Pages

Friday, 24 October 2014

Kisah Si Codot di Aceh


Kisah Si Codot di Aceh [Bagian 1]
Darurat Militer di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) beberapa tahun silam telah membuat kesibukan luar biasa bagi TNI AU. Pesawat dari berbagai jenis dan fungsi berkumpul di Lanud Medan, Banda Aceh Sabang dan Lhokseumawe. Setiap hari mereka terbang lalu lalang di atas wilayah konflik Aceh dengan risiko diterjang peluru dan granat lontar. Setiap hari itu pula mereka mengukir kisah yang kadang membuat awaknya sendiri terperangah.
Dalam struktur Komando Operasi (Koops) TNI, pesawat pesawat tersebut berada di bawah kendali Satgasud. Khusus helikopter TNI AU, pada suatu saat pelibatannya mencakup satu pesawat S-58T Twin Pac, satu pesawat SA-330 Puma dan satu pesawat NAS-332 Super Puma. Ini masih ditambah satu pesawat BO-105 dan satu pesawat SA-330 puma yang telah lama sebelumnya menjalankan Tugas Pengamanan Obyek Vital Nasonal di Lhokseumawe.
Sejak pencanangan darurat militer itulah, maka penugasan ke NAD menjadi “makanan rutin” bagi warga Skadron Udara 6 Lanud Atang Sendjaja Bogor, yang melibatkan S-58T dan NAS-332.
Pergantian awak adalah biasa dalam kemiliteran karena rotasi memang biasa dilakukan sebulan sekali. Masyarakat awam boleh jadi belum pernah tahu bagaimana uniknya peristiwa ini. Boleh jadi ada yang mengira bahwa jika kami berasal dari sebuah skadron operasional, tinggal naik pesawat yang biasa kami operasikan, lalu terbang ke daerah tugas. Pada kenyataannya tak sesederhana itu. Bahkan, pergantian awak F-16 pun tak bisa dengan mudahnya puiang pergi ke daerah tugas dengan jet super cepat ini.
Berikut ini adalah salah satu kisah pergantian awak Skadron Udara 6 dari Lanud Atang Sendjaia, Bogor, yang dilaksanakan awal bulan Agustus 2003. Menumpang pesawat transpor TNI, saya berangkat bersama Kapten Pnb Lefie (Captain Pilot), Lettu Pnb Agni (Copilot) Serka Cucu (Flight Engineer/FE). Serma Yudi (Radio Specialist) dan Sertu Agus (FE Assistant). Kami adalah tim yang akan mengawaki Twinpac bernomor registrasi H-3451.
Kami meninggalkan Bogor dengan bis tanggal 7 Agustus 2003 pukul 03.00 pagi menuju base-ops Lanud Halim Perdanakusuma di Jakarta. Kami sepesawat dengan awak darat jet tempur F-16 yang pagi itu juga akan ke Medan. Setelah menempuh waktu sekitar 3 jam 15 menit, pukul 09.45 C-130 Hercules yang kami tumpangi mendarat di Medan. Suasana Lanud Medan begitu ramai dan sibuk oleh lalu lalang awak pesawat TNI AU dari berbagai jenis.
Setelah seluruh barang dan perlengkapan kami turunkan dari pesawat, kami segera melaksanakan serah terima pesawat H-3451 dengan tim lama. Terbilang ekspres, karena tim lama harus kembali siang itu juga ke Jakarta dengan Hercules yang sama.
Syukurlah, tidak ada masalah apapun dengan pesawat kami. Namun demikian, prosedur rutin tetap dijalankan, ground run. Ini untuk mengenal kondisi pesawat secara umum, terutama kondisi engine, agar hal-hal yang kurang sesuai dengan standar dapat kami atasi sebelum terjun ke daerah operasi yang sebenarnya: NAD.
Ground run kami laksanakan selama 15 menit, dan sekali lagi. Kami tak menemukan anomali apapun. Pesawat kami nyatakan airworthy, laik terbang
Kami bermalam di Medan, Sambil merencanakan dan mempersiapkan keberangkatan esok harinya ke Lhokseumawe. Kebutuhan yang kami perkirakan sulit diperoleh di Lhokseumawe seperti mi instan dan snack kami beli di Medan malam itu juga. Yah, buat emergency perut…, begitu yang ada dalam pikiran kami. Masalahnya, tidak mungkin lagi bagi kami jalan-jalan keluar kalau sudah berada di Lhokseumawe.
Keesokan harinya, kami sudah siap berangkat pagi ketika tiba-tiba ada perintah untuk menunda keberangkatan. Kami harus menunggu dan membawa beberapa anggota Polisi Militer TNI dan wartawan dari salah satu TV swasta nasional.
Akhirnya, setelah menunggu lama, pukul 15.30 kami berangkat ke Lhokseumawe. Kami membawa delapan orang POM TNI dan seorang wartawan. Helikopter terbang dengan ketinggian sekitar 5.000 kaki (sekitar 1.600 meter) – prosedur standar di NAD bila tidak ingin jadi sasaran tembak GAM yang bertebaran di bawah. Kami melintas kota Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, Kuala Simpang, Langsa, Lhoksukon lalu mendarat di Lhokseumawe.
Penerbangan berlangsung 1 jam 40 menit. Sedikit mendebarkan karena kami sempat terjebak cuaca buruk di atas Langsa. Pukul 17.10 kami mendarat di KP3, kawasan pelabuhan Lhokseumawe yang merupakan “pangkalan aju” helikopter TNI selama dilaksanakan operasi terpadu di NAD. Sembari sebagian awak melaksanakan refueling, kami melaporkan kepada Asops Koops TNI. Setelah itu, kami langsung “bergeser” ke base helikopter di Detasemen Rudal (Denrudal) 001 Pulo Rungkom, 15 menit penerbangan dari KP3.

