Kini RI beli senjata tak cuma dari Amerika Serikat tapi juga Rusia.
Dalam kunjungannya ke Jakarta awal pekan ini, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Chuck Hagel, melontarkan pengumuman istimewa: pemerintahnya merestui penjualan helikopter tempur canggih AH-64E Apache kepada Indonesia. Ini tanda hubungan kedua negara di bidang pertahanan kian erat, dan AS kini menjadikan Indonesia sebagai pasar strategis bagi produk-produk persenjataannya.
"Menyediakan helikopter kelas dunia kepada Indonesia merupakan contoh komitmen kami untuk membangun kapabilitas militer Indonesia," kata Hagel usai bertamu ke Menteri Pertahanan RI, Purnomo Yusgiantoro, di Jakarta 26 Agustus 2013.
Menhan Purnomo mengungkapkan pembelian heli tempur itu memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sudah tergolong usang. Hampir 20 tahun lebih, kata Purnomo, Indonesia belum membeli peralatan militer baru.
"Kami membelinya sebagai bagian dari upaya modernisasi peralatan perang militer Indonesia. Kami akui bahwa kualitas militer Indonesia masih rendah, oleh sebab itu akan terus diperbaiki," kata Purnomo.
Indonesia akan membeli Apache sebanyak delapan unit. Dalam satu paket, ungkap Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, delapan heli ini seharga US$ 500 juta (sekitar Rp 5,4 triliun). Oktober 2014 sudah mulai tiba di Indonesia. "Pengiriman dilakukan bertahap. Lengkap dengan persenjataan dan suku cadang," kata Sjafrie.
Apache adalah helikopter tempur andalan Angkatan Darat AS. Seri AH64E yang dibeli Indonesia ini adalah varian terbaru yang mulai diproduksi pada 2012.
Dibuat oleh Boeing Co., helikopter ini memiliki sistem persenjataan dan pengintaian yang canggih, dan dilengkapi dengan radar Longbow Fire Control, perangkat lacak, dan sistem sasaran yang dibuat bersama dengan Northrop Grumman dan Lockheed Martin, ungkap harian The Wall Street Journal.
Selain mengumumkan penjualan helikopter Apache, Menhan Hagel pun mengutarakan pujian pemerintah AS atas membaiknya transparansi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. "Kita harus mengupayakan kemajuan berikut atas isu yang penting ini demi mewujudkan hubungan yang lebih baik dalam bidang pertahanan," ujar Hagel.
Dia pun mendukung kerjasama militer kedua negara, baik di bidang pelatihan bersama dan pendidikan perwira. Bahkan, Hagel pun mendukung saran pembentukan asosiasi anggota TNI yang pernah berkuliah dan berlatih di AS, begitu asosiasi tentara AS yang pernah berlatih dan menempuh pendidikan di Indonesia.
Sikap AS atas Indonesia soal kerjasama di bidang pertahanan dan militer ini sangat bertolak belakang dari dua puluh tahun lalu. Dulu AS menjatuhkan embargo jual beli senjata dan pelatihan tentara atas Indonesia, sebagai hukuman atas kekerasan TNI atas warga di Timor Timur - yang telah berubah menjadi negara Timor Leste - pada dekade 1990an.
Hukuman dari AS itu membuat Indonesia sempat tidak berdaya dalam upaya modernisasi alutsista. Banyak peralatan perangnya, termasuk jet F-16, dibeli dari Amerika namun tak bisa dimutakhirkan karena embargo dari Washington. Kesulitan ini diperparah oleh krisis moneter 1997-1998 yang membuat pemerintah RI harus berhemat untuk beberapa tahun.
Sikap AS mulai berubah saat presiden George W. Bush, mencabut embargo penjualan senjata atas Indonesia setelah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Korea Selatan pada November 2005. Di mata Bush, Indonesia mulai transparan dan menghormati HAM sekaligus menjadi salah satu mitra kunci kampanye perang melawan terorisme.
Lima tahun kemudian, 2010, AS membuka kembali kerjasama pelatihan dan pendidikan militer dengan Indonesia. Jual-beli alutsista AS dengan Indonesia belakangan ini kian intensif saat ekonomi RI sedang stabil dan Washington, sebaliknya, sedang berjuang mencari pendapatan yang banyak untuk mengatasi krisis anggaran.
Selain menjual helikopter Apache, AS pun telah mengumumkan hibah 24 unit jet tempur F-16 bekas ke Indonesia. Namun, jet-jet itu perlu dimutakhirkan dan Indonesia tetap harus membayar.
Pasar Alutsista
Dengan anggaran pengadaan alutsista untuk tahun ini sebesar Rp 81 triliun, seperti yang diungkapkan Menhan Purnomo pada Januari 2013, Indonesia menjadi pasar idaman bagi negara-negara produsen senjata. Bukan hanya AS, Rusia dan negara-negara lain pun berminat.
