CANGGIH
DAN MURAH: Dari kiri, Akhiruddin Maddu, Bambang Riyanto, dan Esa Ghanim
Fadhallah di Laboratorium Karakterisasi Bahan Fakultas MIPA IPB. Foto:
Bayu Putra/Jawa Pos
SEPULUH peraih
penghargaan HUT Ke-69 TNI berdiri di panggung kehormatan Mabes TNI
Cilangkap, 12 Oktober lalu. Mereka merupakan bagian dari upaya TNI
mencari anak bangsa yang mampu menciptakan teknologi canggih untuk
kepentingan militer.
Sebagai penghargaan atas jerih payah
penciptaan karya itu, TNI berjanji mengembangkan dan menggunakan
teknologi karya anak bangsa tersebut.
Salah seorang peraih penghargaan itu
adalah Bambang Riyanto. Dia mewakili tim IPB yang memenangi kategori
inovasi partisipasi publik. Saat naik ke panggung, dia tampak gugup
berada di antara ribuan personel TNI yang hari itu mengikuti upacara
tersebut.
Apalagi penghargaan tersebut diserahkan
langsung oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Selain kalangan akademis,
penghargaan diberikan kepada para inovator dari masyarakat umum, kepala
daerah, serta kalangan militer.
’’Sesuatu yang bermanfaat bagi
kepentingan militer pasti akan kami kembangkan. Apalagi (karya) itu
tidak mahal dan bisa mengurangi ketergantungan kita pada pihak luar,’’
ujar Moeldoko dalam sambutannya.
Selain IPB, sembilan inovator lain
peraih penghargaan adalah Litbang TNI-AD yang merancang bangun senjata
Dopper, Litbang TNI-AL yang membuat prototipe swamp boat, serta Litbang
TNI-AU yang membikin bom tajam BT-500 untuk pesawat standar NATO.
Di bidang non-alutsista, TNI-AD
menyumbangkan pendekatan indeks vegetasi citra satelit pengindraan jarak
jauh. Inovasi itu berguna untuk mendeteksi samaran pasukan musuh di
medan tertutup.
Lalu, TNI-AL merancang pos AL mandiri
energi untuk kawasan terpencil. Sementara itu, TNI-AU membuat jaring
komunikasi terintegrasi untuk mewadahi jaringan C4ISR (command, control,
communications, computers, intelligence, surveillance, and
reconnaissance).
Tiga sisanya diberikan kepada pemerintah
daerah dan organisasi publik terkait dengan kebijakan. Di antaranya,
RRI yang mengembangkan siaran di kawasan perbatasan; Pemkab Belu, NTT,
yang mendukung TNI di perbatasan dengan Timor Leste; serta Pemprov
Kaltim yang membuat kawasan ketahanan pangan.
Tim IPB beranggota Bambang bersama dua
rekannya. Yakni, Akhiruddin Maddu dan Esa Ghanim Fadhallah. Bambang
merupakan dosen di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Akhiruddin
adalah kepala Departemen Fisika, dan Esa Ghanim merupakan mahasiswa S-2
Teknologi Pascapanen IPB.
Mereka berhasil menciptakan teknologi
tinggi antiradar dari bahan-bahan organik sederhana. Yaitu, tulang ikan
dan cangkang udang. Bagi kebanyakan orang, dua bahan tersebut justru
disisihkan dan dibuang ke tempat sampah.
Tapi, di tangan Bambang, Akhir, dan Esa,
tulang ikan dan cangkang udang justru sangat berguna untuk menciptakan
karya inovasi yang murah serta canggih.
Menurut Bambang, dua jenis bahan
tersebut mengandung komposit chitosan dan hidroksiapatit yang mampu
menyerap gelombang radar. Karena gelombang radar tidak memantul,
kendaraan tempur yang menggunakan teknologi tersebut akan sulit
dideteksi radar musuh.
Ditemui di kampus IPB, Selasa (14/10),
Bambang mengakui bahwa temuan timnya bukanlah teknologi antiradar
pertama yang berbahan organik. Sebelumnya, pada 2011, Tiongkok merilis
penggunaan teknologi antiradar berbahan dasar gelatin.
’’Tapi, ketika kami teliti lebih lanjut,
kemampuan gelatin yang berbahan dasar protein itu terbatas. Kami lalu
mengganti bahannya dengan karbohidrat,’’ tuturnya.
Teknologi yang dikembangkan Bambang cs
kini bakal memperkuat kemampuan persenjataan TNI. Bersama tim peneliti
dari internal TNI, mereka akan mengembangkan teknologi tersebut agar
kemampuannya makin tinggi dan penggunaannya semakin praktis.
Tim ITB tersebut awalnya tidak menyangka panglima TNI akan memberikan perhatian serius terhadap hasil penelitian mereka.
