Tidak ada lagi wajah masam dan demonstrasi menuntut pembayaran gaji seperti mewarnai hari-hari pascaperusahaan plat merah tersebut tersungkur karena menjadi korban politik International Monetary Fund (IMF). Intervensi IMF yang merupakan bagian dari paket restrukturisasi krisis ekonomi 1997 bukan hanya mengandaskan program N250 yang tinggal selangkah lagi akan menjadi penguasa dirgantara di kelasnya serta membenamkan ambisi BJ Habibie untuk membangun N-2130, melainkan juga memaksa ratusan tenaga ahli pergi ke luar negeri untuk menyambung hidup dan sebagian memilih bertahan dengan risiko hidup pas-pasan.
Tapi, cerita muram tersebut perlahan mulai tinggal kenangan. Saat ini perusahaan yang bermarkas di Bandung tersebut sudah bisa tersenyum lebar. PT DI bahkan kini kebanjiran order pesawat, terutama dari Kementerian Pertahanan. Kebijakan pemerintah yang memprioritaskan penggunaan alutsista dalam negeri telah menjadi dewa penolong yang membangkitkan kinerja PT DI.
Informasi terbaru, PT DI baru saja mendapat pesawat pesanan membuat 11 helikopter antikapal selam dari TNI Angkatan Laut. Helikopter jenis AS565 MB Panther buatan Eurocopter akan dibikin di Indonesia. Pada saat yang sama, PT DI juga mendapat pesanan membuat 12 helikopter multiperan AS350 Ecureuil yang juga dari Eurocopter. Melalui kerja sama itu pula, PT DI kini tengah membangun tujuh helikopter EC-725 Cougar varian Combat SAR and Personal Recovery, sejumlah CN-235 MPA, dan delapan CN-295.
Di luar pesanan lain, PT DI juga mendapat pesanan membuat helikopter dan pesawat dari sejumlah negara dan komponen dari pabrikan utama dunia seperti Airbus dan Boeing. Untuk pesawat, PT DI pada 2013 ini sudah menarget penjualan senilai Rp 3,47 triliun. Jumlah tersebut lebih besar dari pencapaian penjualan pada 2012 sebesar Rp 2,7 triliun. Selain itu, PT DI pun menargetkan pencapaian kontrak pembuatan pesawat terbang, servis, pesanan komponen, dan alutsista engineering sebesar Rp 4,24 triliun.
Banjir pesanan tentu menjadi berkah bagi PT DI. Tetapi, di balik itu sekaligus menjadi tantangan, terutama bagaimana bisa menyelesaikan seluruh pesanan tepat waktu dengan kualitas terbaik. Jika tidak, kredibilitas PT DI akan menjadi taruhannya. Minimnya tenaga ahli sudah diatasi dengan merekrut 1.500 tenaga kerja baru. Tapi, menggembleng mereka tentu butuh waktu.
Karena itu, PT DI hendaknya kembali merangkul para ahli yang tersebar di berbagai negara agar mau balik ke Tanah Air dan bersama kembali membangun perusahaan yang pernah bernama IPTN. Banyaknya pesanan jangan membuat PT DI terlena untuk berinovasi dan mengembangkan rancang bangun sendiri karena bagaimanapun berbagai proyek yang tengah dikerjakan bukanlah murni karya anak bangsa. Proyek N-219 bisa menjadi pintu masuk untuk kembali membangun kepercayaan diri.
Apalagi, beberapa pihak sudah memesan, termasuk 100 pesanan dari Lion Air. Target selanjutnya, PT DI juga berpikir bagaimana kembali menghidupkan N-250. Pesawat turboprop ini sangatlah sesuai dengan kebutuhan penerbangan di Tanah Air karena sangat irit dan cocok untuk penerbangan jangka pendek. Sebagai perbandingan, ATR jenis 72 dan 42 yang lahir setelah IMF membenamkan N-250 hingga kini berhasil menjual lebih dari 1.500 unit.
Selanjutnya tentu bagaimana PT kembali menghidupkan N-2130. Semua harapan itu bukanlah mimpi. Talenta yang diberikan Tuhan kepada anak bangsa untuk menguasai industri dirgantara merupakan anugerah yang harus dimanfaatkan dan dikembangkan bangsa ini. Pertumbuhan ekonomi yang kian membaik serta kesadaran pemerintah dan swasta untuk mendorong terwujudnya kebanggaan nasional juga modal yang sangat berharga untuk meraih mimpi tersebut. Semoga.
sindonews