Pusat Studi Sosial dan Politik Indonesia (Puspol) meminta pemerintah untuk lebih serius memperhatikan Pulau Natuna. Pasalnya, pulau tersebut adalah satu- satunya pulau terdepan yang secara geopolitik berbatasan dengan delapan negara, yakni Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, Brunei, Tiongkok, Filipina, dan Taiwan.
Menurut Suryo, Natuna tidak lagi bisa dianggap sebagai salah satu pulau terdepan semata, tetapi Natuna adalah Gerbang Nusantara; pintu masuk yang merepresentasikan wajah Indonesia secara keseluruhan. Dengan kata lain, pelanggaran garis batas kedaulatan negara, apa pun bentuknya, apalagi pengambilan potensi kekayaan alam negara guna kepentingan sepihak negara lain, menjadi salah satu parameter serius kebijakan Poros Maritim Dunia.
Selain itu, lanjut Suryo, potensi ekonomi yang dimiliki Natuna, baik itu di laut maupun di darat, yang sangat tinggi, menjadi pertimbangan kedua. Sementara kehidupan penduduknya yang jauh dari kesejahteraan bukan karena ketidaksadaran akan potensi kekayaan alam yang dimiliki, tetapi lebih karena tidak adanya fasilitas pengelolaan.
“Di sinilah diuji keseriusan penjagaan dan pembangunan wilayah kedaulatan republik, karena Natuna masuk dalam peta pertarungan wilayah berdasarkan potensi ekonominya. Kita mengenalnya dengan konflik Laut Tiongkok Selatan,” katanya.
Suryo menegaskan, jika wilayah Barat Indonesia yang lebih banyak mendapat perhatian pembangunan saja tidak secara serius diperhatikan garis perbatasannya, bagaimana dengan wilayah kawasan Indonesia timur yang lebih jauh jaraknya dari pusat pemerintahan dan lebih luas wilayahnya.
“Kami sudah melakukan penelitian tentang peta SDA dan geopolitik di Natuna. Pilihan Natuna sebagai obyek riset didasari bahwa Natuna adalah Pintu Gerbang Nusantara yang secara geopolitik berhadapan dengan delapan negara. Dari penelitian yang kami lakukan menemukan sejumlah hal, di antaranya potensi kekayaan ikan di Natuna, kerugian negara akibat illegal fishing,” tutur Suryo.
Illegal Fishing
Sementara itu, Direktur Puspol Indonesia Ubaidillah Badrun mengungkapkan, potensi perikanan budidaya dan tangkap di Perairan Natuna yang melimpah belum mampu dioptimalkan dengan baik, sehingga tidak menyejahterakan masyarakatnya. Salah satu faktor penyebab adalah masifnya pencurian ikan di Perairan Natuna.
“Masifnya pencurian ikan di Perairan Natuna melibatkan banyak aktor kepentingan. Mereka itulah mafia illegal fishing yang mengurus harta kekayaan lautan Indonesia dan membuat masyarakat kita kian sengsara,” katanya.
Ia mengungkapkan, pencurian ikan dan ketidakberpihakan pembangunan yang responsif sosial kerakyatan, menyebabkan sebagian masyarakat Natuna hidup dalam kekurangan dan kemiskinan. Perairan lautan yang melimpah ruah belum berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Natuna.
“Nelayan Natuna umumnya adalah nelayan tradisional. Untuk itu, sangat sulit bila bersaing dengan nelayan asing. Nelayan Natuna sangat membutuhkan bantuan dari Pemda, seperti kapal pompong, subsidi solar, GPS, Fish Finder, dan Ecosounder,” ujarnya menandaskan.(JMOL)