Pages

Tuesday, 28 January 2014

Bangun, Jatuh, Bangun Lagi



Bandung : PT Dirgantara Indonesia mulai bangkit setelah nyaris gulung tikar enam tahun lalu. Berkat strategi bisnis jitu dan political will pemerintah. Order hingga tahun 2017 aman.
Budi Santoso, Direktur Utama (Dirut) PT Dirgantara Indonesia, setengah menerawang ketika mengingat lagi situasi perusahaannya di tahun 2007. Ketika itu, ia baru saja diangkat menjadi dirut, menggantikan Muhammad Nuril Fuad, pejabat sementara (pjs) dirut, yang sakit kanker. Situasi PTDI saat itu bisa dibilang porak-poranda. Jangankan mencari order pembuatan pesawat, sekedar untuk menjadikan perusahaan berjalan normal saja sulit. Selain tak ada kecuran dana pemerintah, konflik dengan mantan karyawan juga tak kunjung usai.
Dirut PTDI sebelumnya, Edwin Soedarmo (2002-2005), dicopot setelah divonis penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Ia divonis melanggar kesepakatan tenaga kerja dengan mantan karyawan. Keputusan itu akhirnya memang batal di tingkat kasasi, tapi pencopotan Soedarmo tetap berlaku.
Penggantinya, Muhammad Nuril Fuad (2005-2007) –Direktur Umum PTDI yang kemudian diangkat jadi pejabat sementara dirut– juga terus dipusingkan oleh konflik dengan mantan karyawan. Dalam negosiasi di DPRD Bandung, Fuad bahkan nyaris dikeroyok para mantan karyawan yang merasa dizalimi oleh perusahaan –yang dinilai menentukan besaran pesangon secara sepihak.
Konflik itu terlalu berat buat Fuad, yang sejak setahun sebelumnya sudah puluhan kali keluar-masuk rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Ia meninggal tidak lama kemudian. Juli 2007, kursi panas dirut dilembar ke Budi Santoso, 58 tahun, yang semula duduk manis sebagai dirut PT Pindad selama sembilan tahun.
Baru dua bulan menjabat, Budi sudah mendapat ”kado selamat datang” yang bikin pusing, yakni putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan mantan karyawan dalam memvonis pailit PTDI. ”Putusan itu adalah kado bagi kepemimpinan saya,” kata Budi.
Sebagai perusahaan pailit, PTDI otomatis berada di bawah kendali kurator. Tidak boleh ada uang perusahaan keluar tanpa izin kurator. Semua aset PTDI juga berstatus harta pailit. Untunglah PTDI masih selamat.
Sebulan setelah putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, keluar putusan kasasi MA yang membatalkan vonis pailit tersebut. Budi pun bernapas lega. Dia bisa berkonsentrasi pada tugasnya sebagai dirut. Tugas pertama, apa lagi kalau bukan cari order?
***
Meski sempat terpuruk hingga ke titik nadir, PTDI bukan perusahaan kemarin sore dari sisi penguasaan teknologi. Awal Desember lalu, GATRA berkesempatan menyusuri pabrik PTDI di kota Bandung, tepatnya di sebelah Bandar Udara Husein Sastranegara, yang juga salah satu Pangkalan Udara TNI-AU.
Pabrik sepanjang hampir satu kilometer itu memang rada sepi. Tidak banyak karyawan terlihat. Maklum, PTDI memang mengalami penyusutan jumlah karyawan besar-besaran. Dulu, ketika dipimpin B J. Habibie (1976-1998), karyawannya mencapai 16.000 orang. Setelah krisis ekonomi 1999, disusul intervensi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund -IMF) terhadap industri strategis di Indonesia, PTDI terpaksa melakukan PHK besar-besaran terhadap karyawannya. Cuma 3.000-an yang tersisa.
PHK massal ini kemudian jadi salah satu sumber konflik yang membuat PTDI kian terpuruk. Konflik itu belum sepenuhnya berakhir. Desember ini, sebuah gugatan perdata yang diajukan oleh beberapa mantan karyawan, masih diproses di PN Bandung. ”Memang belum 100% rampung, tapi sebagian besar sudah bisa kita selesaikan,” aku Budi.
