Setelah mengalami keterpurukan yang luar biasa pasca runtuhnya Uni Soviet, kebangkitan Rusia sungguh mencengangkan dunia. Rusia pada era Boris Yeltsin, mengalami kemunduran ekonomi akibat dominasi kaum oligarki yang merampok kekayaan negara. Skandal ini diperparah dengan indikasi keterlibatan AS, IMF, dan World Bank yang tetap memberikan pinjaman meski mengetahui bahwa pinjaman ini jatuh ke tangan kaum oligarki. Tidak hanya itu, orang-orang terdekat dan bahkan Yeltsin sendiri ditenggarai turut terlibat dalam kemunduran Rusia. Kemunduran ini pada akhirnya membawa implikasi yang sangat buruk bagi kehidupan penduduk Rusia. Tentara Rusia bahkan pernah digaji dengan sayur-mayur karena kekosongan kas negara.
Kemunculan Vladimir Putin dalam pangggung politik Rusia yang didukung oleh kaum siloviki membawa sebuah ‘gebrakan’ baru. Usai memegang jabatan sebagai presiden Rusia pada tahun 2000, Putin segera mengevaluasi kinerja ekonomi dan kemudian bertindak tegas terhadap kaum oligarki. Di bawah kendali pria kelahiran 7 Oktober 1952 di St Petersburg itu, Rusia tak hanya menjadi kekuatan penyeimbang dalam militer namun juga ekonomi. Sebagai penyeimbang kekuatan militer, Rusia mampu mencegah kesewenang-wenangan Amerika Serikat di Suriah. Dalam bidang ekonomi, Rusia menjadi anggota G-20 juga BRIC. BRIC yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan China sebagai kekuatan baru dalam bidang ekonomi dunia.
Putin berhasil membawa Rusia keluar dari keterpurukan ekonomi dengan catatan prestasi ekonomi yang sangat gemilang. Kemiskinan berhasil dikurangi karena keberhasilannya dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Proyek pengurangan kemiskinan ini diikuti dengan baik oleh proyek nasional bidang kesehatan, perumahan, dan perlindungan sosial. Jumlah pengangguran di Rusia turun dari 8,6 juta menjadi 5 juta pada 2006. Dengan kekayaan minyaknya, cadangan devisa Rusia melonjak dari 12 miliar dollar AS pada tahun 1999 menjadi 447,9 miliar dollar AS pada Oktober 2007. Total utang luar negeri Rusia pun hanya mencapai 47,8 miliar dollar AS atau tinggal sepertiga dari total utang Rusia tahun 1999.
Dengan segudang prestasi gemilang ini, tak heran bila Rusia akhirnya memperoleh pujian dari berbagai penjuru dunia. Rusia bahkan menjadi salah satu contoh negara yang sukses tanpa menggantungkan diri pada bantuan IMF. Kesuksesan ini pun diikuti oleh pemulihan peran internasional Rusia. Rusia tidak saja sekedar bangkit tetapi berani menantang dominasi AS. Rusia menjadi anggota resmi G-8. Alhasil Rusia di bawah Putin meraih sukses dalam hubungan internasional, peran kuat yang relatif serupa dengan Uni Soviet pada masa lampau. Tak heran bila akhirnya majalah Time menobatkan Vladimir Putin sebagai Tokoh Dunia tahun 2007.
Namun eforia masyarakat Russia atas keberhasilan pemerintah dalam menangani keterpurukan ekonomi itu kemudian berubah menjadi mimpi buruk di siang hari. Aneksasi Russia secara tiba-tiba membuat Barat menjadi meriang dan akhirnya memberikan berbagai macam sanksi dari yang halus sampai pada tahap yang cukup significant. Barat berusaha lebih giat lagi untuk menggembosi Russia ke titik awal kehancuran Uni Sovyet.
Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh Kremlin, mereka sudah membuat perencanaan yang matang sebelum melakukan aneksasi Crimea. Berbagai macam skenario tentang respon Barat terhadap aneksasi Russia itu sudah termasuk dalam perhitungan mereka. Bahkan Amerika pun sudah dipermalukan Russia, dimana diberitakan oleh RBTH Indonesia, Departemen Luar Negeri AS mengakui bahwa kru kapal perusak Amerika Donald Cook gentar ketika berhadapan dengan pesawat pembom Rusia SU-24, meski pesawat tersebut hanya sebuah kompleks persenjataan radio-elektronik yang tidak membawa bom ataupun misil.
Apa yang membuat kru Amerika begitu ketakutan?
Pada Kamis (10/4), kapal perusak Amerika Donald Cook memasuki perairan Laut Hitam. Dua hari kemudian, pesawat pembom taktis Rusia Su-24 “membekukan” kapal perusak itu. Beberapa media melaporkan bahwa kru Donald Cook gentar saat bertemu dengan pesawat tersebut dan 27 pelaut Amerika mengajukan permohonan pengunduran diri dari Angkatan Laut.
Donald Cook adalah kapal perusak armada generasi ke-4 milik Angkatan Laut AS. Senjata kunci Donald Cook berupa rudal jelajah Tomahawk yang memiliki jangkauan terbang hingga 2.500 kilometer dengan membawa bahan ledak nuklir. Kapal ini membawa 56 rudal Tomahawk dalam mode standar, dan 96 rudal untuk mode menyerang.
Kapal perusak ini dilengkapi dengan sistem pertahanan militer rudal balistik Aegis terbaru. Kapal ini dapat memusatkan sistem pertahanan udara dari semua kapal yang terpasang dalam jaringan yang sama dengannya, sehingga kapal dapat melakukan pelacakan dan menembak ratusan target pada saat bersamaan. Empat radar besar udara standar dipasang di sisi-sisi kapal di atas dek menggantikan radar biasa. Sekitar 50 rudal pencegat dari berbagai kelas dipasang bersama Tomahawk dalam instalasi peluncuran universal pada bagian haluan dan buritan.
Sementara, pembom taktis Rusia SU-24 yang mendekati Donald Cook tidak membawa bom ataupun rudal, hanya sebuah wadah berisi kompleks militer radio-elektronik Khibiny. Setelah mendekati kapal perusak itu, Khibiny mematikan radar, sirkuit kendali tempur, dan sistem pertukaran datanya. Dengan kata lain, Su-24 mematikan seluruh Aegis seperti mematikan TV dengan remote control. Setelah itu, SU-24 melakukan simulasi serangan rudal pada kapal yang tidak dapat melihat dan mendengar serangan itu, dan mengulangi manuver tersebut sebanyak 12 kali.
Ketika pesawat tempur pergi, Donald Cook segera bergerak menuju pelabuhan Rumania dan tidak pernah mendekati perairan Rusia lagi.
Selain itu, Russia juga berhasil mempermalukan Amerika terkait dengan krisis Suriah, dalam forum G20, St Petersburg, Rusia. Presiden Rusia, Vladimir Putin secara terbuka mengancam Presiden Amerika Serikat Barack Obama soal Suriah. Dilansir Russia Today, Jumat (06/09/2013), usai memastikan Obama membatalkan pertemuan empat mata, Presiden Putin mengatakan Rusia mungkin akan datang untuk membantu Suriah menyerang AS.
“Pesan kami adalah, jika Anda menyerang sekutu kami, maka kami mungkin akan datang,” tegas Putin.
Pernyataan terkeras Putin itu ditanggapi serius oleh Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata AS, Jenderal Martin Dempsey. Dilansir FoxNews, Pentagon telah memprediksi bahwa serangan militer AS ke Suriah bisa berubah menjadi perang asimetris antara AS dan Rusia.
“Kemungkinan terjadi baku tembak dengan tentara Rusia sangat terbuka, karena kita menyerang sekutu mereka,” jelas Dempsey.
