Pages

Tuesday, 12 November 2013

Kisah Bung Tomo sowan ke KH Hasyim Asyari sebelum perang


Pada 10 November 1945, pertempuran dahsyat terjadi antara pasukan Inggris dengan arek-arek Suroboyo. Pertempuran yang oleh pasukan Inggris diduga cuma berlangsung tiga hari, namun ternyata memakan waktu sampai hampir satu bulan. Puluhan ribu nyawa melayang dari kedua belah pihak.

Di balik pertempuran dahsyat yang dimulai pada 10 November 1945 tersebut, kita pasti tak lupa dengan nama Sutomo, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo. Bung Tomo memiliki andil besar dalam mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo, memompa jiwa nasionalisme lewat pidato-pidatonya yang menggugah dan memompa semangat.

Bung Tomo lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920. Dia adalah seorang wartawan dan aktif menulis di berbagai surat kabar dan majalah seperti harian berbahasa Jawa Ekspres, Harian Soeara Oemoem, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer dan sebagainya. Bung Tomo juga pernah menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita Pendudukan Jepang Domei, serta Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.

Bung Tomo juga pernah menjabat sebagai pucuk pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). BPRI akhirnya dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia. Bung Tomo juga kerap berpidato yang disiarkan oleh Radio BPRI untuk mengobarkan semangat perjuangan. Pidato yang disiarkan oleh BPRI ini selalu direlai oleh RRI di seluruh wilayah Indonesia.

Ada cerita tersendiri sebelum pidato Bung Tomo yang akhirnya menjadi pemicu perlawanan arek-arek Suroboyo terhadap tentara sekutu tersebut. Sebelum membacakan pidato yang melegenda itu, Bung Tomo terlebih dahulu sowan kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama pada saat itu. Bung Tomo izin untuk membacakan pidatonya yang merupakan manifestasi dari resolusi jihad yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama NU.

Resolusi Jihad bermula saat Presiden RI Pertama, Soekarno mengirim utusan kepada KH Hasyim Asyari, menanyakan bagaimana hukumnya dalam agama Islam membela tanah air dari ancaman penjajah. KH Hasyim Asyari tidak langsung menjawab, melainkan meminta masukan kepada para kyai terlebih dahulu.

Tepat pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, diputuskan bahwa melawan penjajah sebagai perang suci alias jihad, atau saat ini populer dengan istilah resolusi jihad.

Setelah resolusi jihad dicetuskan, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Pada 10 November 1945 atau tepatnya dua minggu setelah resolusi jihad dikumandangkan, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan tentara pribumi dan juga warga sipil yang cuma bersenjatakan bambu runcing. Konon, ini adalah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara.

Perang yang berlangsung kurang lebih selama tiga minggu ini akhirnya dimenangkan oleh arek-arek Suroboyo. Pasukan Inggris yang tangguh itu pun lumpuh, dan bertekuk lutut.

Kisah-kisah pertempuran arek-arek Suroboyo, bersama para santri dan kyai melawan pasukan Inggris ini terekam apik dalam film 'Sang Kyai' yang tayang belum lama ini, termasuk adegan Bung Tomo yang sowan kepada KH Hasyim Asyari.

Dari berbagai sumber(mdk/mtf)

Pertempuran Surabaya dan fatwa Jihad NU lawan tentara Inggris

10 November 1945 adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya rakyat Surabaya. Hari itu telah terjadi pertempuran besar antara arek-arek Surboyo dengan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) dan sekutunya yang akan menjajah Indonesia kembali yang baru mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Ketua DPP PKB Marwan Jafar angkat bicara soal kisah perjuangan rakyat Surabaya kala itu. Menurut dia, ada beberapa catatan penting sebagai refleksi bersama tentang makna memperingati Hari Pahlawan yang selama ini lepas dari pengamatan.

"Ada peristiwa besar yang mendahului lahirnya pertempuran 10 November tersebut, yaitu adanya fatwa Resolusi Jihad yang digulirkan Pendiri Ormas Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyaikh Syekh KH Hasyim Asy'ari pada tanggal 22 Oktober 1945," kata Marwan dalam pesan singkat, Minggu (10/11).

Dia menjelaskan, salah satu isi Resolusi Jihad NU adalah mewajibkan bagi umat Islam terutama NU harus mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dan sekutunya yang ingin berkuasa kembali di Indonesia. Fatwa ini yang dimaknai dengan perang suci.

"Kewajiban ini merupakan perang suci (Jihad). Kewajiban ini bagi setiap muslim yang tinggal radius 94 kilometer. Sedangkan mereka yang berada di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material bagi mereka yang berjuang," ujar Marwan.

"Fatwa Resolusi Jihad tersebutlah yang memantik semangat pertempuran seluruh rakyat Indonesia untuk saling bahu membahu dalam satu tekad dan tujuan, yaitu mengusir segala bentuk penjajahan di muka bumi Indonesia sampai titik darah penghabisan," tambahnya.

Adanya fatwa Resolusi Jihad tersebut, lanjut Marwan, sebagai wujud kecintaan ulama terhadap bangsa ini sekaligus sebagai bentuk komitmen para ulama dan para santri untuk mengisi kemerdekaan Indonesia yang di deklarasikan tiga bulan sebelumnya.

"Namun dalam sejarah bangsa Indonesia, adanya fatwa Resolusi Jihad seakan dinafikan begitu saja. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah bangsanya," kata Ketua Fraksi PKB di DPR itu.

Untuk itu, Ia berharap agar momentum Hari Pahlawan dan Resolusi Jihad harus jadikan refleksi bersama untuk mengusir penjajahan dalam dimensi lain, yaitu melawan segala bentuk intervensi asing dalam hal kebijakan ekonomi, kedaulatan pangan, politik, supremasi hukum, demi mewujudkan cita-cita awal pendirian bangsa ini, yaitu mensejahterakan rakyat Indonesia lahir dan batin.

"Memperingati hari Pahlawan akan hampa tanpa memahami arti Resolusi Jihad. Karena kedua hal tersebut saling berkaitan. Untuk itu saya mengajak semua elemen bangsa untuk mengisi peringatan hari Pahlawan ini dengan kontekstualisasi makna Resolusi Jihad dengan kebutuhan bangsa saat ini," pungkasnya.(mdk/mtf)