- Hari beranjak siang. Udara di pesisir pantai Bintaro, Ampenan, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) mulai memanas. Namun, Muhamad Saleh (40) tetap bertahan, duduk di bibir pantai beralaskan pasir.
Ia hanya mengenakan kaus butut, celana yang tak lagi utuh dan berselempang sarung yang sudah tampak kusam.
Muhamad Saleh merupakan salah satu nelayan di Kampung Bugis, Ampenan. Siang itu, ia sedang melepas penat, setelah semalaman mengolah lautan mencari ikan. Ia sendirian, hanya ditemani secangkir kopi dan rokok di tangan, serta perahu tempel miliknya yang sudah tampak tua dimakan usia.
"Nelayan di sini yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin," ujar Saleh membuka percakapan saat VIVAnews menemuinya Selasa, 21 Oktober 2014.
Ia mengeluh, karena hasil tangkapan ikan terus menurun. Nelayan tradisional macam dia hanya mengandalkan kebaikan alam dan keberuntungan.
Keluhan senada disampaikan Muslim (42), kolega Saleh sesama nelayan di Ampenan. Ia menilai, pemerintah tak serius memperhatikan nelayan. Para nelayan menjadi terkotak-kotak dan mengarah pada persaingan yang tak sehat dan rebutan lahan tangkapan.
Akibatnya, nelayan yang hanya bermodal jala dan perahu kecil macam dia akan tersingkir. Tak jarang, nelayan pulang dengan hasil tangkapan yang tak sebanding dengan pengeluaran.
"Tidak seperti dulu bisa tiap hari dapat ikan, sekarang dapat sehari libur 2 sampai 5 hari, begitu seterusnya," ujarnya saat ditemui VIVAnews di tempat yang sama.
Kondisi itu diamini Idep (39). Nelayan asal Padang, Sumatera Barat ini mengatakan, pendapatannya sebagai nelayan seringkali tak mampu memenuhi biaya hidup sehari-hari. Padahal, ayah dua anak ini sudah menjadi nelayan sejak 20 tahun silam. Ia menghabiskan waktu 15 sampai 18 hari sekali melaut.
Namun, maksimal ia hanya bisa mendapatkan satu ton ikan. Kadang, hanya separuhnya. Sementara itu, biaya untuk sekali melaut mencapai Rp9 juta. “Sering kami pulang hanya balik modal,” katanya kepada VIVAnews, Kamis, 23 Oktober 2014.
Idep melaut menggunakan kapal orang lain. Karenanya, hasil tangkapan dibagi dengan pemilik kapal.
“Kami menjalankan kapal saja. Dapat tidak dapat ikan, itu tanggung jawab kami. Kalau dapat banyak, kami dapat uang. Kalau dapat sedikit, kami juga dapat sedikit, bahkan kadang tidak dapat apa-apa,” ujarnya.
Kondisi itu diperparah dengan sulitnya nelayan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) untuk melaut. Soal sulitnya mendapatkan BBM juga dirasakan Bachril (40), nelayan asal Makassar, Sulawei Selatan.
Menurut dia, kebanyakan nelayan mengeluh terkait kebijakan pemerintah yang melarang membeli solar menggunakan jeriken di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN). BBM untuk nelayan jadi sangat terbatas dengan adanya larangan membeli solar menggunakan jeriken.
Lain lagi yang dikeluhkan Hendri, nelayan asal Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Ia menyesalkan banyaknya kapal di atas 15 groos ton (GT) yang beroperasi sekitar tiga mil dari bibir pantai. Menurut dia, hal itu sangat merugikan nelayan yang melaut dengan kapal jukung. Sebab, yang panen ikan adalah kapal besar yang memiliki peralatan lebih memadai.
"Kondisi itu sering kami temui ketika musim ikan tiba. Mereka beroperasi saat malam hari dan aparat tak berbuat banyak," ujarnya saat ditemui VIVAnews, Rabu 22 Oktober 2014.
Nelayan yang hanya bermodal
jala dan perahu kecil akan tersingkir. Tak jarang, nelayan pulang dengan
hasil tangkapan yang tak sebanding dengan pengeluaran. (Foto:
VIVAnews/Frenando Randy)
Kemiskinan Nelayan
Sebagai negara maritim terbesar di dunia dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, nelayan Indonesia seharusnya bisa hidup sejahtera. Namun, fakta berbicara lain. Jika memasuki kampung-kampung pesisir yang tercium adalah bau amis dengan pemandangan permukiman padat penduduk yang kumuh dan jorok. Kampung nelayan sangat identik dengan kemiskinan.
