yang membanggakan: “unggulan, mampu,
berpikiran jernih, rasional, berorientasi pada tindakan, peka terhadap
hal-hal yang mendesak.” Para ekonom sendiri menggambarkan diri mereka
dan proses yang mereka pelopori dengan istilah serupa, menekankan bahwa
“modernisasi dan rasionalitas terkait sangat erat.” Bagi Widjojo, kepala
arsitek kebijakan ekonomi Orde Baru, usaha jajarannya adalah
menciptakan ekonomi pasar bebas dan melucuti kontrol negara, sejauh
keduanya secara politis bisa dilakukan.
Di belakang para ekonom itu adalah Adam
Malik, “orang paling brilian dan dinamis dalam pemerintahan Indonesia.
Seorang yang berkarakter, pemberani, dan kemampuan bertindaknya tidak
seperti orang Indonesia,” kata Duta Besar AS Marshall Green; kontras
dengan Soeharto yang “berbelit-belit, lamban, dan Jawa mistis.”
Pada akhir Agustus 1966, tentara
mengambil langkah penting ke arah modernisasi ketika komandan Sekolah
Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) Suwarto menyelenggarakan
seminar di Bandung. Tujuan seminar, membangun konsensus di kalangan
petinggi Angkatan Darat tentang kebijakan politik, ekonomi, dan hubungan
luar negeri. Para ekonom, yang sebagian besar bekerja sambilan di
Seskoad, membingkai seluruh diskusi dengan menekankan bahwa “kegagalan
ekonomi berarti kegagalan seluruh rezim.” Mereka juga menghembuskan isu
tuntutan reformasi pajak, pengetatan pemerintah, aksi sipil, dan
langkah-langkah stabilisasi yang tegas. Rekomendasi para ekonom itu
diterima tanpa diskusi berkepanjangan.
Tak lama setelah seminar itu, Green
mengirim surat ke Gedung Putih untuk mendesak agar mengundang secara
resmi Adam Malik dan membuat keputusan presidensial tentang pemberian
bantuan, sembari mengemukakan kemajuan di Jakarta terkait konfrontasi,
inflasi, pembayaran utang, dan stabilisasi. Dia merekomendasikan suatu
program terbatas tentang gerakan rakyat sipil, pelatihan mahasiswa dan
partisipan, bahan-bahan mentah, dan bantuan suku cadang.
Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX
kemudian mengirimkan daftar kebutuhan pemerintah yang mendesak senilai
$500 juta kepada Menteri Luar Negeri AS Dean Rusk. Rusk berkeberatan dan
hanya menyetujui bantuan yang terbatas. Green mendesak. Dia berusaha
meyakinkan bahwa sangatlah penting mendukung para penasihat ekonomi
Soeharto, sembari memperingatkan bahwa mereka “akan mundur jika mereka
merasa dukungan Amerika Serikat untuk pemerintah yang baru masih
kurang.”
Pada akhir Agustus 1966, Presiden
Johnson akhirnya menandatangani keputusan yang mengesahkan pemberian
bantuan ke Indonesia. Pada hari yang sama, Departemen Luar Negeri
mengirim berita ke Jakarta bahwa akan mempertimbangkan kesepakatan PL
480 –atau Food for Peace (bantuan pangan Amerika Serikat)– yang lain
untuk 150 ribu bal kapas, yang kemudian diperluas menjadi pinjaman $10
juta untuk suku cadang dan bahan-bahan mentah. Dua minggu kemudian,
ketika Parlemen mengadakan pemungutan suara atas rancangan undang-undang
bantuan luar negeri senilai $3,09 miliar yang diajukan pemerintah,
mereka menghapus larangan bantuan untuk Indonesia yang ditetapkan tahun
sebelumnya, dan mengizinkan pemberian bantuan kembali secara penuh.
Washington terus mendukung pemerintahan
otoriter di Indonesia sekaligus bergantung pada kekuatan militer
Indonesia sebagai penjamin stabilitas ekonomi dan politik. Kebijakan ini
menentukan hubungan Amerika Serikat dengan Jakarta selama 30 tahun
kemudian dan mempengaruhi perjalanan sejarah Indonesia.
“Kajian mendetail ini menghadirkan
pemahaman baru mengenai banyak peristiwa yang tidak diketahui umum. Buku
ini merupakan sebuah sumbangan berharga bagi kajian sejarah Indonesia
pascakolonial dan diplomasi Perang Dingin Amerika Serikat dan akan
menjadi rujukan penting hingga bertahun-tahun mendatang,” kata John
Roosa, penulis buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, dalam endorsement buku ini.
Simpson mengajar dan meneliti hubungan
luar negeri dan sejarah internasional Amerika Serikat abad ke-20 di
Universitas of Maryland, Baltimore County. Dia adalah research fellow di
National Security Archive, tempat dia memimpin proyek untuk
mendeklasifikasikan dokumen-dokumen Amerika Serikat terkait Indonesia
dan Timor Leste selama pemerintahan Soeharto (1965-1998). Simpson
menulis buku ini berdasarkan dokumen-dokumen pemerintah Amerika Serikat
yang selama ini dirahasiakan.
Selain mengupas proses dan dampak model
pembangunan ekonomi otoritarian, Simpson memaparkan kekeliruan teori
modernisasi militer yang menghambat upaya pencarian demokrasi dan
pembangunan pasca-Perang Dingin, bahkan memperparahnya: korupsi,
lemahnya masyarakat madani, impunitas, dan budaya kekerasan militer.Hisori