Mereka memang sengaja mengembangkan
teknologi militer, namun sebatas untuk kepentingan penelitian. Tidak
disangka, penelitian tersebut diketahui pihak militer dan mereka
ditantang untuk mengaplikasikannya dalam sistem persenjataan TNI.
Inovasi tersebut semula merupakan bahan
skripsi Esa saat masih menempuh S-1 di Jurusan Teknologi Hasil Perairan
IPB pada 2011. Kala itu, Bambang dan Akhir menantang Esa untuk membuat
penelitian skripsi yang terkait dengan militer, khususnya antiradar.
Di bawah bimbingan dua dosen tersebut,
Esa mulai merancang penelitian yang sayangnya hasilnya kurang baik. Dia
lalu mencoba lagi pada 2012 dengan bahan yang berbeda. Kali ini hasilnya
dinilai cukup sukses, meski ada kekurangan di sana-sini.
Belum puas, mahasiswa 23 tahun itu pun
mengajak Bambang dan Akhir berdiskusi untuk menyempurnakan karya
tersebut. Ketiganya lalu memutuskan untuk mengembangkan lagi penelitian
itu dengan bahan yang mengandung chitosan dan hidroksiapatit yang
terdapat dalam tulang ikan serta cangkang udang.
Di luar dugaan, hasilnya cukup
memuaskan. Dua bahan tersebut dianggap paling baik jika dibandingkan
dengan bahan-bahan penelitian sebelumnya.
Di tengah rasa syukur itu, kendala
muncul lagi. Esa tidak menemukan laboratorium yang cocok untuk menguji
penelitian tersebut. Lagi-lagi, kendala infrastruktur menjadi problem.
Hal itu diakui Akhiruddin.
Dosen 48 tahun tersebut menuturkan,
infrastruktur penelitian di Indonesia masih sangat terbatas. Akibatnya,
penelitian sering mandek di tengah jalan karena ketiadaan
sarana-prasarana tersebut.
’’Kami selaku dosen hanya bisa membantu lewat networking,’’ tuturnya.
Tiga bulan lamanya mereka menjelajahi
laboratorium sejumlah universitas di Indonesia. Termasuk di ITS dan ITB.
Mereka tidak mendapatkan alat uji yang cocok untuk penelitian itu. Bila
akhirnya tidak menemukannya juga, mereka berencana membawanya ke
laboratorium di luar negeri.
Namun, akhirnya mereka menemukan yang
dicari di laboratorium Universitas Indonesia (UI). ’’Awalnya kami tidak
sampai kepikiran bahwa UI punya alat uji itu,’’ timpal Esa.
Dia amat girang penelitiannya bisa diuji di lab UI. Hasilnya pun langsung keluar dalam waktu sehari.
Penelitian tersebut menghasilkan
prototipe teknologi antiradar. Berkat karya itu, Bambang cs lalu diminta
mendaftar untuk melakukan presentasi di TNI. Rupanya, selain tim IPB,
sudah ada 266 peneliti lain yang ikut kompetisi yang digagas TNI
tersebut.
Tim Bambang mendapat jadwal terakhir
untuk presentasi. ’’Karya-karya yang dipresentasikan luar biasa. Kami
sempat minder melihatnya,’’ tutur Bambang.
Beberapa hari kemudian, telepon yang
mengagetkan itu datang juga. Tim IPB diminta mempresentasikan teknologi
antiradar tersebut di hadapan panglima TNI secepatnya.
Antara kaget dan tidak percaya, Bambang
tidak langsung mengiyakan permintaan itu. Sebab, timnya butuh persiapan.
Akhirnya, setelah mengebut selama seminggu untuk mempersiapkan diri,
mereka tampil dengan peralatan plus bahan presentasi karya.
Kerja keras mereka tidak sia-sia.
Panglima TNI mengapresiasi penelitian tersebut. ’’Beliau minta langsung
uji coba di tank. Kami kaget lagi,’’ kenangnya.
Mereka kembali harus bekerja keras untuk merampungkan peralatan antiradar tersebut. Hasilnya cukup memuaskan.
Kini setelah karya mereka dinyatakan
berhak meraih penghargaan, Bambang dkk tidak bisa berleha-leha.
Pasalnya, mereka harus segera bekerja sama dengan tim Litbang TNI untuk
mengembangkan teknologi tersebut agar lebih simpel dan praktis.
Salah satu faktor TNI mau menggunakan
teknologi karya Bambang cs adalah biayanya yang terjangkau serta
bahannya yang mudah didapatkan. Sebagai negara maritim, Indonesia tidak
akan kekurangan bahan organik chitosan dan hidroksiapatit. TNI berencana
memproduksi teknologi tinggi itu di PT Pindad (Perindustrian Angkatan
Darat).
’’Kami tentu saja bangga penelitian kami dihargai setinggi itu,’’ tandas Bambang. (Bayu Putra/*/c5/ari)