Pages

Monday, 27 January 2014

Australia, Mengapa Harus Panik Dan Berkeringat

Kepanikan PM Australia dengan pergerakan angkatan laut dan udara Indonesia di depan Darwin sangat terlihat ketika dia dalam sebuah wawancara dengan Independent Australia mengatakan akan memanggil pulang seluruh kapal perang yang sedang bertugas di luar negeri dan menunjuk seorang menteri urusan pertempuran.  Dalam ruang pandang diplomatik ini merupakan langkah overdosis yang justru akan mentertawakan kualitas kepemimpinan Abbott yang selalu umbar pernyataan emosional dan kepanikan.  Kenyataan memang begitu, uji cerdas cermat dan intelektual kepemimpinan dari unsur partai Liberal kalah kualitas jika ditandingkan dari unsur partai Buruh.  Karena mata pelajaran yang tak diajarkan kepada Tony Abbott selama kuliah di kampus partai Liberal adalah mata pelajaran kesantunan dan budi pekerti.
PM Australia ini mesti berhati-hati dengan model arogansi pertetanggaannya.  Jika buruknya hubungan ini tidak dikelola dengan hati nurani dan kualitas intelektual kepemimpinan maka kerugian lebih besar akan ditanggung negeri itu.  Kerugian paling fatal dari semua akibat gaya kepemimpinan yang sok jagoan itu adalah dibukanya kartu truf diplomatik yang selama ini disimpan di lemari pendingin Kemenlu.  Yaitu merapatnya Indonesia ke Cina dan Rusia. Jika ini terjadi maka sesungguhnya negeri aborigin itu sudah terisolasi dari mata rantai utama Asia Pasifik, dan benarlah  kata Gus Dur waktu itu, Australia menjadi negeri usus buntu.
Sebaran sejumlah KRI
Perhitungan visioner Indonesia ini harus bisa dianalisis dengan cermat oleh Australia kalau tak mau terjadi sebuah kisah perjiranan yang patah arang, sesal kemudian tak berguna. Kedekatan hubungan diplomatik dan militer Indonesia dengan Cina tak terbantahkan saat ini. Paman Panda sedang mendirikan sekolah rudal di Indonesia, sesuatu yang jarang terjadi di dunia karena negara pemilik teknologi rudal sangat pelit ilmu. Jika transfer teknologi rudal C 705 ini di wisuda, maka mulai tahun 2017 Indonesia akan mampu memproduksi peluru kendali anti kapal yang bisa dikembangkan menjadi peluru kendali varian lain yang lebih gahar. 
Demikian juga dengan Rusia.  Masih ingat ketika KTT APEC di Bali Oktober 2013, Presiden SBY bermain gitar dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Vladimir Putin. Lalu keduanya berpelukan hangat sementara Abbott salah tingkah, padahal pemimpin APEC yang lain bertepuk tangan hangat.  Bukankah ini sinyal kedekatan RI-Rusia.  Buktinya ada tawaran 10 kapal selam herder dari Rusia dan rencana beli Sukhoi SU35 serta persenjataan maut lainnya.  Penting juga diketahui bahwa Cina dan Rusia akan mengikuti latihan gabungan angkatan laut 17 negara bertajuk Latgab Komodo April mendatang di Natuna.  Sementara Australia mengundurkan diri, sebuah sikap serba salah. Kalau diikuti malu hati karena hubungan militer dengan RI sedang dingin.  Kalau tidak diikuti kok merasa terkucil padahal latihan itu ada di medan konflik yang harus diikuti percaturannya, Laut Cina Selatan.
2 KRI jenis fregat siaga di pangkalan aju