Didampingi staf Divisi Komunikasi PTDI, Rakhendi Priyatna, kami berjalan kaki selama hampir satu jam, mengelilingi berbagai bagian pabrik. Di salah satu ruang, tempat pemotongan aluminium alloy (bahan baku pesawat), misalnya, terdapat rak besi setinggi hampir lima meter. Tiap rak berisi lempeng tipis aluminium berukuran panjang 0,5 meter hingga satu meter. Pada salah satu sisi rak tertempel tulisan ”A380 Program, Spirit Aerosystem”. Di sebelahnya, ada kertas lain bertulisan ”Component Checklist”. Ada beberapa item tercantum dalam checklist tersebut. Misalnya, floor, flight room, windows, doors, walls, roof, ventilation exhaust, medical emergency, dan fire extinguisher. Komponen dalam checklist itu adalah komponen pesawat Airbus A80 yang dibuat PTDI. Yang memberi order adalah Spirit Aerosystem, perusahaan Inggris yang termasuk salah satu anggota konsorsium Airbus.
Rakhendi bercerita bahwa dari segi teknologi, sebenarnya sudah banyak komponen pesawat Airbus yang dibuat di PTDI “Nggak cuma A380, melainkan juga A320 dan A321,” katanya.
Airbus A380 adalah pesawat komersial terbesar di dunia saat ini, dengan kapasitas penumpang 407-644 orang. PTDI termasuk perusahaan yang membuat order untuk pembuatan pertama pesawat jumbo jet ini. PTDI mendapat order untuk pembuatan pertama pesawat jumbo jet ini. PTDI mendapat order pembuatan komponen sejak 2002, sedangkan Airbus A380 pertama kali diluncurkan pada 2005.
Apakah sulit membuat komponen Airbus? Tidak. Justru lebih susah membuat seri CN buatan PTDI. Bila tidak percaya, tanya saja Komara, salah satu karyawan di bagian pemotongan aluminium. Pria 50-an tahun yang sebagian rambutnya memutih ini dijumpai ketika sedang mengoperasikan mesin potong Quaser. Ia sudah 20 tahun lebih bekerja di PTDI. Komara juga ikut mengerjakan banyak bagian dari pesawat CN250 yang diluncurkan PTDI pada 1995 (ketika itu masih bernama IPTN, Industri Pesawat Terbang Nusantara).
Sambil terus mengoperasikan komputer yang mengatur tebal-tipis potongan aluminium, Komara cerita bahwa membikin berbagai komponen Airbus A380 itu tidak terlalu sulit. Setengah jam juga jadi,” katanya dengan dialek Sunda yang kental. Penyebabnya, Airbus menerapkan toleransi yang tidak terlalu ketat dalam desain komponen. Toleransinya mencapai 0,3 milimeter. Seri CN sebaliknya; lebih ketat. Tingkat toleransinya dua kali lipat lebih rendah, yakni 0,15 milimeter. ”Kalau bikin CN lebih lama karena presisinya lebih tinggi,” katanya.
Komara mengaku senang melihat PTDI kini bisa lebih sehat secara keuangan. Meski ia juga punya keprihatinan tersendiri, yakni dalam soal SDM. Saat ini terlalu banyak pegawai PTDI yang berusia tua dan akan memasuki masa pensiun. Menurutnya, hal itu mengkhawatirkan karena transfer keahlian dari karyawan tua ke yang lebih muda bisa terganggu.
***
Kemampuan PTDI untuk membuat berbagai komponen pesawat mutakhir memang sudah teruji. Tidak cuma untuk kelas pesawat mutakhir memang sudah teruji. Tidak Cuma untuk kelas pesawat komersial, tapi bahkan pesawat militer. Cukup banyak komponen pesawat militer. Cukup banyak komponen pesawat militer yang kini dibuat PTDI. Salah satunya dibuat di ruangan seluas 10×20 meter persegi di bagian ujung pabrik. Ini ruangan khusus untuk pembuatan bonding composite, polimer yang biasanya dilekatkan di badan pesawat. Polimer ini dibuat dari bahan utama karbon, dan kerap disebut skin (kulit) pesawat. Nama ilmiahnya carbon-riber-reinforced polymer (CFRP).
