Ketika Republik Indonesia Serikat didera kecamuk perang dalam
selimut, dua orang—akademisi dan jurnalis—asal Amerika menjadi
tumbalnya.
Kamis pagi, 27 April 1950. Dua orang lelaki bule Amerika mengendarai sebuah mobil Jeep terbuka warna merah yang melaju keluar dari Hotel Savoy Homann. Kemudian, mereka mengelilingi jalanan Bandung, sebuah kota asri berpepohonan rindang dengan bangunan cantik bergaya art-deco. Jeep itu dikemudikan oleh Raymond Kennedy, sedangkan lelaki muda yang duduk di sebelahnya adalah Robert J. Doyle.
Bandung memang sudah dikenal sebagai kota plesiran sejak zaman Hindia Belanda. Pantaslah pada zaman keemasan Hindia Belanda, para pelancong pernah mengenangnya sebagai Paris-nya Jawa. Namun, kedua bule itu tidak sedang melancong. Tampaknya mereka tahu bahwa Bandung telah menjadi pangkalan aktivitas Militaire Inlichtingen Dienst/NEFIS (Netherlands Forces Intelligence Service), sebuah dinas rahasia Belanda yang tengah bertugas di Jawa Barat.
Hotel Savoy Homann, Bandung sekitar 1960-an. Prof. Raymond Kennedy
dan R.J. Doyle bermalam di hotel ini sebelum mereka melakukan
perjalanan terakhirnya. Kedua orang itu tewas ditembak di antara
Cimalaka dan Tomo, Jawa Barat, 27 April 1950 (Wikimedia Commons/Tropen
Museum).
Kamis pagi, 27 April 1950. Dua orang lelaki bule Amerika mengendarai sebuah mobil Jeep terbuka warna merah yang melaju keluar dari Hotel Savoy Homann. Kemudian, mereka mengelilingi jalanan Bandung, sebuah kota asri berpepohonan rindang dengan bangunan cantik bergaya art-deco. Jeep itu dikemudikan oleh Raymond Kennedy, sedangkan lelaki muda yang duduk di sebelahnya adalah Robert J. Doyle.
Bandung memang sudah dikenal sebagai kota plesiran sejak zaman Hindia Belanda. Pantaslah pada zaman keemasan Hindia Belanda, para pelancong pernah mengenangnya sebagai Paris-nya Jawa. Namun, kedua bule itu tidak sedang melancong. Tampaknya mereka tahu bahwa Bandung telah menjadi pangkalan aktivitas Militaire Inlichtingen Dienst/NEFIS (Netherlands Forces Intelligence Service), sebuah dinas rahasia Belanda yang tengah bertugas di Jawa Barat.
Kennedy merupakan profesor antropologi di Yale University, lahir di Massachusetts. Saat itu usianya 43 tahun. Dia pernah menulis tiga buku tentang etnologi Indonesia, dan sudah setahun menetap di Indonesia untuk menyelesaikan penelitiannya soal pengaruh peradaban barat terhadap masyarakat Indonesia.
Sementara, Doyle merupakan jurnalis majalah Time dan Life, dan baru dua tahun menjabat Kepala Biro Hongkong. Usianya 31 tahun. Lelaki kelahiran Chicago itu pernah berdinas intelijen militer AS, berpangkat letnan. Dia baru beberapa hari di Indonesia untuk penugasan meliput situasi Republik yang belum genap berusia lima tahun. Doyle berencana menghimpun informasi soal tanggapan petani-petani di Jawa soal kondisi terkini.
Suasana lobi depan Hotel Savoy Homan
yang interiornya bernuansa mewah sekitar 1950-1955. Pada 1939, hotel
sohor ini dibangun kembali dengan gaya art-deco menggantikan bangunan
lama abad ke-19. Arsiteknya, Albert Frederik Aalbers (Wikimedia
Commons/Tropenmuseum).