Wakil Menhan Sjafrie mengungkapkan Indonesia sudah memesan sistem peluncur roket MLRS dari Brazil sebanyak 38 unit. Lalu tank Leopard buatan Jerman akan dikirim bertahap, mulai September 2013 hingga Oktober 2014. "Diharapkan sudah bisa hadir di parade [HUT TNI] 5 Oktober 2013," kata Sjafrie, yang juga mantan Panglima Daerah Militer Jakarta Raya.
Sebagai salah satu raksasa produsen alutsista tingkat dunia, Rusia pun bertekad tidak mau kalah dengan AS untuk semakin aktif menjalin kerjasama dengan Indonesia di bidang pertahanan. Kerjasama ini tidak sebatas jual-beli alat-alat utama sistem pertahanan (alutsista), namun juga latihan militer bersama dan rencana membuat proyek patungan industri alutsista, ungkap laman berita Russia Beyond the Headlines (RBTH).
Viktor Komardin dari perusahaan ekspor senjata-senjata Rusia (Rosoboronexport) baru-baru ini mengungkapkan, Moskow akan menjual perangkat sistem SAM sekaligus membantu mempersiapkan jaringan pertahanan udara. Saat ini, Indonesia hanya memiliki rudal-rudal pertahanan SAM (surface-to-air missile) jarak dekat.
Sejak 2003, Rusia telah mengirim 12 unit jet tempur Sukhoi ke Indonesia. Pengiriman empat unit lagi masih menunggu persetujuan lebih lanjut.
Moskow pun telah menjual sejumlah helikopter militer Mi-35 dan Mi-17 kepada Jakarta. Alutsista lain yang dijual Rusia ke Indonesia adalah kendaraan tempur lapis baja BMP-3F, kendaraan pengangkut personel BTR-80A, serta senapan serbu AK-102.
Untuk membeli persenjataan itu, Moskow pada 2007 memberi fasilitas kredit sebesar US$1 miliar kepada Jakarta. Kerjasama pertahanan di luar jual-beli persenjataan juga telah berlangsung, seperti menggelar latihan bersama memerangi perompak di laut antara pasukan Indonesia dengan Rusia pada 2011.
Rusia pernah menjadi pemasok utama alutsista Indonesia tempo dulu. Saat masih berbentuk Uni Soviet (USSR), Rusia menjual persenjataannya ke Indonesia tidak lama setelah kedua negara membuka hubungan diplomatik pada 1950. Di tahun-tahun awal, banyak pula personel angkatan laut dan udara Indonesia dikirim ke Uni Soviet untuk menempuh pendidikan.
Namun, hubungan itu terganggu di pertengahan dekade 1960an karena alasan-alasan politis. Kedua negara kembali melanjutkan hubungan di awal dekade 1990an, walau baru berjalan erat satu dekade kemudian karena saat itu masih terhalang beberapa faktor.
Contohnya, pembicaraan soal jual-beli jet tempur Rusia Sukhoi-30 ke Indonesia sudah berlangsung sejak 1997. Namun jual-beli itu baru disepakati pada 2003.
Eratnya kembali kerjasama pertahanan Rusia-Indonesia banyak terbantu berkat rengganggnya hubungan serupa antara Indonesia dengan Amerika Serikat di akhir dekade 1990an. Kerenggangan itu muncul setelah Washington menjatuhkan embargo penjualan senjata ke Jakarta karena menilai Indonesia saat itu melanggar Hak Asasi Manusia di Timor Timur, yang kini bernama Timor Leste sejak menjadi negara berdaulat pada 2002.
Embargo senjata AS ke RI itu, berikut suku cadang, berlangsung selama 1999-2005. AS mengakhiri embargo ketika Presidennya saat itu, George W Bush, menganggap Indonesia termasuk mitra penting memerangi terorisme.
Setelah mencabut embargo, AS pun terlihat aktif menawarkan mesin-mesin perangnya kepada Indonesia. Pada 2011, AS sepakat mengirim 24 unit jet tempur bekas tipe F-16 seri C/D blok 25 kepada Indonesia secara cuma-cuma, kecuali untuk biaya pemutakhiran (upgrade).
Pada akhir 2012, AS dan Indonesia berunding untuk jual-beli helikopter serbaguna UH-60 Black Hawk dan helikopter tempur AH-60D buatan Boeing.
Namun, belajar dari embargo AS itu, Indonesia membuka pintu kerjasama seluas-luasnya kepada negara lain, termasuk Rusia, agar tidak lagi bergantung kepada satu pihak dalam pengadaan alutsista. Maka, sejak itu, Indonesia tidak hanya kembali berbisnis senjata dengan AS, namun juga mempererat kerjasama serupa dengan Rusia.(np)
.viva