"Tidak ada, dalam kebijakan kami membeli alutsista tidak boleh ada syarat pendektean penggunaan," kata Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin kepada wartawan saat ditemui usai menerima Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Charles Hagel, di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2013.
Begitu pula pengakuan Menteri Pertahanan RI, Purnomo Yusgiantoro. Menurut dia, dalam nota perjanjian pembelian yang dia tandatangani tidak ada paksaan Amerika Serikat dalam penggunaan Apache.
Dia pun berjanji tak ada materi serupa dalam detil kontrak yang bakal disusun secepatnya. Sayang, Purnomo tak mau menyebutkan isi klausul kontrak yang akan diajukan Indonesia. "Yang jelas dalam kontrak itu ada klausul waktu pembayaran dan pengiriman."
Selain itu, Purnomo juga menyebut pembelian helikopter serang Apache satu paket dengan pelatihan pilot. Sejumlah penerbang helikopter TNI Angkatan Darat nantinya akan dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti serangkaian pelatihan menerbangkan Apache.
Dalam pembelian ini, dia melanjutkan, Indonesia juga akan menerima sejumlah senjata yang bisa dipasangkan ke Apache. "Detil senjatanya pihak TNI AD yang tahu," kata Purnomo.
Mengenai besaran harga pembelian delapan unit helikopter Apache, baik Purnomo dan Sjafrie tutup mulut. Wakil Menteri Sjafrie Sjamsoeddin hanya menyebut pembelian menggunakan duit negara melalui mekanisme peminjaman. "Nanti efektif proses pengirimannya Oktober 2014," kata Sjafrie.
Sebelumnya, pengamat militer Rizal Dharma Putra menyebut ada beberapa resiko membeli alutsista milik Amerika Serikat. Resiko itu mulai dari embargo suku cadang dan senjata, hingga intervensi penggunaan alutsista.
Amerika Serikat melarang penggunaan alat perang mereka untuk operasi militer lokal. Sebagai contoh pesawat OV-10 Bronco Indonesia yang merupakan hibah dari Amerika Serikat tak boleh digunakan dalam operasi militer di Aceh beberapa tahun lalu.
tempo