Pages

Tuesday, 3 September 2013

Pilot Pertama yang ke Rusia Tanpa Pengalaman Terbang di Sukhoi


 Kisah Penjaga Angkasa Indonesia 

Jakarta - Letnan Satu Penerbang Rahman Fauzi, 28 tahun, tiba-tiba mendapat tugas baru di kesatuannya, tugas belajar ke Rusia menerbangkan pesawat tempur Sukhoi. Tahun 2012 itu, ia baru saja mengantongi jam terbang 200 jam di pesawat jet tempur F-16 dan masih terdaftar dalam Skuadron III Lanud Iswahyudi, Madiun.

Tapi perintah atasan itu pantang ditolak. Ia pun berangkat tanpa sempat ada latihan konversi dari pesawat tempur F-16 ke jet tempur Sukhoi. “Yang pertama kali ke Rusia tanpa pengalaman terbang di Sukhoi saya, kemudian ada adik saya angkatan 2008,” kata Fauzi saat ditemui detikcom di Terminal Haji Selatan, Lanud Halim Perdanakusuma, Sabtu pekan lalu.

“Kebetulan saya memang belum ada jam belajar di Sukhoi dan langsung belajar di Rusia. Saya belum tahu juga kenapa bisa seperti itu, saya hanya pelaksana,” ujar dia menambahkan.

Keheranan sempat melintas di benaknya. Sebab saat itu skema standar untuk jadi pilot Sukhoi harus punya pengalaman jam terbang minimal 350 jam setelah itu melewati masa konversi terlebih dulu di markas Sukhoi di Makassar.

Di Rusia, ia mengaku sempat merasa deg-degan luar biasa. Maklum, jet tempur F-16 buatan Amerika yang selama ini ia pegang tentunya punya spesifikasi yang berbeda dengan Sukhoi buatan Rusia.

“Waktu itu saya terbang malam pertama di Rusia, kan masih pesawat baru, pertama kali terbang malam di tempat yang asing, jadi panik banget. Tapi itu ya normal sih, namanya juga yang pertama, saat itu saya deg-degan tapi tak disangka ternyata bisa,” kata Fauzi mengenang.

Fauzi berlatih bersama Angkatan Udara Negeri Beruang Merah itu selama empat bulan pada Juni–September 2012 dengan sistem 2 bulan teori dan 2 bulan praktik terbang. “Senin–Sabtu teori, lalu kalau terbang empat hari sepekan setiap Senin, Selasa, Kamis, Jumat, satu hari bisa 3-4 kali terbang."

Tak hanya latihan terbang dan membuat formasi, mereka juga dilatih bagaimana bertempur. Menurutnya, ada tiga kategori yang dilatih yakni pakai roket, senjata, dan bom. Ia menambahkan keahliannya membom juga mendapat nilai bagus karena tepat sasaran.

“Kita benar latihan ngebom di tempat untuk menjatuhkan sasaran berupa pesawat dan tank tak dipakai dan ditaruh di lapangan, jadi enggak latihan kering,” ujarnya. Selama di Rusia, Fauzi mengaku hampir tak ada kendala berarti, kecuali cuaca yang sangat ekstrim.

Kebetulan dia di sana pada saat musim panas menuju musim semi dan suhu saat ini bisa mencapai 2 derajat saat udara dingin di musim semi, dan bisa mencapai 40 derajat saat musim panas. “Sementara kita latihannya dari pagi siang malam, kadang jam 1 baru balik sementara besoknya kembali lagi latihan,” ungkapnya menjelaskan.

“Kalau kita naik lebih dari 5.000 kaki, suhu di kokpitnya sudah harus benar-benar dipanasin, di dalam itu ada pengatur suhu.” Lainnya, kata Fauzi, dia justru terbantu dengan visibility yang bagus sebab jarang ada awan dan kabut.

Selesai masa belajar, langsung ditempatkan di Skuadron XI dan makin sering menerbangkan pesawat tempur itu baik dalam latihan maupun saat operasi hingga ia sudah mengantongi jam terbang 500 jam di Sukhoi dan F-16.

Saat di kedua skuadron itu, Fauzi mengaku sudah beberapa kali terlibat dalam misi seperti patroli menjaga pulau-pulau Indonesia. “Kita pernah ke Ambalat patrol, ke Bima, dan juga ke pulau-pulau terluar, itu rutin dilaksanakan tapi ada jangka waktunya sesuai komando,” ujar dia.



Menjadi pilot memang sudah jadi cita-cita Fauzi. Padahal, bisa dibilang ia tak ada sumber inspirasi khusus sebab keluarganya berkarir di jalur nonmiliter. Untungnya ayah dan ibunya yang berkarir sebagai guru membebaskan Fauzi memilih karir.

“Sejak kecil saya ingin jadi pilot walau belum spesifik ke pesawat tempur karena kelihatannya dunianya berbeda dengan di darat. Dari atas kita bisa melihat sekaligus lautan, darat, dan juga udara,” kata dia.

Tamat SMA pada 2002, anak bungsu dari 3 bersaudara asal Magelang ini rela menunggu karena saat itu usianya belum genap 18 tahun. Tahun berikutnya ia diterima di Angkatan Udara dan lulus pada 2006.

Tahun 2008 dia ditempatkan di Skuadron Udara F-16 di Madiun setelah menempuh pendidikan di Sekolah Penerbangan kurang lebih satu setengah tahun. Di sanalah ia sampai mengantongi jam terbang 200 jam lalu ikut kaderisasi pilot tempur Sukhoi.

Dibandingkan F-16, menurut Fauzi, Sukhoi lebih lincah dengan avionic yang lebih lengkap serta punya daya jangkau lebih tinggi. Dari segi endurance, ketahanan bahan bakar Sukhoi bisa sampai 500 mile.

“Kalau dari Makassar sampai ke selatan bisa sampai ke Australia dan kalau ke utara bisa sampai ke pulau paling utara seperti ke Ambalat dan balik lagi.”

Walau mengaku menjadi pilot adalah impiannya, Fauzi tak menampik ada kalanya ia sedih karena harus meninggalkan keluarga demi tugas terbang. Termasuk Sabtu lalu, Fauzi juga harus terbang ke Jakarta bersama satuannya demi tugas terbang pada ulang tahun kemerdekaan RI padahal istrinya tengah hamil tua.

“Kebetulan istri saya juga sedang hampil 9 bulan, kalau enggak hari ini ya besok melahirkan,” ungkapnya. Demi melancarkan komunikasi, ia tak mau absen berkirim pesan. Paling tidak, setiap akan terbang dan setelah turun ia pasti menghubungi istrinya dan kedua orang tuanya. (brn/brn)

.detik.