Pages

Saturday, 20 December 2014

Mengenang Trikora Bentuk Strategi Maritim untuk Kepentingan Nasional

Patung Pembebasan Irian Barat di jakarta (Foto: Wikipedia)
Patung Pembebasan Irian Barat di Jakarta 

Hari ini tanggal 19 Desember, 53 tahun silam di Alun-alun Utara Yogyakarta digaungkan Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Sukarno untuk merebut kembali Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Instruksi yang berisi gagalkan pembentukan negara boneka Papua, kibarkan sang saka merah putih di Irian Barat, dan bersiap untuk mobilisasi umum guna mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa itu menjadi bahan bakar yang memacu seluruh rakyat Indonesia.
Untuk menjalankan instruksi itu, pemerintah kemudian membentuk Operasi Mandala yang bermarkas di Ujung Pandang (sekarang Makassar) di bawah pimpinan Mayjend TNI Suharto. Ternyata dominasi strategi pada operasi ini mengandalkan strategi maritim dalam penguasaan laut sebagai medan juang atau mandala tempurnya.

Diplomasi Maritim
Dari rangkaian operasi tempur beserta pendukungnya itu, Belanda berfikir dua kali untuk melanjutkan perang dengan Indonesia terkait Irian Barat. Setelah Amerika Serikat diketahui tidak mendukung Belanda, dan justru sebaliknya menyarankan agar menyerahkan Irian Barat ke Indonesia melalui New York Agreement 15 Agustus 1962, dengan terpaksa Belanda akhirnya bertekuk lutut pada tanggal 1 Mei 1963 melalui penyerahan Irian Barat ke Indonesia melalui upacara dihadapan perwakilan PBB di Hollandia (sekarang Jayapura).

Perjalanan itu menjadi pelajaran penting bagi Indonesia saat ini untuk menjalankan kepentingan nasionalnya dengan menggunakan maritim sebagai strategi dan kekuatannya. Kepentingan nasional itu pun harus dikukuhkan dengan falsafah bangsa dan dasar negara yang saat ini pun sudah mulai kabur maknanya. Lalu bagaimana strategi maritim itu ada jika kepentingan nasionalnya tidak ada?
Pekerjaan Rumah itu harus diselesaikan oleh pemerintah yang ditopang oleh seluruh rakyatnya agar Poros Maritim Dunia menjadi kenyataan. Serta peran strategi maritim, kekuatan maritim, dan juga diplomasi maritim untuk Indonesia semakin disegani laiknya era 60-an.

Strategi Maritim
Strategi maritim didefinisikan sebagai suatu seni mengarahkan aset-aset maritim untuk mencapai tujuan atau sasaran politik yang diinginkan. Mahan dan Corbett, ahli strategi Angkatan Laut, menyatakan bahwa arah dari strategi maritim telah berkembang sesuai dengan perubahannya. Lingkungan politik, ekonomi, dan teknologi memiliki hubungan secara langsung pada strategi maritim suatu bangsa.
Strategi maritim menggunakan laut untuk mendayagunakan posisi geografi dari negara pantai dan menolak (sea denial) untuk memberikan keuntungan bagi musuh. Dengan demikian tempat bermain utama dari strategi maritim adalah lautan dan kemampuan yang dimiliki agar mudah tercapai. Hal itu berkaitan kemudian dengan sea power atau kekuatan laut. Sea power secara umum dijelaskan termasuk di dalamnya semua aspek kekuatan nasional yang relevan baik sipil dan militer (Marsetio, 2014:89).

Dalam suatu Grand Strategy, strategi maritim merupakan turunan dari kepentingan nasional suatu negara (Biasanya dijabarkan dalam konstitusi). Kemudian dijabarkan lagi dalam bentuk ends (tujuan), ways (cara), dan means (sarana dan alatnya).

