Ia diciduk dua polisi rahasia Belanda di rumah sekaligus tempat prakteknya sebagai dokter di Amsterdam. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Leiden, Belanda, itu dibawa ke Euterpestraat, markas Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman.
Sejak itu, lelaki berdarah Batak itu harus meringkuk di empat kamp konsentrasi Nazi selama empat tahun: Kamp Schoorl dan Amersfoort di Belanda, serta Buchenwald dan Sachsenhausen di Jerman.
Parlindoengan lahir pada 30 Juni 1910 di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ia datang dari keluarga berada, sehingga memungkinkannya bersekolah hingga sarjana. Setamat MULO (setingkat sekolah menengah pertama) di Medan pada 1927, ia melanjutkan ke AMS (sekolah menengah atas) di Jakarta.
Selain Parlindoengan, ada nama Djajeng Pratomo yang juga aktivis Perhimpoenan Indonesia. Djajeng pernah ditahan di kamp konsentrasi Nazi di Dachau, Muenchen. Kamp Dachau disebut-sebut sebagai kamp konsentrasi Nazi yang paling kejam dan banal.
Pada 18 Januari 1943, rumah Djajeng Pratomo dan rekannya sesama mahasiswa Moen Soendaroe digerebek oleh Sicherheitsdienst (tentara Nazi). Djajeng diangkut dengan truk ke Kamp Vaught. Ia kemudian dijebloskan ke Kamp Dachau.(TEMPO.CO)