Pagi itu mereka meninggalkan Bandung menuju Cirebon, melintasi kantong-kantong gerilya Angakatan Perang Ratu Adil (APRA). Rupanya, sebuah mobil sedan warna biru dengan dua orang Indonesia membututi perjalanan mereka, demikian menurut Kantor Berita Belanda Algemeen Nieuws-en Telegraaf-Agentschap (ANETA).
Suasana Jawa Barat saat itu memang sedang kacau lantaran pada awal 1950 terjadi pemberontakan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling dengan APRA-nya di Bandung. Serdadu-serdadu APRA merupakan sempalan dari tentara Hindia Belanda—KNIL. Kudeta itu gagal dan berujung kisah pelarian Westerling yang diburu militer Indonesia dan polisi militer Belanda.
Setelah persetujuan KMB, sepanjang jalan raya Bandung-Cirebon banyak patroli yang dilakukan oleh KNIL. Menurut Alexander Marshack dalah tulisannya Unreported War in Indonesia di majalah America Mercury edisi Februari 1952, Kennedy dan Doyle dihentikan enam serdadu KNIL berseragam lengkap di antara perbukitan Cimalaka dan Tomo. Dari warna kulitnya tampaknya mereka dari Ambon, demikian pemerian Marshack. Entah, apa yang mereka tanyakan, namun malangnya dua lelaki Amerika itu tewas ditembak dengan senjata pistol mitraliur (sten gun).
Para serdadu KNIL tadi telah menyuruh beberapa warga yang tinggal tak jauh dari tempat kejadian untuk menguburkannya selekas mungkin dan merahasiakan peristiwa tersebut.
Dua hari kemudian, harian New York Times melansir berita kemalangan mereka dengan judul One Victim is R.J. Doyle of Time Magazine—The Other is Belived to Be Professor Raymond Kennedy of Yale. Tampaknya kepolisian saat itu kesulitan mengidentifikasi jenazah Kennedy. Pasalnya, identitas, surat-surat penting, paspor, dan catatan Kennedy telah raib. Sedangkan identitas Doyle masih ditemukan lengkap. Mengapa para serdadu KNIL memperlakukan Kennedy secara khusus?
Ini bukan perampokan, melainkan pembunuhan politis. Tampaknya Kennedy menjadi orang yang paling dicari oleh KNIL—atau dinas intelijen Belanda? Mungkin lantaran dia pernah menulis hal yang telah menyinggung Belanda dalam sebuah media di Amerika Serikat. Sementara, Doyle, masih dianggap sebagai ancaman baru. Dari buku catatan jurnalisnya ditemukan serangkaian pertanyaan wawancara yang berkait dengan "Westerling" dan sesuatu yang menakutkan dengan sebutan "APRA."
Pemerintah RIS menugaskan kepolisian untuk menyisir kawasan sekitar hutan tempat ditemukannya jenazah kedua orang Amerika itu. Perdana Menteri Mohammad Hatta mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia "tidak akan menelantarkan, sampai kejadian misterius dan menyedihkan ini telah terungkap dan orang-orang bersalah dibawa ke pengadilan."
Apakah APRA ada kaitannya dengan dinas rahasia Belanda? Hingga kini pertanyaan itu masih berselimut misteri. Hanya satu jurnalis yang berhasrat mengungkap kaitan tersebut dan menghubungkannya dengan perang dalam selimut di tubuh Republik Indonesia Serikat. Sayang, dia tewas dalam tugas.
Minggu pagi, 30 April 1950, warga Amerika memberikan penghormatan terakhir kepada Kennedy dan Doyle di Permakaman Pandu, Bandung. Mereka dikebumikan bersebelahan. Sampai kini siapa nama pelaku dan dalang pembunuhan itu belum terungkap—mungkin sudah dilupakan orang. Doyle dan Kennedy telah menemui ajal dengan cara terhormat atas dedikasinya.(Mahandis Y. Thamrin/NGI)