Bahan-bahan carbon composite dimasukkan ke dalam mesin bertekanan tinggi, dipanaskan, lalu keluar berupa lembaran tipis. ”Walau tipis, carbon ini tidak kalah kuat dibanding baja,” kata Rakhendi menjelaskan.
Di ruangan itu GATRA bertemu dengan Hari Kuswahyudi, Manajer Divisi Bonding Composite. Dia tengah mengerjakan skin untuk bagian ekor (rudder) pesawat tempur F-16. PTDI mendapat order 400 skin yang akan dikerjakan dalam waktu setahun. Skin sebanyak itu tentu tidak untuk TNI-AU, mengingat saat ini Indonesia hanya memiliki 24 unit F-1. Pesanan TNI-AU bahkan Cuma sedikit. ”AU pesan sembilan sudah jadi tiga,” kata Hari. Sedangkan skin rudder yang lain adalah pesanan berbagai klien PTDI di luar negeri.
Ruang pembuatan carbon composite paling ujung di kompleks pabrik PTDI. Keluar dari ruangan itu, kita akan langsung bertemu dengan landasan Bandar Udara Husein Sastranegara serta beberapa hangar PTDI yang digunakan untuk perakitan pesawat.
Saat itu, beberapa karyawan terlihat sedang menggarap seri CN-23 5 pembuat hujan {rainmaker) pesanan Pemerintah Thailand. Ada dua pesawat CN-23 5 Rainmaker yang dipesan. Rencananya, pesawat itu digunakan oleh Kementerian Pertanian Thailand untuk operasi hujan buatan.
Di dekat hangar ada pemandangan lain yang mencolok: sebuah pesawat yang kelihatan agak tua, dengan tulisan CN-250 di badan. Itu adalah pesawat CN-250 yang pertama kali dibuat PTDI di era B.J. Habibie, yang diberi kode “Gatotkaca”. Inilah pesawat yang terbang perdana pada 10 Agustus 1995, dan sempat jadi ikon kebanggaan teknologi Indonesia. Ketika proyek CN-250 berhenti sebagai konsekuensi Lol {letter of intent) IMF, pesawat ini masih sempat beberapa kali dipakai oleh beberapa kementerian. Tapi kinitidaklagi.
Sudah delapan tahun ikon kebanggaan teknologi itu terparkir begitu saja. Biasanya, sebulan sekali pesawat itu dilap, dibawa keluar dari hangar, lalu dimasukkan lagi. Begitu terus-menerus. Nasibnya bisa dibilang cuma menunggu jadi besi tua.
***
Untunglah nasib PTDI  tidak sesuram riwayat hidup CN-250. Pada 2008, alias Cuma setahun setelah jadi direktur utama, Budi berhasil mencapai prestasi penting yang bias menyelamatkan PTDI: yakni mendapat order empat unit CN-235 dari Korea Selatan. CN-235 adalah salah satu pesawat lama PTDI. Pesawat ini terbang perdana pada 30 Desember 1983, 12 tahun sebelum Gatotkaca terbang.
Tapi CN-235 terus berevolusi, baik secara fisik maupun teknologi pesawat. Saat ini ada empat varian berbeda, yaitu CN-235 Maritime Patrol (MPA), CN-235 Coast Guard, CN-235 Rainmaker, dan terakhir CN-235 Transort. CN-235 MPA adalah satu-satunya yang memiliki kemampuan serang terhadap kapal karena didesain untuk dilengkapi torpedo. Ia mampu terbang 8,5 jam nonstop. Tipe ini tidak memiliki kemampuan serang dan juga tidak bisa terbang selama Maritime Patrol.
Budi cerita bahwa ketika itu Korea Selatan kebetulan mengadakan tender internasional untuk pengadaan pesawat terbang. Pesaingnya berat, antara lain dari Spanyol, Amerika Serikat, dan Israel.
Dari segi teknis, pesawat bikinan Spanyol-lah yang paling unggul, lalu disusul PTDI, Amerika Serikatm dan Israel. Namun dari sisi harga, PTDI yang paling menarik. Harga yang ditawarkan untuk empat CN-235 Maritime Patrol itu Cuma US$ 94,5 juta. Budi cerita bahwa waktu itu dia memang tidak berpikir soal laba. Yang penting, bisa menang tender. Pasalnya, kemenangan tender itu bakal jadi pengakuan bahwa sebagai brand, PTDI masih eksis, belum kolaps. ”Saya bilang, kita untung dikit ngga apa-apa!” katanya.