Kongres AS juga terkejut mendengar ancaman Putin. Anggota Kongres dari Partai Republik, George Holding, dalam pertemuannya dengan para jenderal Pentagon, mengatakan jika pilihan serangan militer ke Suriah dilakukan, harus dipikirkan apa yang akan dilakukan AS jika Rusia memutuskan untuk ikut menyerang.
Dalam menghadapi sanksi-sanksi dari pihak Barat pun Russia sudah berhitung dengan cermat. Sehingga dampak dari sanksi-sanksi tersebut tidak berpengaruh secara significant terhadap Russia.
Mengapa Russia tak takut lagi kepada Barat
Barat terkesima, tak percaya Vladimir Putin menginvasi Ukraina. Semua diplomat Jerman, birokrat Euro Prancis dan intelektual Amerika tertegun bertanya-tanya, mengapa Russia memilih mempertaruhkan hubungan bernilai triliunan dolarnya dengan Barat?
Para pemimpin Barat terpaku tak mengira para penguasa Russia tak lagi menghormati Eropa seperti yang mereka perlihatkan usai Perang Dingin. Russia tidak lagi menganggap Barat aliansi pembebas. Russia kini menganggap semua yang ada di benak Barat melulu uang.
Para tangan kanan Putin tahu sekali soal ini. Selama bertahun-tahun para penguasa Russia telah membeli Eropa. Orang-orang Russia mempunyai mansion dan flat mewah dari West End di London sampai Cote d’Azure di Prancis.
• Anak-anak Russia belajar di sekolah-sekolah khusus nan elite di Inggris dan Swiss, sedangkan uang mereka diparkir di bank-bank Austria dan ditampung sistem pajak rendah Inggris.
• Lingkaran terdalam kekuasan Putin tak lagi takut terhadap sikap Eropa. Mereka kini tahu betul siapa Eropa. Mereka bisa langsung melihat betapa rendahnya mental para aristokrat dan konglomerat Barat, yang matanya akan berbinar-binar setiap kali miliaran dollar uang Russia dimainkan.
• Russia sekarang menganggap Barat munafik karena elite-elite Eropalah yang justru membantu orang-orang Russia menyembunyikan kekayaannya.
Dulu Russia menyimak saat kedubes-kedubes Eropa mengutuk korupsi di BUMN-BUMN Russia. Tapi sekarang tidak lagi. Karena Russia tahu sekali bahwa para bankir, pengusaha dan pengacara Eropa justru melakukan kerja kotor bagi orang-orang Russia untuk menyembunyikan uang hasil korupsi mereka di Antila Belanda dan Kepulauan Virgin, Inggris.
Bank sentral Russia memperkirakan dua pertiga dari 56 miliar dolar AS uang yang ada di Russia pada tahun 2012, ada kaitannya dengan kegiatan-kegiatan tidak syah, hasil berbagai kejahatan seperti pungli, uang narkotika atau penggelapan pajak. Ini adalah uang yang digulungkan para bankir kaya raya Inggris sebagai karpet merah demi masuknya orang Russia ke London.
Di balik korupsi Eropa, Russia melihat kelemahan Amerika. Kremlin tak yakin negara-negara Eropa, kecuali Jerman, benar-benar independen dari Amerika Serikat. Russia kini melihat Eropa tak lebih dari negara-negara klien yang bisa dipaksa Washington, untuk tidak berbisnis dengan Kremlin. Namun Moskow tidak gugup, para elite Russia telah mengekspos Barat dengan cara luar biasa dengan menawan properti-properti dan rekening-rekening bank Eropa. Hal ini terbukt, ketika Spanyol, Italia, Yunani dan Portugal saling sikut untuk menjadi mitra bisnis terbaik Russia. Kremlin melihat kontrol Amerika atas Eropa perlahan memudar.
