Macan Sidoarjo adalah julukan warga Surabaya dan Sidoarjo pada Mayor Sabarudin selepas pecahnya revolusi nasional 1945. Zainal
Sabarudin Nasution,nama lengkapnya, sangat ditakuti karena aksi teror
dan berbagai tindakan brutalnya. Aneka kisah kekejamannya banyak
dituturkan orang dengan berbagai versi dan bumbu fantastis, tetapi
tidak mengubah fakta, bahwa ia telah membunuh dan bertanggung jawab atas
tewasnya sejumlah besar orang yang dituduh mata-mata musuh (Belanda).
Fakta ini tidak saja
dituturkan oleh pihak lawan dan orang awam, tetapi juga diakui oleh anak
buahnya. Walaupun komandan mereka mempunyai citra dan reputasi buruk,
namun kepemimpinannya dalam ketentaraan tetap dikaguni dan dihormati.
Sabarudin, lahir tahun
1922. Bapaknya seorang jaksa. Ibunya menikah lagi setelah menjanda
dengan seorang Belanda bernama Knoop. Sabarudin dengan kakak
laki-lakinya yang setahun lebih tua, Djalaluddin, tumbuh bersama bapak
sambungannya. Setelah lulus MULO (SLTP) ia bekerja sebagai jurutulis di
kantor Kabupaten Sidoarjo dan sebagai pemegang buku suatu perkebunan
tebu.
Cerita
kekejaman Sabarudin , dimulai saat ada bekas Chudancho bernama Suryo,
putra Suwongso seorang pegawai menengah di Kantor Residen Surabaya jaman
Belanda, ditangkap para pemuda dan diserahkan kepada komandan PTKR
(Polisi Tentara Kemananan Rakyat). Karena Suryo anak orang terpandang
dan pernah ikut jambore ke Belanda serta ada foto bersalaman dengan Ratu
Wilhelmina, Suryo dianggap mata-mata dan ditawan oleh pemuda. Tapi
akhirnya oleh komandan PTKR, Suryo dibebaskan. Setelah bebas, Suryo yang
ternyata juga bekas tentara PETA pada jajaran BKR (Badan Keamanan
Rakyat) Jawa Timur pimpinan Mustopo, membantu Suharyo ke gudang senjata
dan mengambil mitraliur berat kaliber 12,7 mm dan mitraliur kaliber 7,7/303 L.E.
Tapi dua hari kemudian,
Suryo ditangkap Sabarudin (bekas Shodancho) yang juga bekas PETA (anak
buah Suryo sendiri). Sabarudin saat itu adalah komandan PTKR daerah
Karesidenan Surabaya. Tanpa melalui proses hukum, Suryo dihukum mati
dengan tuduhan sebagai mata-mata Belanda. Eksekusinya dilakukan secara
terbuka di alun-alun Sidoarjo. Sabarudin sendiri yang mengeksekusi
dengan menembak Suryo dengan pistol. Dua anak buahnya yang kemudian
memenggal Suryo.
Tak seorangpun yang berani
menegur aksi Sabarudin yang sewenang-wenang. Saat itu, bila orang
mendengar nama Sabarudin, sudah ngeri duluan. Doel Arnowo melukiskan
wajah sabarudin amat menakutkan. Terlebih saat marah, maka kebengisan
terpancar dari sorot matanya. Konon, nama Jenderal Soedirman dan Letjen
Oerip Soemohardjo pun tidak membuat Sabarudin keder!
Motif Sabarudin
mengeksekusi Suryo sebenarnya masalah pribadi. Saat bekerja di kantor
sebagai juru tulis, Suryo adalah atasan Sabarudin. Keduanya bersaing
memperebutkan gadis cantik puteri Bupati Sidoarjo. Suryo lebih
beruntung karena berpendidikan OSVIA. Sejak itulah hubungan keduanya
mendingin dan jadi dendam kesumat.
Saat Jepang menduduki Indonesia, nasib
mempertemukan Suryo dan Sabarudin dalam satu batalyon (daidan) PETA,
yaitu daidan III Buduran Sidoarjo, pimpinan Mohamad Mangundiprojo. Suryo
jadi Chudancho (komandan kompi) dan Sabarudin jadi komandan peleton
(Shodancho), namun beda kompi. Seiring perjalanan waktu, dimana saat itu
suasana demikian genting karena terjadi perebutan kekuasaan antara
pemuda dan Jepang, nama Sabarudin pun melejit.
Namun, seiring bergeraknya revolusi, watak dan
sikap Sabarudin pun berubah. Sebagai salah satu komandan pasukan di
Surabaya, Sabarudin paling sering datang ke Markas BKR Jawa Timur untuk
meminta dana perjuangan. Dan, Mayor Jenderal Mohamad Mangundiprojo,
sebagai bendahara menggantikan Suryo menolak memberi sebelum Sabarudin
dapat mempertanggung jawabkan uang yang telah diterima sebelumnya.
Timbulah pertikaian diantara keduanya.
Kemudian Sabarudin menyebar fitnah bahwa Mohamad
adalah orang yang korup dan dituduhnya sebagai mata-mata Belanda.
