JAKARTA
— Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional menargetkan mampu membuat
satelit penginderaan jauh nasional pada 2019. Demi mewujudkannya
dibutuhkan anggaran sekitar Rp 4,5 triliun, selain sumber daya manusia
yang belajar di negara lain.
Kepala Pusat Kerja Sama Internasional Kementerian Komunikasi dan Informatika Ikhsan Baidirus mengatakan, Indonesia harus menguasai teknologi pembuatan satelit dengan cara apa pun. Sebab, tak akan ada negara yang sukarela berbagi teknologinya kepada negara lain.
”Jangan dianggap boros karena untuk mewujudkan kemandirian bangsa (dalam pengembangan teknologi antariksa),” kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin di sela-sela diskusi penyusunan rencana induk keantariksaan oleh Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional di Jakarta, Rabu (10/12/2014).
Perkiraan kasar kebutuhan dana pembuatan satelit penginderaan jauh (inderaja) itu, kata Thomas, memang sangat besar. Apalagi jika dibandingkan anggaran Lapan sebagai lembaga riset dan rekayasa teknologi dirgantara dan antariksa Indonesia yang Rp 650 miliar setahun.
Jika dibandingkan harga pembelian BRI Sat, satelit milik Bank Rakyat Indonesia, sebesar Rp 2,5 triliun, anggaran itu realistis. Terlebih lagi pembuatan satelit inderaja nasional akan menjadi batu loncatan untuk membuat satelit telekomunikasi sendiri.
Dua satelit
Dana sebesar itu untuk membangun dua satelit yang masing- masing perlu Rp 1,5 triliun. Sisanya untuk pengembangan fasilitas pendukung, seperti sarana uji dan ruang steril.
Satelit tersebut akan diluncurkan menggunakan roket peluncur negara lain, seperti India, Tiongkok, atau Jepang. Lapan memang sedang mengembangkan roket peluncur satelit sendiri, tetapi masih tahap awal serta terkendala laboratorium dan kepakaran.
Menurut Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, anggaran riset yang disediakan pemerintah disusun berdasarkan capaian hasil riset, bukan aktivitas riset yang dilakukan. Dana yang dikeluarkan juga akan ditinjau berdasarkan manfaat untuk masyarakat.
Menurut rencana, satelit inderaja digunakan untuk mendukung penyediaan peta dasar tata ruang Indonesia. Selama ini, peta inderaja Indonesia dengan berbagai tingkat resolusi diperoleh menggunakan satelit asing milik Amerika Serikat, Jepang, dan Perancis.
”Program kemaritiman pemerintah pun butuh data satelit inderaja,” kata Thomas.
Selain keperluan tata ruang, pemantauan kapal-kapal, termasuk kapal penangkap ikan di perairan Indonesia, juga bisa menggunakan satelit yang dilengkapi sistem identifikasi otomatis (automatic identification system/ AIS). Sistem itu akan menangkap sinyal yang dipancarkan kapal-kapal dengan bobot lebih dari 300 gros ton.
Kepala Pusat Teknologi Satelit Lapan Suhermanto mengatakan, perangkat AIS sebenarnya sudah ada di pelabuhan. Namun, akibat persoalan lengkung bumi, AIS hanya mampu menangkap sinyal kapal dalam jarak 50 kilometer. ”Jika AIS ditempatkan di satelit bisa menerima sinyal kapal dalam radius 200 km,” katanya.
Satelit Lapan A2 yang menurut rencana diluncurkan Juni-Agustus 2015 akan dilengkapi sistem AIS. (KOMPAS.com)