Secara teoritis, hal ini akan membuat Barat rentan, mengingat penarikan dana secara tiba-tiba oleh adanya investigasi pencucian uang dan larangan visa bisa memangkas kekayaan mereka. Dari masa ke masa Russia menyaksikan betapa pemerintah-pemerintah Eropa menolak meloloskan undang-undang yang mirip dengan UU Magnistky AS yang mencegah para pemimpin kriminal memasuki Amerika Serikat.
Semua ini membuat Putin percaya diri, percaya bahwa elite Eropa lebih tertarik kepada uang ketimbang menghadapinya.
secara langsung. Hal ini dibuktikan, ketika pasukan Russia sudah mencapai pinggiran Tbilisi, ibukota Georgia, pada 2008, rangkaian pernyataan dan gertakan keluar dari Barat, namun saat dihadapkan pada miliaran dolar dana Russia, mereka menjadi ciut. Lalu, setelah para tokoh oposisi Russia diadili, Uni Eropa mengirim surat keprihatinan, tapi sekali lagi mereka bungkam saat miliaran dolar uang Russia tersaji di hadapan mereka.
Russia melihat Barat berbicara soal hak-hak asasi manusia tapi mereka sendiri tidak lagi mempercayainya. Eropa sungguh sudah dikendalikan oleh elite bermoralitas hedge fund (pengelola dana atau pialang): Keduk uang dengan cara apa saja, lalu parkir uang itu di luar negeri. Kremlin kini tahu rahasia perang kotor Eropa. Kremlin tahu pasti sikap Eropa. Orang-orang bermuka masam yang mengendalikan Russia di saat ini melihat Barat seperti para politisi di akhir masa Soviet.
Di Moskow, Russia menyimak kelemahan Amerika di luar Kedubes Moskow saat ini. Amerika Serikat masih harus berjuang untuk pulih dari krisis dan menyesuaikan diri kepada perkembangan dunia yang kini polisentris. Upaya AS mengonsolidasikan dunia yang unipolar terbukti gagal. Di sektor militer, AS menarik pasukannya dari Iraq dan meninggalkan Afghanistan yang tidak bisa dipungkuri sebagai dampak dari membesarnya defisit anggaran dalam negerinya. Sementara itu, AS harus meminjam dari China dan negara-negara besar lain sebesar 30 sen dari setiap dolar pengeluaran warganya di tahun berselang.
Dulu Kremlin khawatir petualangan keluar negeri akan memicu sanksi ekonomi ala “perang dingin” yang merugikannya, seperti larangan ekspor komponen-komponen kunci bagi industri minyaknya atau bahkan diputusnya akses ke sektor perbankan Eropa. Kini kekhawatiran seperti ini tidak ada lagi.
Aneksasi Crimea merupakan suatu tindakan yang sudah direncanakan secara matang dan sudah diperhitungkan untung ruginya. Russia pun sudah melihat Amerika bingung karena perjudian Putin di Ukraina menggoyahkan kebijakan luar negeri AS yang lebih memilih membicarakan China atau berpartisipasi dalam perundingan damai Israel-Palestina.
Keberhasilan Russia dalam meningkatkan peran mata uang rubel Rusia dalam pelaksanaan ekspor sekaligus mengurangi pangsa transaksi dalam mata uang dolar telah benar-benar memukul Amerika secara ekonomi. Menurut Deputi Pertama Perdana Menteri Federasi Rusia Igor Shuvalov, “hal ini membuktikan bahwa Moskow sangat serius dalam tekadnya untuk berhenti menggunakan dollar”. Pertemuan berikutnya dipimpin Wakil Menteri Keuangan Alexey Moiseev yang kemudian mengatakan pada saluran Rossia 24 bahwa “jumlah kontrak rubel akan meningkat”. Tentu saja keberhasilan kampanye Moskow untuk beralih ke perdagangan rubel atau mata uang regional lainnya tergantung pada kemauan mitra dagangnya untuk menyingkirkan dolar (dalam perdagangan bebas-dolar). Sumber yang dikutip politonline.ru, menyebutkan ada dua negara yang bersedia mendukung ide Rusia yaitu Iran dan China.