Kisah Si Codot di Aceh [Bagian 2]
Belum ada hal istimewa dan khusus sampai tanggai 14 Agustus 2003, ketika kami disibukkan dengan kontinjensi darurat dalam rangka kunjungan Kasum TNI Letjen TNI Djamari Chaniago ke Lhokseumawe. Satu unit S-58T serta 2 Bell 205 dan 1 Bell 412 TNI AD disiagakan untuk membawa Kasum TNI dan rombongan ke Medan dari Lanud Malikussaleh, karena ada berita bahwa Hercules — yang sedianya membawa rombongan tersebut — mengalami trouble pada salah satu mesin di Medan.
Misi akhirnya dibatalkan karena CN-235 masuk menggantikan peran Hercules. Keempat helikopter kembali sore itu juga ke KP3 untuk isi bahan bakar, lalu kembali ke Denrudal.
Esoknya, kami dapat perintah membawa Kolonel Inf. A. Y. Nasution. Bersama rombongan, Komandan Korem 011 Lilawangsa ini akan meninjau lokasi Bhakti TNI yang akan diresmikan Panglima TNI. Karena perintahnya mendadak, koordinat lokasi yang harus dituju tak bisa diperoleh secara tepat dari pihak Korem. Bahkan sampai Danrem beserta empat stafnya tiba di pesawat, koordinat itu belum juga ada. Beruntung Danrem menyatakan kesanggupannya untuk langsung menunjukkan lokasi dimaksud dari udara.
Kapten Lefie pun langsung melakukan engine start. Saat itu pula terjadi kejadian lucu. Copilot saat itu masih berada di markas Korem untuk menanyakan langsung koordinat spot tujuan, sehingga ia harus berlari-lari dari mobil begitu mengetahui baling-baling sudah berputar. Begitulah, kami seringkali harus berpacu dengan banyak hal: waktu, perubahan cuaca, juga tuntutan situasi pasukan di lapangan. Namun demikian, keselamatan terbang dan kerja selalu tetap menjadi prioritas utama.
Lagi lagi kami terbang pada ketinggian 5000 kaki, dan penulis memutuskan untuk langsung berkoordinasi dengan Captain Pilot serta Danrem di kabin pesawat. Kami berusaha mencari tempat pendaratan dari atas.
Kami berputar-putar diatas daerah rambele, sekitar 15 mil dari KP3. Tanda yang dicari Danrem adalah sebuah Masjid dengan kubah berwarna hijau. Karena sudah berputar putar dan tidak ketemu, ia memutuskan untuk terbang langsung ke markas salah satu Kompi infanteri di daerah Lampahan.
Setelah mendarat disana, kami baru tahu kalau kubah Masjid yang dimaksud sudah diganti catnya!


Militer