Dengan ditetapkannya Ujung Pandang (Makassar) sebagai pusat komando dari Operasi Mandala, berarti pemerintah saat itu benar-benar mempelajari sejarah. Ujung Pandang merupakan jembatan antara Indonesia bagian barat dengan bagian timur, dan merupakan tempat di mana dapat mengontrol seluruh perairan dari dan menuju Irian Barat. Wilayah ini selalu menjadi pusat perhatian Belanda di masa VOC untuk menguasai perairan timur melalui pelayaran hongi.

Persatuan dan kesatuan yang tertuang dalam Pancasila, Pembukaan UUD 45, dan Deklarasi Djuanda menjadi ends dalam operasi ini. Irian Barat merupakan wilayah Kesultanan Tidore sejak masa Nusantara menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Republik Indonesia baik secara de facto maupun de jure. Pasca Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda tahun 1949 wilayah ini selalu dipertahankan oleh Belanda. Sampai dengan tanggal 1 Desember 1961, Belanda mengumumkan berdirinya negara boneka Papua (Sekarang diperingati sebagai hari jadi OPM).

Presden Sukarno merespons peristiwa itu dengan Operasi Trikora sebagai bentuk konfrontasi militer pada saat diplomasi menemui jalan buntu. Ways yang dilakukan dalam operasi ini ialah dengan menggalang dukungan internasional dan kekuatan nasional baik sipil maupun militer, serta memanfaatkan laut sebagai media juang dalam merebut Irian Barat. Melalui laut, pemerintah menerjunkan para intelijen maritim baik sipil maupun militer untuk melakukan pengintaian, penggalangan masyarakat, dan penyerangan secara dadakan ke jantung pertahanan musuh.
ARMADA PERANG ALRI - Menjadi salah satu komponen dalam kekuatan laut merebut Irian Barat (Foto: Kaskus)
ARMADA PERANG ALRI – Menjadi salah satu komponen dalam kekuatan laut merebut Irian Barat

Dari kalangan militer, kesatuan seperti RPKAD (sekarang Kopasssus) dan KKO (sekarang Marinir TNI AL) yang biasanya melakukan operasi tersebut. Peristiwa Teluk Merah oleh KRI Tjandrasa dan RPKAD, serta penenggelaman kapal perang Belanda Karel Doorman, oleh anggota Pasukan Katak ALRI menjadi peristiwa yang fenomenal dalam operasi intelijen ke Irian Barat.
Dari kalangan sipil, ribuan sukarelawan diterjunkan ke Irian Barat melalui laut dan udara untuk pengibaran bendera merah putih. Seperti yang diungkapkan mantan sukarelawan dari Pulau Salawati (Raja Ampat), Ahmad Mayalibit, yang menyusup dari Selat Salawati ke Sorong menggunakan sampan dan akhirnya bersama ABRI merebut Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM), perusahaan minyak Belanda di Sorong.

Jauh-jauh hari sebelum operasi Trikora itu dilaksanakan, Mayalibit dan ribuan sukarelawan lainnya telah disusupkan ke Irian Barat dengan menyamar sebagai pedagang, guru, dan bahkan ada yang menjadi pastur. Langkah itu terbilang berhasil mengingat banyaknya penduduk asli Irian yang ikut berjuang bersama-sama mengusir Belanda dari bumi Irian.

Means yang digunakan oleh Indonesia selain SDM baik militer maupun sipil, ialah alutsista ALRI yang boleh dibilang tergolong canggih di zaman itu. Diantaranya, 12 kapal selam dari Uni Soviet, 140 kapal perang dari berbagai jenis, 26 pesawat pembom jarak jauh jenis TU-16 dan TU-16KS, serta 24 buah MIG-21F. Dan ada beberapa kapal milik Pelni yang dimobilisir menjadi kapal perang. Selain pangkalan utama di Ujung Pandang, pemerintah juga menyediakan pangkalan pendukung seperti di Teluk Peleng, Sulteng sebagai pangkalan kapal selam, dan pangkalan-pangkalan transit seperti Pulau Seram, Pulau Banda, dan Pulau Salawati.(http://jurnalmaritim.com)