Perjanjian akhirnya resmi diteken oleh Budi dan Pemerintah Korea Selatan di Seoul, akhir Desember 2008. Pengiriman pertama baru pada akhir 2010, lalu menyusul secara bertahap hingga pada 2012.
Di era itu, kata Budi, dengan tidak adanya kucuran dana pemerintah, manajemen memang harus memeras otak untuk bisa bertahan. Order apa pun dikerjakan, yang penting ada pemasukan. Disinggung soal penerimaan order pembuatan panci di era itu, Budi meluruskan bahwa yang benar PTDI menerima order alat pembuat panci. ”Bukan pancinya yang kita bikin, tapi mesin cetakan pembuat panci,” katanya.
Rupanya order itu secara bisnis lumayan juga, meski tidak sesuai dengan visi PTDI sebagai industri penerbangan. Rakhendi akhirnya cerita bahwa pabrik pembuat panci itu biasanya mengorder mesin dari Cina dengan harga sampai Rp 1,3 milyar. Mereka kemudian beralih ke PTDI setelah tahu mampu membuat mesin sejenis Cuma dengan harga Rp 800 juta.
***
Dari titik balik 2008, PTDI benar-benar bangkit setelah melewati proses restrukturisasi pada 2011. Proses ini sulit. Untuk lolos restrukturisasi, PTDI harus menyodorkan business plan yang dinilai bisa menguntungkan kepada Kementerian BUMN. Budi cerita banyak soal rencana bisnis ini. Sederhananya, PTDI akan bermain di dua lini, yakni lini government market dan commercial market.
Government market adalah penjualan pesawat ke pemerintah asing. Untuk ceruk ini, Budi mengakui bahwa mereka sangat dibantu oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Bahkan bias dibilang Kemenhan-lah yang menjadi salesman. Merekalah yang bernegosiasi membuka pintu, baru setelah itu PTDI masuk. “Ada political will yang kuat mendukung. Saya terima kasih sekali,” katanya.
Contoh political will ini adalah ”dagang keliling” yang dilakukan Kemenhan pada Mei lalu ke enam negara ASEAN, yakni Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Thailand, dan Malaysia. Seperti dilaporkan wartawan GATRA, Cavin Manuputty, acara itu bertujuan menjual pesawat CN-295 yang dibuat PTDI bekerja sama dengan Airbus Military. Tapi di sisi lain, Kemenhan juga memiliki agenda tambahan, yakni memperkenalkan pesawat CN-235 dan berbagai tipe lain yang merupakan produk asli PTDI. Kemenhan juga mengajak menteri pertahanan enam negara ASEAN itu untuk mampir ke PTDI.
Budi menjelaskan, political will seperti inilah yang dibutuhkan industri strategis seperti PTDI. Pasalnya, hampir semua negara juga melakukan itu. ”Di Amerika Serikat, yang jualan Boeing saja langsung Presiden Obama,” katanya. Saat ini, political will pemerintah tersebut terwujud lewat UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Berdasarkan UU itu, alutsista (alat utama sistem senjata) yang bisa diproduksi di dalam negeri akan dibeli di dalam negeri.
Pemerintah juga mensyaratkan adanya transfer teknologi untuk pembelian alutsista dari negara asing, sejak berupa under license, meningkat ke join-product, kemudian menjadi rancang bangun, lalu berlanjut ke rancang bangun secara mandiri. Dari UU itu, keberpihakan pemerintah terhadap industri strategis pun dimulai.
Sisi commercial market adalah ceruk lain lagi dari rencana bisnis PTDI. Budi mengakui bahwa dari segi kue bisnis, commercial market lebih besar dibandingkan dengan government market. Pelanggan untuk ceruk commercial market ini terutama adalah maskapai penerbangan swasta. Saat ini PTDI memiliki produk unggulan di ceruk ini, yakni pesawat N219, bermesin ganda, dengan kapasitas 19 penumpang.
