Pages

Wednesday, 4 September 2013

Membangun Rasa Percaya Diri




Sebagai pencinta republik banyak diantara kita merasa under estimate terhadap potensi kekuatan bangsa ini.  Sebagai contoh ketika situs militer terkenal dari luar sana mengabarkan ranking kekuatan militer Indonesia yang menduduki 16 besar dunia, banyak yang tidak meyakininya.  Padahal seluruh indikator yang membangun rangka kekuatan militer dalam penyusunan ranking itu memang merupakan elemen yang memajukan potensi kekuatan militer.  Misalnya potensi sumber daya manusia, sumber daya alam yang besar, kekuatan daya beli yang lebih dikenal dengan APBN dan produk domestik bruto.

Kemudian jika ada jiran yang mau beli alutsista, muncul perasaan minder seakan kita tidak punya daya dan gaya dalam menampilkan militer kita.  Yang lebih aneh lagi ketika daftar belanja alutsista kita selama 4 tahun terakhir yang merupakan belanja terbesar setelah era Dwikora digelar dan barangnya sudah mulai datang satu persatu, masih ada saja yang mengatakan dengan nada pesimis bahwa barang yang diadakan dan yang didatangkan itu sesungguhnya “tidak nendang”.
Satgas Bansos TNI AL saat ini sedang menjelajah pulau terpencil di NTT
Misalnya forum militer dari jamaah aliran penentang “bekasiyah” atau “hibaiyah”, maksudnya tentang alutsista bekas dan hibah seperti 24 jet tempur F16 dianggap tidak memberikan efek gentar.  Padahal jet tempur bekas pakai angkatan udara AS ini sesungguhnya diperbaharui lebih dulu sebelum dikirim ke Indonesia tahun 2014 nanti.  Sampai saat ini F16 merupakan alutsista yang tetap diperhitungkan di seluruh dunia.  Disamping itu kita kan juga sudah punya 1 skuadron jet tempur kelas berat Sukhoi yang menjadi tamu kehormatan dalam Pitch Black di Australia beberapa bulan lalu. Artinya tetangga saja sudah mulai menyadari kebangkitan militer Indonesia

Pertanyaannya mengapa kita selalu merasa pesimis dan apatis terhadap segala hal termasuk tentang militer kita. Peran media sedikit banyak memberikan “arahan” tentang mekanisme pola pikir berbangsa.  Media dengan kebebasan mutlaknya lebih menyajikan porsi dominan tentang peristiwa “laku jual”, maksudnya kalau ada cerita tentang korupsi, ketidakpastian hukum, berita kriminal, perilaku Parlemen sangat cepat disiarkan kalau perlu breaking news atau live.  Tetapi jika ada berita penting tentang kemajuan dan prestasi membangun, porsinya hanya sebatas memberitakan, tidak ada bumbu penyedap, tidak ada dialog interaktif misalnya tentang operasionalisasi bandara Kuala Namu yang megah itu, atau keberhasilan PT KAI melaksanakan angkutan lebaran, keberhasilan Polisi mengamankan jalur lebaran, prestasi TNI dalam berbagai lomba ketangkasan regional sebagai juara umum, prestasi TNI dalam misi perdamaian UN di Libanon dan tempat lain.

Termasuk pula upaya MPR untuk menanamkan semangat ber NKRI dengan pola 4 pilarnya yang digemakan terus menerus.  Prestasi anak-anak Indonesia di gelanggang olimpiade ilmu pengetahuan, pendapatan per kapita yang sudah mencapai US$ 3.800,-  PDB no 16 besar dunia.  Menu yang tersaji dan terbukti sebagai langkah maju dianggap tidak penting oleh media sehingga pola pikir yang terbentuk selalu suuzon dan tak percaya.  Meski menjadi berita prestasi tetapi tanggapannya selalu ada kalimat bersayap, ah paling karena ini karena itu.
Panglima tertinggi on the spot menuju Latgab 2013
Membangun rasa percaya diri pada segenap komponen anak bangsa adalah bagaimana sesungguhnya kemampuan bangsa ini dalam melangkah dan menapaki jalannya.  Media sebagai jembatan komunikasi berperan besar untuk menyampaikan pesan itu. Tetapi yang terurai lebih pada persepsi negatif misalnya ketika sebuah media layar kaca menyampaikan editorialnya tentang pembelian helikopter serang Apache. Kurangnya pemahaman tentang bangunan konsep dan strategi pertahanan, hanya melihat angka US$ 500 juta lalu memandang pembelian Apache sebagai pemborosan.

Mestinya jika melihat situasi kawasan yang begitu dinamis, Laut Cina Selatan yang demam terus, adanya pangkalan militer AS di Darwin, Cocos dan Singapura, sengketa Ambalat, mengamankan ALKI maka mengeluarkan angaran belanja alutsista adalah kewajiban untuk mewibawakan postur pertahanan.  Memang diprediksi tidak terjadi perang terbuka dalam sepuluh tahun ke depan tetapi jangan lupa postur militer kita yang kuat justru akan menjadi benteng pertahanan yang ampuh manakala terjadi sesuatu yang tak kita inginkan.  Atau postur militer yang kuat itu memberikan rasa segan untuk berkonfrontasi.  Artinya menjaga untuk tidak terjadi perang.
Beberapa jenis alutsista yang kita pesan sudah mulai berdatangan dan akan terus berdatangan.  Dan kita (InsyaAllah) tidak akan berhenti sampai disitu.  Dalam program MEF tahap kedua (2015-2019) sangat diyakini kita akan mendatangkan berbagai alat pukul strategis dan mematikan seperti 10 kapal selam Rusia, jaringan sistem pertahanan udara jarak sedang, jet tempur kelas berat.  Termasuk mulai memproduksi rudal dan roket, tank medium dan kapal perusak kawal rudal.

Tentu semua itu seiring dengan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi kita yang  semakin baik.  Jika kita selalu mendoakan dengan lantunan rasa syukur sebagai anak bangsa dan kemajuan dalam langkah bersama untuk menjalani hari-hari berbangsa dalam berbagai aktivitas termasuk mendoakan pengawal republik, niscaya energi positif yang dikumandangkan terus menerus itu akan menjadi kenyataan.  Diakui yang masih kurang dalam etika berbangsa ini adalah korupsi yang masih menjadi tetanus bangsa dan ketidakpastian penegakan hukum yang dipertontonkan. Namun diluar itu banyak yang sudah dicapai termasuk menyandangkan baju alutsista yang lebih baru dan modern.  Untuk itu marilah kita secara akal budi dan logika cara pandang, membangun rasa percaya diri dan mensyukuri masih dikunjungi sinar matahari pagi yang hangat nan indah.