"Nanti bisa diarahkan ke sana. Saat ini, diawali dengan mengundang puluhan negara dari Asia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Australia duduk bersama dan berdialog bersama di simposium ini," kata Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Marsetio, di Jakarta, Rabu.
Simposium itu diikuti 32 delegasi angkatan laut dari 57 negara yang diundang, mewakili kawasan terlingkup dalam Western Pacific Navy Symposium dan Indian Ocean Navies, selain unsur-unsur dari kekuatan NATO dan bekas Pakta Warsawa.
13 kepala staf atau panglima angkatan laut negara-negara sahabat hadir sebagai pembicara, dengan tujuh negara terlibat konflik Laut China Selatan dan Laut China Timur, juga hadir. Mereka adalah Jepang, Brunei Darussalam, Filipina, Korea Selatan, Viet Nahm, Malaysia, dan China.
Terhadap wacana patroli damai bersama di perairan Laut China Selatan yang menjadi titik pangkal konflik antara China dan empat negara ASEAN, Marsetio menyatakan, "Ajakan untuk sama-sama menjaga kepentingan bersama telah diutarakan."
Hal senada juga dinyatakan Kepala Staf Angkatan Laut Amerika Serikat, Admiral Jonathan Greenert, yang menjadi pembicara, bahwa saling bertukar informasi dan data untuk kepentingan pengamanan dan perdamaian kawasan adalah satu hal penting dilakukan bersama.
"Tentu semua negara memiliki data rahasia yang tidak bisa diungkap begitu saja. Namun yang pokok adalah membangun keyakinan bisa saling percaya dan hal itu dimulai dengan dialog seperti ini," kata Marsetio.
Ilustrasi nyata hal itu terjadi di Selat Malaka, antara TNI AL, Angkatan Laut Kerajaan Thailand, Angkatan Laut Singapura, dan Tentera Laut Diraja Malaysia. Mereka berempat sepakat melakukan patroli terkoordinasi bersama; salah satunya untuk membasmi perompakan di selat urat nadi perekonomian dunia itu.
Hal yang terjadi di perairan Selat Malaka inilah yang kemudian sempat diwacanakan dilakukan di sekitar perairan Laut China Selatan, yang menjadi ajang perebutan kepemilikan antara Brunei Darussalam, Filipina, Korea Selatan, Viet Nahm, Malaysia, dan China.
Antara