Cina, kekuatan ekonomi nomor dua terbesar di dunia
setelah AS sedang membangun kekuatan militernya seperti postur kekuatan
ekonominya. Menuju Cina 2020 dengan
ambisi menjadi kekuatan ekonomi nomor satu dunia dengan dukungan kekuatan
militer berkemampuan ofensif. Jalan ke
arah itu sudah di depan mata riak gelombangnya.
Dua gelombang panas dia luncurkan sekaligus yaitu menetapkan zone
identifikasi pertahanan udara di LCT dan melayarkan kapal induk terbarunya
Liaoning ke Laut Cina Selatan bersama iringan destroyer, fregat dan kapal
selamnya.
Halaman depan rumah kita |
Ambisi emosi ekspansi Cina yang mulai membabi buta itu
dengan mengumumkan Adiz (Air Defence Identification Zone) di LCT membuat marah
sejumlah negara. Jepang, Korsel, Taiwan,
Australia dan AS memberikan reaksi keras pada negeri keras kepala tersebut.
Bahkan AS meledeknya dengan mengerahkan 2 bomber kelas berat B52 melintas kawasan
itu dengan kawalan kapal induk George Washington dan jet siluman F22 Raptor. Cina tak bereaksi. Kasus ini semakin membuka mata pandang kita
bahwa Cina akan semakin berbahaya cara bermain apinya karena terkesan ingin adu
otot dan menciptakan banyak musuh.
Indonesia memang tidak punya konflik teritori dengan Naga
Panda di pulau Natuna. Namun irisan
tumpang tindih teritori di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) utara Natuna tetaplah
harus menjadi kewaspadaan Indonesia. Sebab juluran lidah naga yang digambarkan menyapu seluruh LCS dipastikan
sampai hembusannya di perairan Natuna sebagaimana peta klaim wilayah yang
diumumkan Cina jauh-jauh hari.
Di beberapa tulisan terdahulu kita sudah menggariskan
bahwa perairan Natuna dan udaranya harus berada dalam kawalan yang terus
menerus, bukan sekedar meluncurkan program gugus tempur laut Tameng Hiu, Tameng
Pari atau yang sebangsanya. Demikian
juga dengan patroli udara, haruslah berupa kehadiran tetap dan terus menerus, bukan
temporer atau situasional. Jelasnya harus
tersedia kapal perang berpeluru kendali dan jet tempur yang dimarkaskan di
Natuna sebagai penegas dan penguat bahwa Indonesia siap bertarung dengan siapa
saja yang mengganggu teritorinya.
Merapatkan barisan dengan anggota ASEAN yang lain
merupakan opsi “pengobatan alternatif” untuk mengantisipasi situasi kawasan
yang memburuk. Ya kalau ASEAN 10 agak sulit bersenyawa mengapa tidak kembali lagi
ke ASEAN 8 atau ASEAN 5 alias negara pendiri ASEAN saja. Mengapa, karena Kamboja dan Laos sudah ada
dalam pengaruh “hipnotis”Cina. Jadi
jangan berharap banyak dengan dua negeri Indocina itu untuk ikut melawan Cina. Merapatkan barisan dengan sesama ASEAN 8 atau
ASEAN 5 bermanfaat untuk kesamaan visi dan misi terhadap kehadiran musuh
bersama.
Laut Cina Selatan sedang digoyang dengan kedatangan kapal
induk Cina yang baru dan pertama. Kapal induk Liaoning dan kapal pengawalnya
termasuk kapal selam minggu-minggu ini menghampiri perairan dan gugusan
pulau-pulau kecil di kawasan yang mengandung banyak sumber daya energi fosil
itu. Dalam tradisi militer kehadiran armada
kapal “tamu” tentu disambut juga dengan pengerahan kapal perang atau kapal
selam dari negara di sekitar LCS. Bahkan
AS mengirim kapal selam nuklirnya untuk memantau gerakan armada kapal induk
Cina itu.
Yang diluncurkan Rudal buatan Cina C802 |
Jawaban Indonesia untuk argumen reaksi kedatangan itu, ya
tentu mengirim kapal perang juga ke Natuna.
Namun jawaban visioner RI untuk menyongsong tahun 2020 jelas
memperlihatkan keseriusan Pemerintah untuk membangun kekuatan militer sekuat
tenaga. Perkuatan militer Indonesia untuk
6 tahun ke depan diprediksi akan mendatangkan alutsista strategis berupa 8-10
kapal selam, 3-4 destroyer, 10-12 fregat, 3 skuadron jet tempur Sukhoi Family. Penting untuk diketahui bahwa program
perkuatan alutsista bukanlah merupakan beban atau expense bagi negara bangsa.
Tetapi harus memandangnya dalam bingkai investasi pertahanan, nation
capital. Tidak sulit mendatangkan asset
pertahanan strategis itu jika ada kemauan yang kuat bergelora untuk memastikan
nilai dan harga pertahanan bangsa.
Ambisi emosi ekspansi Cina harus disikapi dengan cara
pandang visioner. Persahabatan tetaplah dijalankan.
Tapi postur diri tetap harus dikuattegarkan sehingga ketika dia tiba-tiba
melotot kita pun balas melotot juga. Meski
sejauh ini kita tidak berkonflik teritori dengan Cina di LCS tetaplah kita
siapkan modal pertahanan diri, memperkuat militer dan persenjataannya. Sejauh ini geliat militer Cina merupakan
indikator utama untuk mempersiapkan kekuatan pukul setara. Tetapi manfaat lain tentu “berguna” pada
lingkungan sekitar misalnya Australia, Malaysia dan Singapura. Negara-negara
ini tentu tidak lagi meremehkan kekuatan milter Indonesia bahkan cenderung mulai
melancarkan jurus “senyum ramah tamah yang penuh pamrih”. Kalau tak percaya kita lihat saja pada bulan dan
tahun-tahun mendatang sapaan diplomatik mereka.