Prospek Kebangkitan Russia di Masa Datang
Kebangkitan Russia saat ini seakan sudah menjadi “takdir” yang harus terjadi, sebagai jawaban atas hegemoni Barat, yang seolah-olah bisa melenggang bebas tanpa hambatan. Dengan meningkatkan hubungan dengan China kepada tahap yang lebih tinggi, Russia berharap bisa membendung ambisi dan kepongahan Barat untuk menekan Russia agar bisa dikendalikan semau mereka. Selain itu, Russia melangkah lebih maju lagi dengan secara terang-terangan menentang hegemoni Barat di seluruh dunia.
Dahulu Russia menyikapi hubungan segitiga, antara Russia – China di satu sisi dan Russia – Amerika (dan sekutunya) di sisi lalin dengan cara berusaha menjaga hubungan yang kuat dengan Beijing dan Washington, tanpa bersekutu dengan Amerika untuk melawan China ataupun bersekutu dengan China untuk melawan Amerika.. Namun keadaan ternyata berbicara lain, dengan timbulnya krisis Crimea mau tidak mau Russia harus merangkul China untuk menghadapi Amerika dan sekutunya. Dengan kata lain, saat ini kita tahu bahwa perang dingin jilid kedua sudah berlangsung di depan mata.
Russia juga menggandeng negara-negara yang tidak sealiran dengan pihak Barat namun mereka memiliki potensi ekonomi yang besar dengan membentuk berbagai macam institusi tandingan di bidang ekonomi, politik dan militer. Salah satunya adalah dengan pembentukan BRICS.
BRICS merupakan tandingan dari Bank Dunia dan IMF yang sudah menolak membantu Russia dan negara-negara berkembang yang dianggap oleh Barat sebagai negara “pelanggar hak-hak azasi manusia”. BRICS beranggotakan Russia, China, Brasil, India dan Afrika Selatan, negara-negara dengan pertumbuhan ekonomiyang tinggi. Akronim ini pertama dicetuskan oleh Goldman Sachs pada tahun 2001. Menurut Goldman Sachs, pada tahun 2050, gabungan ekonomi keempat negara itu akan mengalahkan negara-negara terkaya di dunia saat ini.
KTT pertama berlangsung di Yekaterinburg, Rusia, pada tanggal 16 Juni 2009, dengan dihadiri oleh:
• Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva,
• Presiden Rusia Dmitry Medvedev,
• Perdana Menteri IndiaManmohan Singh, dan
• Presiden RRT Hu Jintao.
KTT BRIC yang kedua berlangsung pada tanggal 15 April 2010 di ibukota Brazil, Brasilia. Pada kedua KTT tersebut, BRIC menyatakan posisinya pada berbagai isu global, antara lain:
• Reformasi institusi keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia agar dapat lebih menampung aspirasi negara-negara berkembang
• Perlunya diversifikasi sistem moneter internasional, tidak terfokus lagi pada US Dollar sebagai mata uang internasional
• Agar PBB memainkan peran yang lebih penting dalam diplomasi multilateral
• Peran yang lebih besar untuk Brazil dan India di PBB (agar kedua negara tersebut juga bisa menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB)
Saat ini Russia menyikapi berbagai strategi Amerika dan sekutunya dalam memainkan bidak caturnya di dunia internasional. Russia tahu, Amerika sedang memainkan dua kartu utamanya, yaitu perang melawan teroris (Islamic State) untuk mengalihkan perhatian pada kejadian perang Hamas vs Israel yang berakhir dengan sangat memalukan bagi Israel dan wabah virus Ebola yang diekspos untuk menutupi rasa malu Amerika dalam menyikapi Krisis Crimea.