Mohamad mulanya diam saja. Namun, begitu mendengar Bupati Sidoarjo dan
Mojoketo juga ditawan Sabarudin, kesabarannya pun habis. Sebagai ketua
DPRI (Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia), Mohamad membuat surat perintah
penangkapan Sabarudin. Itupun tak mempan sehingga Mohamad pun ke MBT
(Markas Besar Tentara) di Yogyakarta untuk menyelesaikan masalah.
Di MBT (Markas Besar Tentara), Sabarudin yang
dikenal memiliki pasukan yang kuat, dengan senjata lengkap dan anggota
kompak, mampu mengatasi semuanya. Bahkan saat Mohamad yang saat itu
lapor ke MBT di Jogja, ditangkap dan dianiaya. Tanpa sepengetahuan
perwira di MBT. Lalu Sabarudin pun membawa Mohamad kembali ke Jawa
Timur.
Presiden pun sempat mendengar keributan di markas
MBT dan menugaskan TKR Divisi VI pimpinan Kolonel Soediro menyelamatkan
Mohamad. Soediro memerintahkan Resimen Madiun (pimpinan Letkol Sumantri)
dan Resimen Kediri (pimpinan Surachmad) mencegat konvoi Sabarudin.
Gagal dicegat di Madiun, akhirnya Sabarudin berhasil dicegat pasukan
Surachmad di jembatan Kertosono. Pasukan Surachmad yang melakukan
pencegatan itu adalah kompi Polisi Tentara pimpinan Kapten Heri Harsono.
Akhirnya Mohamad diselamatkan dan Sabarudin dibiarkan kembali ke
markasnya di Pacet, Mojokerto.
Konon, di Pacet Mojokerto yang jadi markas PTKR
Sabarudin, ada tawanan nonik-nonik Belanda yang diinternir oleh Jepang
yang dijadikan harem oleh Sabarudin. Mereka menempati bungalow
indah bekas milik Belanda. Sebelum di Pacet, mereka bermarkas di
Tretes, Pasuruan. Mengingat kebrutalan Sabarudin, dua hari setelah
peristiwa penculikan Mohamad, DPRI mengerahkan pasukan gabungan
menyerang markas Sabarudin di Pacet.
Pasukan gabungan ini terdiri dari Pasukan
Perjuangan Polisi (P3), Pesindo, Hizbullah dan Laskar Minyak. Mohamad
Yasin selaku pimpinan P3 mendapat perintah langsung dari Panglima
Jenderal Soedirman untuk memimpin penyerangan. Sabarudin sempat lolos
tapi akhirnya disergap di simpang empat Mojosari, Mojokerto dan dikirm
ke penjara Wirogunan Yogyakarta.
Belum sempat disidangkan, terjadi Agresi I Belanda.
Sabarudin pun lepas dari penjara. Dalam waktu singkat dia berhasil
mengumpulkan ex anak buahnya sampai kira-kira satu kompi dan
membentuknya menjadi “Laskar Rencong”. Sabarudin kembali ke Jawa Timur
dan memulai petualangannya. Termasuk berteman akrab dengan Tan Malaka.
Pemberontakan PKI Madiun 18 September 1948, memberi
peluang bagi Sabarudin untuk merehabilitasi namanya. Kesatuannya diakui
sebagai Batalyon 38 dalam Brigade Surachmad. Diapun mendapatkan kembali
pangkat Mayornya. Brigade 29 Letnan Dachlan yang merupakan salah satu
kekuatan militer PKI (yang memberontak di Madiun) yang frustasi pun
dapat dilumpuhkan oleh Sabarudin.
Prestasi Sabarudin pun dipuji oleh pemerintah dan
pimpinan tentara. Namun lagi-lagi terjadi keonaran di tubuh tentara.
Tiga perwira TNI di Kediri tewas ditangan pasukan Sabarudin. Puncaknya,
Kolonel Sungkono, sebagai pimpinan tentara di Jawa Timur memerintahkan
kesatuan CPM untuk menangkap Sabarudin. Di tangan kesatuan inilah,
Sabarudin tamat riwayatnya.
Demikian, cuplikan kisah dari buku
Petualangan Mayor Sabarudin, Rekam jejak Aksi Brutal Perwira Pejuang
1945-1950 yang ditulis oleh Suparto Brata. Buku ini ditulis tidak untuk
mendeskriditkan tokoh tertentu atau mereduksi jasa kepahlawanan prajurit
pada masa perjuangan. Namun lebih sebagai upaya pembelajaran bagi
generasi muda Indonesia bahwa realitas kejujuran sejarah bangsa tidak
selalu bersinar. Bisa saja buram dan berkerak!
Judul Buku
Petualangan Mayor Sabarudin
Rekam Jejak Aksi Brutal Perwira Pejuang 1945-1950
Penulis
Suparto Brata
Editor
Affan Rasyidin
Penerbit
CV Litera Media Venter (LMC)
Surabaya
Tebal
iii-92 halaman
Cetakan
Cetakan I, Nopember 2011