Jakarta : KEHADIRAN pesawat angkut Hercules C-130 dalam menunjang operasi militer dan operasi militer selain perang di tanah air telah banyak diketahui rakyat Indonesia, mengingat pengabdian pesawat angkut tersebut di Tanah Air sudah lebih dari 60 tahun. Sejak Maret 1960, TNI Angkatan Udara sudah mengoperasikan C-130 Hercules yang tergabung dalam skadron udara 31 dengan kekuatan 10 unit C-130B Hercules yakni, delapan unit tipe cargo dan dua unit tipe tanker.
Namun selain Hercules, ternyata TNI Angkatan Udara juga memiliki pesawat yang sama-sama digolongkan sebagai pesawat angkut berat. Hal itu mengingat keberadaan 10 unit pesawat Hercules dirasa tidak memadai kala itu, apalagi guna mempersiapkan operasi militer dalam skala besar.
Singkat cerita, pada Desember 1960, Jenderal AH Nasution bertolak ke Moskow, Rusia untuk menegosiasikan pengadaan tambahan alutsista, dimana salah satu item-nya adalah kebutuhan akan pesawat angkut berat jarak jauh. Hingga kemudian, TNI AU berhasil memperoleh pesawat turbo propeller Antonov An-12B Cub. Jumlah yang dibeli sebanyak enam unit, dan mulai berdatangan pada tahun 1964 – 1965. Keenam pesawat tersebut mendapat registrasi, T-1201 hingga T-1206.
An-12 tergolong pesawat medium size, medium range transport aircraft. Seperti halnya dengan C-130 Hercules, An-12 juga dilengkapi dengan empat mesin turbo propeller dan ramp door pada bagian ekor untuk cargo. Dilihat dari spesifikasinya, Antonov An-12 mampu terbang dengan kecepatan maksimum 777 Km per jam, serta kecepatan jelajah 670 km per jam. Tenaganya dipasok empat buah mesin Progress AI-20L or AI-20M turboprops, dengan kekuatan 4.000 eHP (3.000 KW) untuk tiap mesin.
Kapasitas bahan bakar keseluruhan bisa mencapai 1.390 liter, dan dapat ditambahkan dengan ekstra fuel tanks. Untuk urusan daya angkut, An-12 lebih unggul dari C-130B Hercules yang bermesin turboprop Allison T56A-7. An-12 dapat mengangkut muatan maksimum hingga 20.000 kg, sementara C-130B Hercules hanya 16.363 kg. Bobot maksimum saat take off mencapai 61.000 kg, sedangkan C-130B bisa mencapai 79.380 kg.
Antonov An-12 TNI AU (Indomiliter) |
An-12 tidak sekedar didesain murni sebagai pesawat angkut. Keunggulan An-12 terletak pada adopsi ruang kanon pada bagian ekor (tail turret). Wujudnya berupa kompartemen juru tembak, jenis kanonnya tipe Nudelman-Rikhter NR-23 kaliber 23 mm dengan dua laras yang dapat memuntahkan 850 proyektil dalam satu menit, dengan kecepatan tembak 690 meter per detik. Keberadaan kanon ini dipersiapkan sebagai elemen pertahanan jika sewaktu-waktu pesawat dicegat atau dibuntuti lawan.
Khusus An-12B milik TNI AU terlihat ada kompartemen juru tembak, meski dalam foto tidak tampak keberadaan laras kanonnya. Keunikan lain dari An-12 yakni pada rancangan bagian hidung yang bergaya ala pembom Tu-16, dimana pada moncong pesawat ditempatkan jendela/kaca intai.
Kedatangan Antonov An-12 sekaligus melahirkan skadron angkut kedua di lingkungan TNI AU, yakni skadron udara 32 yang resmi berdiri pada 27 Juli 1965. Skadron udara 32 awal berdirinya ditempatkan di Lanud Hussien Sastranegara, Bandung.
Namun lagi-lagi akibat peristiwa G-30S/PKI membawa dampak besar pada arah perpolitikan dan kekuatan tempur udara Indonesia, seperti halnya yang terjadi pada TU-16. Antonov An-12 ikut menjadi korban dan di non-aktifkan akibat tiadanya pasokan suku cadang dari Uni Soviet. Lewat sistem kanibalisasi suku cadang, An-12 TNI AU masih ada yang sempat terbang hingga tahun 1970 hingga kemudian dinyatakan di grounded.
Akibat grounded, total Antonov An-12 yang menjadi kekuatan skadron udara 32 praktis menjadi kosong tanpa kekuatan sama sekali. Melalui Keputusan Menhankam/Pangab No. Skep/14/IV/1976, skadron udara 32 dipindah ke lanud Abdulrachman Saleh, Malang, meskipun saat itu tanpa kekuatan pesawat. Baru kemudian pada 11 Juli 1981, skadron 32 diaktifkan kembali dengan perkuatan pesawat C-130B Hercules.
Meski waktu pengabdiannya terbilang singkat di Indonesia, tapi sayangnya, tidak ada satu pun An-12 TNI AU yang tersisa untuk diabadikan sebagai koleksi museum atau monumen.
pelita online