Bunker tempat perlindungan pada situasi genting (Satgas Indo FPC) |
Dalam menghadapi situasi darurat atau genting yang akan mengancam jiwa prajuritnya, Unifil telah mengaturnya secara matang dengan mempersiapkan fasilitas berupa sarana dan prasarana pendukung termasuk piranti lunaknya. Untuk yang pertama terkait dengan sarana dan prasarana pendukung maka pihak Unifil telah menyiapkan puluhan bunker-bunker atau dikenal dengan sebutan “shelter” yang tersebar di seluruh kamp pasukan dan juga di kawasan sekitar perkantoran di mana personel Unifil melaksanakan aktifitasnya. Sedangkan yang kedua terkait piranti lunak adalah tersedianya buku pedoman yang menjadi pegangan setiap kontingen dalam menghadapi situasi bahaya yang terangkum dalam Unifil Contigency Plan.
Bunker/ Shelter di lingkungan kantor |
Bunker atau Shelter adalah sebuah bangunan yang dibangun khusus sebagai tempat perlindungan seseorang terhadap bahaya yang mengancamnya. Untuk Unifil, bunker ini dibangun secara permanen sebagai perlindungan terhadap bahaya serangan bom yang berdaya ledak tinggi yang diperkirakan akan mengancam jiwa prajurit. Dengan pemanfaatan tersebut maka bunker atau shelter ini dibangun dengan bahan beton yang cukup kuat dan sebagian besar dibangun di bawah tanah dengan beberapa cerobong udara mencuat keluar sebagai ventilasi udara.
Dengan jumlah personel yang mencapai 10.189 personel dari 37 negara (data Juni 2013 dari http://unifil.unimision.org)
maka shelter yang dibangun Unifil mencapai ratusan Shelter yang
tersebar di seluruh tempat dan markas kontingen di area operasi Unifil
di South Lebanon. Khusus di lingkungan Unifil HQ (Headquarter) di mana
aku berada di dalamnya, tercatat ada 64 shelter yang mampu menampung
2.200 orang, dengan masing-masing shelternya dapat menampung 14 sampai
300 personel UNIFIL, baik sipil maupun militer yang berasal dari
berbagai negara. Setiap shelter berisi Compact Ration Pack (CRP) atau
ransum siap makan dan air dalam botol yang diperuntukan 3 hari/orang dan
juga kelengkapan lainnya untuk menunjang kehidupan dalam kehidupan
darurat seperti P3K, komunikasi telepon dan sarana wc darurat.
Bunker/Shelter di Soedirman Camp |
Sebagian besar dari bunker atau shelter itu merupakan tanggung jawab langsung FHQSU (Force Headquarter Support Unit), salah satu Satgas yang dikirim dari Indonesia. Sedangkan selebihnya adalah tanggung jawab satuan-satuan yang berada di lingkungan Unifil HQ. Pengaturan alokasi personel untuk masing-masing shelter dilakukan oleh Force Protection Center (FPC) yang disesuaikan dengan jarak letak kantor dengan shelter serta kapasitas shelter tersebut, sementara Departemen Logistik bertugas melengkapi kebutuhan seluruh shelter. Pengaturan penempatan personel itu tidak saja pada saat jam kerja, akan tetapi juga pada saat di luar jam kerja, ataupun sedang dalam perjalanan.
Alarm Berbunyi, Berlindung ke Bunker!
Dalam menghadapi situasi genting atau darurat yang terjadi di lingkungan
Unifil HQ, semisal ada serangan senjata lintas lengkung yang mengancam
jiwa personel maka langkah awal yang harus diambil seluruh personel
adalah segera berlindung ke bunker, mencari perlindungan sembari
menunggu langkah-langkah strategis selanjutnya dari Unifil Force
Commander melalui Joint Operations Command (JOC). Biasanya keadaan
bahaya ini ditandai dengan adanya alarm atau sirine yang berbunyi terus
menerus selama beberapa menit. Langkah ini merupakan tindakan reaktif
yang sudah umum diketahui oleh seluruh personel yang bergabung dengan
Unifil.
Perlengkapan yang tersedia di dalam shelter |
Dalam beberapa kasus, upaya mencari perlindungan ke bunker sudah direncanakan dan diantisipasi Unifil sebelumnya, dalam arti bukan merupakan tindakan reaktif melainkan tindakan antisipasi khusus karena adanya pertimbangan situasi yang berkembang pada saat itu. Untuk yang satu ini, dapat dicontohkan saat terjadi ketegangan yang memuncak akibat situasi politik di Suriah pada awal September 2013, di mana ada rencana serangan Amerika dan sekutunya terhadap Suriah. Kekhawatiran utama aku dan sebagian besar rekanku saat itu adalah adalah adanya “isu “ bahwa lokasi tempat kami bermarkas akan dijadikan lintasan peluru-peluru meriam kapal perang pihak barat yang akan “membombardir” Suriah melalui laut. Memang sulit dibayangkan bila itu terjadi, di mana langit Naqoura dipenuhi peluru-peluru meriam kapal yang tak henti.
Dalam menghadapi situasi seperti itu maka Unifil mengantisipasinya
dengan beberapa tindakan konkret di lapangan antara lain memberikan
“warning” kepada seluruh kontingen untuk mempersiapkan segala sesuatu
bila terjadi kegentingan mulai dari tingkat awal pemanfaatan shelter
hingga rencana darurat yang merupakan pilihan terakhir yakni proses
pengunduran pasukan atau kasarnya “evakuasi” ke tempat yang lebih aman
dan netral yakni Siprus dan Mesir melalui jalur laut.
Monitor perkembangan status (Foto-dok Satgas Indo FPC) |
“Perintah” contingency plan tersebut ditindaklanjuti seluruh kontingen, termasuk kontingen Garuda dari Indonesia. Aku dan seluruh rekan Satgasku yang tergabung dalam Military Community Outreach Unit (MCOU) tidak terkecuali mempersiapkan segala sesuatu terkait dengan rencana darurat tersebut. Pada langkah awal, kami sudah diberi perintah untuk menyiapkan seluruh perlengkapan darurat penting yang dimasukkan dalam satu ransel tempur yang akan dibawa bila terjadi “pengunduran”. Senjata organik laras panjang SS-1 yang sebelumnya disimpan di dalam gudang juga segera dikeluarkan untuk menemani senjata laras pendek pistol yang selama ini kami bawa dalam tugas harian. Dua senjata laras pendek dan panjang beserta satu ransel tempur harus siap di Korimek, mengantisipasi sewaktu-waktu terjadi “chaos” sehingga memudahkan kami untuk membawanya ke shelter maupun melakukan operasi pengunduran. Untuk menjaga tingkat reaksi kami terhadap situasi tersebut, kami pun melakukan sejumlah latihan di Kamp bergabung dengan rekan-rekan dari Satgas lain.
Akan tetapi, waktu yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Alert Status
atau tingkatan bahaya yang berlaku Unifil tetap Yellow atau Kuning,
tidak ada perubahan ke status Red (Merah) atau bahkan Black (Hitam).
“Deadline” yang diberikan Amerika terlewati dan akhirnya tidak jadi
terlaksana karena satu persatu negara pendukungnya “mundur”, di samping
itu karena tidak adanya dukungan dari konggres di lingkup negara adi
daya tersebut. Kami pun menarik nafas lega dan kembali melakukan
aktifitas sehari-hari sesuai bidang tugas masing-masing.