Jika Indonesia merapat ke Cina maka konflik teritori di Laut Cina Selatan secara psywar telah dimenangkan negeri semilyar ummat itu.  Dengan Cina memeluk Indonesia sebagai pemilik teritori bumper untuk Australia maka bisa dipastikan negeri selatan itu akan klimpungan sendiri, meski di belakangnya ada AS.  Belum lagi dengan kekuatan ekonomi Cina yang akan mengambil alih posisi kepemimpinan liga kekuatan ekonomi dari AS pada tahun 2018 dan akan terus memimpin tanpa bisa dikejar lagi oleh AS.  Sementara pada saat itu kekuatan ekonomi Indonesia yang saat ini menduduki 15 besar dunia, nomor satu di ASEAN akan terus melaju menuju anak tangga 13 besar dunia.  Tahun 2030 diprediksi kekuatan ekonomi Indonesia menduduki 9 besar dunia dimana di sepanjang urutan itu tidak ada nama Australia.
Makanya kita harus berwawasan visioner dong dalam memandang masa depan.  Bukan mencak-mencak gak karuan, reaksioner, emosional, merasa lebih hebat, besar kepala karena dilindungi oleh Pak De dan abang sepupunya, AS dan Inggris.  Persekutuan Indonesia dengan Cina dan Rusia, jika terbentuk, akan mampu menjungkirbalikkan peta kekuatan ekonomi dan militer Asia Pasifik.  Abad Asia Pasifik sudah di depan mana.  Kan gak pernah disebut abad Asia Australia atau abad Asia Australia Pasifik.  Dari ungkapan itu saja tersirat bahwa memang ke depannya negeri benua selatan itu tidak dianggap oleh negara-negara “asli” Asia Pasifik. Jadi harap maklum ya, dia kan “pendatang” bukan penduduk asli Asia Pasifik.
Jet tempur Sukhoi menjatuhkan bom
Kahadiran armada angkatan laut Indonesia di pagar halaman Darwin tentu sudah terukur tujuannya.  Seperti yang disampaikan Menlu Marty bahwa ada 4 perahu “milik” Australia yang dikembalikan ke teritori Australia oleh tiga KRI.  Jadi diantar sampai batas 12 mil pantai utara benua itu.  Jadi jelas tujuannya, bukan mau ofensif atau menyerang.  Ini operasi kawal border dan boleh saja disebut unjuk kekuatan, tapi kan unjuk kekuatannya di pagar halaman sendiri.  Jadi sangat lucu kalau kehadiran kapal perang sebuah negara lalu disikapi dengan pernyataan kepanikan, siaga perang sampai menyebut operasi darurat mempertahankan daratan Australia, memanggil kapal perang yang sedang bertugas di luar negeri, menunjuk menteri pertempuran.  Alamak, macam gelap saja dunia ini di wajahnya.  Mengapa harus panik dan berkeringat.
Biasanya operasi siaga militer tidak untuk konsumsi publik.  Pengerahan armada laut RI ke NTT tidak diumbar di media dalam negeri.  Demikian juga ketika RI mengirim 2 fregat dan 1 LPD ke Somalia untuk membebaskan KM Sinar Kudus, semua rakyat bangsa besar ini tak ada yang tahu karena ini menyangkut strategi militer.  Jadi semua yang dilakukan Indonesia itu terukur, terkontrol dan proporsional.  Hubungan pertetanggaan RI dan Australia adalah takdir sejarah karena letak keduanya tidak bisa dipindah sampai kiamat. Jadi marilah melihat hubungan bilateral ini dalam perspektif yang luas dan visioner.  Bagaimana ke depannya generasi penerus kedua bangsa bisa saling mengisi kelas-kelas kesejahteraan dan kebagusan cara pandang. 
Semua persoalan hubungan bisa diselesaikan dengan otak bukan otot.  Karena Australia lebih dulu mengedepankan otot untuk urusan manusia perahu, kita juga bisa tunjukkan bahwa kita juga punya otot. Ini lho otot kami, kata sejumlah KRI di pagar Darwin, ditemani herder bawah laut.  Anehnya 3 KRI itu tidak ada yang “menyambut”. Memang keki juga berhadapan dengan pemimpin tetangga yang berkarakter “trouble maker”. Tapi percayalah model itu tidak mewakili suasana bathin sebagian besar rakyat dan bangsa Australia.  Dan kita yakin suatu saat nanti Tony Abbott akan terengah-engah sendiri dengan lagak cowboynya.  Apalagi kalau Pak De dan abang sepupunya AS dan Inggris bilang setengah membentak : “Mr Abbott, stop your cangkem, mingkem !”.
****
Jagvane / 27 Januari 2014