Pages

Sunday, 5 May 2013

Mengawasi Kaum Pergerakan


Algemeene Recherce Dienst (ARD) atau Dinas Penyelidikan Umum. Foto: KITLV.
Intelijen digunakan untuk memberangus kaum pergerakan. Beberapa berhasil, lainnya gagal.

SELESAI berpidato, Sukarno bergegas. Seorang Belanda gemuk, agen Dinas Intelijen Politik (PID), mengikutinya dengan sepeda. Sadar diikuti, Sukarno tetap tenang dan justru berpikir untuk mengerjainya. Dia sengaja melewati kubangan sawah sehingga agen itu harus menenteng sepedanya. Sukarno gembira melihat itu.
”Padahal PID, dinas intelijen yang didirikan pada Mei 1916, nama yang menakutkan bagi banyak kaum pergerakan,” kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia, dalam diskusi buku Memata-Matai Kaum Pergerakan, Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934 karya wartawan majalah Historia Allan Akbar, di Universitas Indonesia (11/4/13). Buku ini mengungkap aktivitas intelijen masa kolonial, termasuk keberhasilan dan kegagalannya.
PID dibentuk kala Perang Dunia I (1914-1918) berkecamuk. Meski tak terlibat langsung, Belanda kena dampak perang itu. Belanda dan Hindia Belanda sulit berkomunikasi.
Van Limburg Stirum, gubernur jenderal Hindia Belanda kala itu, tak punya informasi memadai tentang dunia bumiputera, terutama pergerakan Sarekat Islam. Sementara agen-agen intelijen asing, terutama dari Jepang, sudah terendus memasuki Hindia Belanda. Maka tujuan PID jelas: mengantisipasi ancaman dari luar dan dalam Hindia Belanda.
“Dalam klasifikasi intelijen, PID dapat dikategorikan sebagai dinas intelijen stratejik. Artinya, intelijen yang mengumpulkan informasi ancaman dari luar dan dalam,” kata Broto Wardoyo, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia, yang ikut membahas buku itu.
Umur PID tak panjang. PID dibubarkan pada 2 April 1919, tak lama setelah Perang Dunia I berakhir. Pemerintah kolonial menganggap ancaman telah berkurang. Tapi dugaan mereka meleset. Perlawanan bumiputera justru kian bergolak. Antara lain pemogokan petani di Surakarta yang digalang Haji Misbach, pemogokan buruh di Surakarta, insiden Toli-Toli, dan peristiwa Garut pada 1919.
Dinas intelijen pun dihidupkan lagi. Kali ini dengan nama Dinas Penyelidikan Umum (ARD). Tugasnya mengawasi orang-orang yang dicurigai menggalang perlawanan politik.
ARD punya wewenang menyelidiki dan menangkap orang. ARD juga boleh menghadiri dan membubarkan rapat-rapat organisasi pergerakan. Tapi ARD berbeda dari polisi biasa. “Polisi biasa sudah ada sejak pertengahan abad ke-19, sedangkan ARD muncul ketika nasionalisme di Hindia Belanda bangkit,” kata Peter Kasenda, sejarawan dan penulis buku Zulkifili Lubis, Komandan Intelijen Pertama Indonesia.
Kaum pergerakan tak tahu pembentukan ARD. Mereka masih menggunakan nama PID untuk menyebut intelijen. Ini termaktub dalam memoar dan biografi tokoh pergerakan seperti Sukarno dan Mohammad Hatta.
Uniknya, agen-agen ARD, baik dari bumiputera maupun Belanda, sangat mudah dikenali. “Mungkin ini awal dari sebutan ‘intel melayu’, intel yang mudah mengaku,” canda Broto.
Meski begitu, mereka berhasil meredam gerakan Sarekat Islam dan Partai Nasional Indonesia. Beberapa tokoh organisasi itu berhasil ditangkap dan dibuang ke Digul. “Tapi terhadap Partai Komunis Indonesia atau ‘hantu merah’ mereka gagal,” kata Peter. “Terbukti dari munculnya perlawanan PKI di sejumlah daerah pada 1926. Mereka kecolongan.”

Sumber Historia