Mengapa memilih ceruk berkapasitas 19 penumpang, itu terkait dengan kondisi PTDI sendiri. Kata Budi, bila saat ini PTDI nekat meneruskan CN-250 di era Habibie yang berkapasitas 50 penumpang, mereka akan berhadapan dengan pesaing, terutama Cina dan ATR (Avions de Transport REgional), perusahaan joint Prancis-Italia, yang banyak bermain di ceruk itu.
Dengan kondisi PTDI yang baru bangkit seperti ini, bertarung melawan “gajah-gajah” di kelas 50 penumpang sama saja cari babak belur. “CN-250 itu adalah pesawat yang visioner, tapi itu 20 tahun lalu ketika ATR belum masuk ke sana. Sekarang persaingan di kelas 50 penumpang sudah dipenuhi oleh ‘gajah-gajah’,” jelas Budi panjang lebar. Karena itulah, katanya, PTDI memutuskan untuk menjadikan N-219 sebagai produk unggulan. Terutama karena persaingan di ceruk 19 penumpang masih relatif sepi.
Ternyata, business plan yang diajukan ke Kementerian BUMN pada Mei 2011 lalu itu disetujui. Setelah itu, lewat Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2011, pemerintah menetapkan bahwa utang PTDI sebesar Rp 3,8 trilyun diubah jadi penyertaan modal non-tunai. “Itu memang nggak ada duitnya. Tapi membuat neraca kami jadi positif,” ujarnya. Dampaknya, kata Budi, mereka jadi bankable, alias bisa mengajukan pinjaman modal ke bank.
***
Siapa yang bakal beli N-219, sumber dana pTDI di lini commercial market? Banyak ternyata, terutama maskapai yang melayani rute penerbangan di daerah terpencil. Misalnya PT Nusantara buana Air (PT NBA), maskapai yang melayani rute penerbangan Aceh-Medan. Februari 2012 lalu, PTDI dan PT NBA resi teken kontrak pembelian 20 biji pesawat N-219. Nilai kontrak itu mencapai US$ 120 juta.
Klien besar lagi adalah PT Lion Air. Maskapai ini menyatakan akan membeli 50 biji pesawat N-219 untuk ekspansi Lion ke daerah-daerah terpencl. Kontrak antara PTDI dan PT Lion Air memang belum diteken, kemungkinan oada 2014. Tapi Lion Air sudah memberikan konfirmasi bahwa rencana pembelian 50 biji pesawat PTDI itu bukan sekadar lip service. ”Lima puluh unit itu pasti, 50 unit lagi opsional. Ini kita juga lagi siapkan MoU-nya dan PTDI juga sudah mulai bikin, ” kata Direktur Umum Lion Air, Edward Sirait. Menurutnya, motivasi pembelian N219 ini tetap bisnis. ”Memang ada pertimbangan kita ingin produk nasional berkembang, tapi paling utama adalah alasan bisnis,” katanya.
Bila terwujud, kontrak dengan Lion Air ini bisa dibilang salah satu kue bisnis terbesar yang bakal diraup PTDI. Belum lagi menghitung order dari lini government market. Wajar kalau Budi merasa prospek PTDI selama beberapa tahun ke depan bakal lumayan cerah.”Order kami sudah aman sampai 2017,” katanya sambil tersenyum.
Ini jelas sebuah perusahaan yang dulu sempat kolaps akibat disetop pendanaannya oleh IMF. Namun bukannya terus terpuruk, PTDI mulai perlahan bangkit. Syaratnya adalah strategi bisnis yang jitu untuk terus bertahan sekaligus political will yang kuat dari pemerintah.
Kuatnya political will pemerintah terhadap ndustri strategis ini juga diamini Firmansyah, staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Bidang Ekonomi. Mantan dekan Universitas Indonesia adalah yang paling kuat komitmennya terhadap industri strategis dalam negeri. ”Kita lebih advanced dibandingkan dengan Thailand, Filipina, dan yang lain. Mereka masih consumer base dibandingkan dengan production base,” katanya.
Buki PTDI sebagai industri yang berhasil, mana lagi kalau bukan di neraca keuangan? Tahun 2012 adalah awalnya. Itulah pertama kali PTDI mencatatkan keuntungan sampai Rp 40 milyar. Bagaimana untuk 2013? ”Untuk 2013 ini kita tetap untung, dan 2014 nanti saya yakin kita masih tetap untung,” kata Budi mantap.