Serikat Nelayan Indonesia (SNI) menyatakan, sebagian besar nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional dengan bobot perahu tak lebih dari 10 GT. Mereka adalah nelayan pantai dengan jangkauan tak lebih dari 12 mil dan hanya mengandalkan alam.
Sekretaris Jenderal SNI, Budi Laksana, mengatakan, sejumlah masalah seringkali dihadapi nelayan mulai dari cuaca, teknologi, ketersediaan bahan bakar, penjualan ikan hingga keamanan di laut. Tengkulak juga masih menjadi momok bagi nelayan. Hampir semua nelayan tradisional secara permodalan sangat tergantung pada tengkulak.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, nelayan miskin karena negara absen. Sejumlah program yang diniatkan guna mengatasi kemiskinan nelayan mentok pada oknum Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta elite nelayan.
Ia mencontohkan kasus pengadaan seribu kapal untuk nelayan. Dana untuk program ini cukup besar yakni mencapai Rp1,5 triliun. Namun, program ini tak banyak membantu nelayan karena penerima kapal bukan nelayan.
Selain itu, speknya tak sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya, kapal bantuan pemerintah tersebut mangkrak karena tak digunakan. Tak hanya itu, investasi di sektor perikanan 95 persen dikuasai oleh asing. Maka tak heran jika nelayan nusantara masih berkubang kemiskinan.
Pakar kelautan Rohmin Dahuri mengatakan, kemiskinan nelayan terjadi karena tata niaga perikanan yang memojokkan nelayan. Hal ini membuat nelayan dan masyarakat pesisir semakin termarjinalkan. Bekal nelayan melaut tak seimbang dengan pendapatan.
“Mereka butuh BBM dan kebutuhan lain untuk melaut. Selama ini nelayan maju kena, mundur kena. Kalau minim ikan harganya mahal, kalau lagi panen melimpah harga tangkapan ikan nelayan murah karena daya serap warga setempat,” ujar mantan menteri kelautan dan perikanan ini kepada VIVAnews, Kamis, 23 Oktober 2014.
KKP membantah dianggap abai terhadap nelayan. Sekjen KKP Syarief Widjaja mengatakan, pihaknya telah membantu nelayan. Misalnya, pemerintah membantu proses kepemilikan tanah nelayan. KKP juga mengklaim telah membantu permodalan, peralatan tangkap, serta pendidikan dan kesehatan.
KKP juga mengatakan telah membangun seribu kapal nelayan guna membantu kelompok nelayan. Kredit usaha rakyat juga dikucurkan.
Potensi Kelautan
KKP menyatakan, Indonesia memiliki potensi maritim yang sangat besar. Potensi maritim Indonesia berupa 17.504 pulau, garis pantai 95.181 kilometer, dan luas laut 5,8 juta km2. Lalu, 80 persen industri dan 75 persen kota besar terletak di wilayah pesisir.
"Ada 60 cekungan migas yang 70 persennya ada di laut," ujar Sekjen KKP, Syarief Widjaja kepada VIVAnews di Jakarta, Kamis 23 Oktober 2014.
Tak hanya itu, cadangan migas Indonesia sebanyak 9,1 miliar barel juga ada di laut. Objek wisata laut dan wilayah pesisir juga ada. Indonesia juga dikenal sebagai marine mega biodiversity karena memiliki 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 spesies terumbu karang.
Sementara itu, potensi perikanan laut tangkap sebanyak 6,5 juta ton per tahun, budidaya perikanan payau seluas 2,96 juta hektare, dan budi daya laut seluas 12,55 juta hektare per tahun.
Sayangnya, potensi itu belum tergarap optimal. Swasta maupun pemerintah belum banyak yang memaksimalkan potensi tersebut. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan, ada sejumlah kendala yang dihadapi pengusaha saat akan mengoptimalkan potensi kelautan dan perikanan di Indonesia.
Misalnya, tumpang tindihnya peraturan dan zonasi perikanan serta sulitnya mendapat suntikan modal dari perbankan.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan, Yugi Prayanto mengatakan, pengusaha yang berkecimpung di sektor ini sangat kecil. Sebab, sektor ini berisiko tinggi meski perikanan membuahkan keuntungan yang tinggi.
