Pages

Wednesday, 26 February 2014

Mayor Kawilarang temukan harta karun Jepang di Bogor

Mayor Kawilarang temukan harta karun Jepang di Bogor
Letkol Kawilarang. ©Buku A.E Kawilarang Untuk Sang Merah Putih/Sinar Harapan  

Timbunan emas Jenderal Yamashita disebut-sebut sebagai salah satu harta karun terbesar di dunia. Ada 6.000 ton emas yang dirampas tentara Jepang di Asia Tenggara saat Perang Dunia II.

Harta karun tentara Jepang itu bukan omong kosong. Pasukan TNI pernah menemukannya di daerah Bogor, Jawa Barat.

Kepala Staf Resimen Divisi II TNI Mayor Alex Evert Kawilarang menceritakan penemuan harta itu dalam biografinya yang ditulis Ramadhan KH dan diterbitkan Sinar Harapan.

Sekitar tahun 1946, pasukan TNI anak buah Kawilarang melakukan penggalian di bekas markas Jepang di sekitar Cigombong, Bogor. Mereka mencari senjata yang biasanya disembunyikan tentara Jepang dengan cara dikubur dalam tanah. Jepang memang belum lama meninggalkan kamp di Cigombong itu.

Para prajurit menggali dengan waspada karena selain mengubur senjata, Jepang juga menanam ranjau.

Di sebuah gundukan tanah, cangkul para tentara itu mengenai benda keras. Mereka ketakutan karena disangka mengenai bom.

Setelah beberapa saat tak meledak, barulah mereka menggali lagi. Tapi bukannya senjata, para prajurit TNI itu malah menemukan sebuah guci besar.

Lebih mengejutkan, isi guci itu ternyata penuh emas dan permata dan berkilauan.

Walau bisa kaya tujuh turunan, para tentara itu tak mau mengambilnya. Mereka lalu lapor dan menyerahkan harta itu pada Kawilarang.

Kawilarang juga jujur, dia tak mau makan emas permata peninggalan Jepang. Perwira menengah TNI itu berniat menyerahkan harta temuan pasukannya pada pemerintah Indonesia yang masih morat-marit.

Tapi keesokan harinya datang para laskar dari golongan agama. Mereka minta guci itu pada Kawilarang. Katanya untuk berjuang.

Kawilarang tahu maksud orang-orang itu.

"Benar bapak-bapak mau berjuang? tanya Kawilarang.

Mereka mengangguk. Kawilarang pergi ke gudang. Dia mengambil dua peti granat.

"Ini untuk berjuang," kata Mayor Kawilarang.

Orang-orang itu pun terpaksa pergi membawa dua peti granat.

Mereka tak menyerah. Keesokan harinya lagi-lagi mereka minta guci untuk modal perjuangan.

Lagi-lagi Kawilarang memberi peti berisi granat. "Ini untuk berjuang," katanya.

Sejak itu para laskar itu tak datang lagi.

Kawilarang kemudian mengutus Letnan Muda Gojali untuk mengawal harta itu. Gojali orang jujur, makan pisang di markas perampok saja tak mau karena menganggap tak halal.

Kawilarang lalu mengirim Gojali menyerahkan harta karun itu ke Kementerian Dalam Negeri di Purwokerto.

Gojali melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia menyerahkan harta karun pada Sumarman yang kala itu menjabat Sekretaris Mendagri.

Tak jelas bagaimana Kementerian Dalam Negeri kemudian menggunakan harta tersebut. Surat timbang itu katanya habis terbakar saat agresi militer.

Berapa nilai harta karun tersebut, sebuah majalah pernah mencoba menghitung berdasar bukti-bukti otentik yang ditemukan. Isinya tak kurang dari tujuh kilogram emas dan empat kilogram permata. Nilainya kala itu saja diperkirakan Rp 6 miliar. Bandingkan besarnya jumlah itu dengan gaji seorang tentara yang kala itu berkisar Rp 50.

Belakangan banyak orang mengklaim ikut berjasa menemukan harta itu. Mereka menuntut pemerintah memberi ganti rugi atas harta yang hilang tersebut.

Tapi tak pernah ada penjelasan bagaimana pengelolaan harta karun Jepang itu.

Merdeka