Algemeene Recherce Dienst (ARD) atau Dinas Penyelidikan Umum. Foto: KITLV.
Intelijen digunakan untuk memberangus kaum pergerakan. Beberapa berhasil, lainnya gagal.
SELESAI berpidato, Sukarno
bergegas. Seorang Belanda gemuk, agen Dinas Intelijen Politik (PID),
mengikutinya dengan sepeda. Sadar diikuti, Sukarno tetap tenang dan
justru berpikir untuk mengerjainya. Dia sengaja melewati kubangan sawah
sehingga agen itu harus menenteng sepedanya. Sukarno gembira melihat
itu.
”Padahal PID, dinas
intelijen yang didirikan pada Mei 1916, nama yang menakutkan bagi banyak
kaum pergerakan,” kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas
Indonesia, dalam diskusi buku Memata-Matai Kaum Pergerakan, Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934 karya wartawan majalah Historia
Allan Akbar, di Universitas Indonesia (11/4/13). Buku ini mengungkap
aktivitas intelijen masa kolonial, termasuk keberhasilan dan
kegagalannya.
PID dibentuk kala
Perang Dunia I (1914-1918) berkecamuk. Meski tak terlibat langsung,
Belanda kena dampak perang itu. Belanda dan Hindia Belanda sulit
berkomunikasi.
Van Limburg Stirum,
gubernur jenderal Hindia Belanda kala itu, tak punya informasi memadai
tentang dunia bumiputera, terutama pergerakan Sarekat Islam. Sementara
agen-agen intelijen asing, terutama dari Jepang, sudah terendus memasuki
Hindia Belanda. Maka tujuan PID jelas: mengantisipasi ancaman dari luar
dan dalam Hindia Belanda.
“Dalam klasifikasi
intelijen, PID dapat dikategorikan sebagai dinas intelijen stratejik.
Artinya, intelijen yang mengumpulkan informasi ancaman dari luar dan
dalam,” kata Broto Wardoyo, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Indonesia, yang ikut membahas buku itu.
Umur PID tak panjang.
PID dibubarkan pada 2 April 1919, tak lama setelah Perang Dunia I
berakhir. Pemerintah kolonial menganggap ancaman telah berkurang. Tapi
dugaan mereka meleset. Perlawanan bumiputera justru kian bergolak.
Antara lain pemogokan petani di Surakarta yang digalang Haji Misbach,
pemogokan buruh di Surakarta, insiden Toli-Toli, dan peristiwa Garut
pada 1919.
Dinas intelijen pun
dihidupkan lagi. Kali ini dengan nama Dinas Penyelidikan Umum (ARD).
Tugasnya mengawasi orang-orang yang dicurigai menggalang perlawanan
politik.
ARD punya wewenang
menyelidiki dan menangkap orang. ARD juga boleh menghadiri dan
membubarkan rapat-rapat organisasi pergerakan. Tapi ARD berbeda dari
polisi biasa. “Polisi biasa sudah ada sejak pertengahan abad ke-19,
sedangkan ARD muncul ketika nasionalisme di Hindia Belanda bangkit,”
kata Peter Kasenda, sejarawan dan penulis buku Zulkifili Lubis, Komandan Intelijen Pertama Indonesia.
Kaum pergerakan tak
tahu pembentukan ARD. Mereka masih menggunakan nama PID untuk menyebut
intelijen. Ini termaktub dalam memoar dan biografi tokoh pergerakan
seperti Sukarno dan Mohammad Hatta.
Uniknya, agen-agen
ARD, baik dari bumiputera maupun Belanda, sangat mudah dikenali.
“Mungkin ini awal dari sebutan ‘intel melayu’, intel yang mudah
mengaku,” canda Broto.
Meski begitu, mereka berhasil meredam
gerakan Sarekat Islam dan Partai Nasional Indonesia. Beberapa tokoh
organisasi itu berhasil ditangkap dan dibuang ke Digul. “Tapi terhadap Partai Komunis Indonesia atau ‘hantu merah’ mereka gagal,” kata Peter. “Terbukti dari munculnya perlawanan PKI di sejumlah daerah pada 1926. Mereka kecolongan.”Sumber Historia