"Industri ini penuh risiko. Perbankan takut investasi besar-besaran,” ujarnya kepada VIVAnews, Selasa 21 Oktober 2014.
Hal itu diamini Rohmin Dahuri. Ia mengatakan, pemanfaatan potensi kelautan terkendala anggaran dan pendanaan. Menurut dia, perbankan hanya memberikan pinjaman untuk sektor kelautan 0,2 persen. Dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga kecil. Selain itu, karena keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia (SDM).
“Jadi, itu penyebabnya. Kalau kami hitung baru 20 persen tingkat pemanfaatannya,” ujarnya.
Visi Maritim Jokowi
Dalam pidato perdananya usai dilantik menjadi presiden, Joko Widodo (Jokowi) menyatakan akan mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai Negara Maritim.
“Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya.” Demikian, sebagian kutipan pidato Jokowi.
Sejumlah kalangan menyambut baik tekad dan janji Jokowi tersebut. Rohmin Dahuri misalnya. Menurut dia, komitmen Jokowi tersebut merupakan sesuatu yang dahsyat. Sebab, selama ini pembangunan Indonesia lebih fokus ke darat. Padahal 3/4 wilayah Indonesia adalah laut.
Rohmin mengatakan, Jokowi berusaha menghidupkan kembali Tri Sakti-nya Soekarno. Menurut dia, Soekarno pernah memperkuat maritim.
Namun, pada masa Orde Baru tak ada kementerian kelautan. Visi kelautan kembali bangkit era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan berdirinya kementerian kelautan dan berlanjut hingga era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Sayangnya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kementerian kelautan direduksi lagi. Menurut dia, hal itu berimplikasi pada kebijakan publik.
SNI berharap semangat Jokowi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia bukan hanya semangat atas petunjuk pengusaha. Poros maritim hanya dijadikan pencitraan dan menguntungkan pengusaha semata.
Sebab, sepanjang garis pantai dari Sabang sampai Merauke ada keluarga nelayan yang menggantungkan hidupnya pada usaha pesisir dan lautan.
Untuk itu, Jokowi harus mendorong nelayan pantai menjadi nelayan lepas pantai. sehingga dapat mencegah pencurian ikan oleh kapal asing. Selain itu, harus ada alih teknologi kepada para nelayan guna meningkatkan sumber daya manusia.
Dari sisi permodalan, nelayan juga harus dikuatkan. Perbaikan infrastruktur atau penambahan pelelangan ikan, SPBN, dan kuota BBM untuk nelayan juga harus ditambah. Selain itu, harus ada perlindungan di wilayah laut Indonesia termasuk mengakui zonasi wilayah tangkap nelayan.
Pakar hukum laut internasional, Hashim Djalal, menambahkan, luas laut di Tanah Air saat ini belum sebanding dengan pengamanannya. Hashim pernah menghitung kebutuhan untuk pengamanan wilayah laut itu.
“Butuh sekian ratus kapal dan sekian ratus prajurit, misalnya. Tapi, kan kita tidak punya sebanyak itu. Menurut saya, ini yang penting diperhatikan,” ujarnya.
Dari dulu sampai sekarang, dia selalu mengingatkan tentang kemampuan untuk memanfaatkan, mempertahankan, dan mengembangkan potensi kelautan yang ada. Tujuan akhirnya adalah pengembangan ekonomi kawasan maritim dapat mendorong perekonomian nasional.
Matahari semakin menyengat. Muhamad Saleh beranjak pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar 7 meter dari bibir pantai. Rumah yang tak seberapa besar dengan dinding yang sudah mulai retak serta sisa cat yang tak jelas lagi warnanya. Sementara itu, di depan rumah tampak tumpukan keranjang dan seperangkat alat untuk menjemur ikan.
Bagi Saleh, siapa pun presidennya, ia tetap harus bekerja seperti biasa. Presiden datang dan pergi. Namun, mereka tetap menggantungkan hidupnya di laut. Ia tak berharap uang dari pemerintah, namun alat untuk bekerja.
"Jangan berikan kami sumbangan berupa uang, tapi lebih baik barang atau fasilitas pelayaran berupa perahu, mesin, jala, dan BBM bersubsidi," ujarnya. (art)