Keberhasilan Russia dalam menganeksasi Crimea memang sebuah prestasi gemilang, namun untuk melakukan ekspansi langsung ke Ukraina adalah persoalan lain. Tentunya Russia harus berpikir masak-masak bila ingin melakukan ekspansi secara langsung ke Ukraina, Saat ini pun Putin sedang kerepotan dalam menghadapi sanksi-sanksi ekonomi dan politik yang diberikan oleh pihak Barat kepada Russia, apalagi jika Russia bertindak lebih jauh. Untuk melakukan ekspansi langsung Russia tidak akan berani, terkait dengan pemberian sanksi-sanksi Barat kecuali ada suatu “tragedy” yang mengharuskan bertindak dengan segera. Di sisi lain, pihak Barat yang sudah pernah kecolongan dalam krisi Crimea tentu akan melakukan perhitungan ulang dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam menghadapi Russia.
Walaupun Amerika sendiri sudah menyatakan untuk mengurangi anggaran militer secara besar-besaran, namun sebenarnya dana ini dialokasikan kedalam pembentukan satuan intelijen secara massive di seluruh dunia. Dalam perang frontal bisa dikatakan Amerika selama ini belum pernah memenangkan pertempuran secara sendirian kecuali di Panama, namun dalam perang intelijen jangan ditanyakan kehebatan Amerika sekutunya. Intelijen Barat sudah berprestasi dalam menjatuhkan rezim-rezim negara lain, termasuk dua kali di Indonesia, pada jaman Sukarno dan Suharto. Selain itu, mereka sudah berhasil melepaskan Polandia dari Uni Sovyet dulu, meruntuhkan tembk Berlin dan yang paling legendaris adalah menumbangkan negara Uni Sovyet dan aliansinya Pakta Warsawa. Selain itu juga sudah berhasil “mengeliminasi” Hugo Chaves dari pentas politik di Venezuela. Namun mereka pernah tersandung juga tiga kali di Iran dalam operasi Blue Light jaman Presiden Jimy Carter, skandal Iran Contra pada jaman Ronald Reagan dan penyusupan unit pasukan khusus di perairan Iran, dimana pasukan Amerika berhasil ditangkap oleh Garda Republik Iran.
Selain kartu “virus Ebola” dan “Islamic State”, Amerika dan sekutunya pasti juga mengincar China dengan membujuk Beijing untuk lebih dekat ke Barat daripada ke Russia. Sehingga dengan demikian China bisa membatalkan segala bentuk kerjasamanya dengan Russia yang akan berakhir dengan kelumpuhan Russia di bidang ekonomi. Namun lagi-lagi upaya ini sudah berhasil diendus sejak lama oleh Kremlin dan diantisipasi dengan beberapa perjanjian rahasia tentang alih teknologi militer.
Di pihak lain, diam-diam Russia juga menjalin kerjasama rahasia dengan beberapa negara Eropa Barat dan Israel. Dengan demikian, bisa tetap bertahan dalam menghadapi tekanan dari pihak Barat yang dipimpin oleh Amerika. Dalam kasus kapal Mistral buatan Perancis, Presiden Perancis Francois Hollande, bahkan harus berhadapan dengan para pekerja yang melakukan demonstrasi di dekat galangan kapal Mistral. Selain itu Hollande sendiri tidak mau membatalkan serah terima kapal tersebut dengan Russia, kecuali resikonya ditanggung bersama oleh pihak Barat.
Satu hal lagi, Russia juga melihat dengan cermat kondisi politik pasca pemilu di Indonesia. Adanya pergantian pemerintahan secara otomatis akan berpengaruh juga terhadap kebijaksan pemerintahan baru kepada mitra-mitra lamanya. Tentunya Russia tidak ingin kerjasama yang sudah terjalin lama dengan Indonesia dan dengan pengorbanan darah dan air mata akan berakhir menjadi sia-sia lagi.
Russia sudah membuat berbagai skenario yang mungkin terjadi pada pemerintahan baru di Indonesia. Berkaca pada sejarah masa Orde Baru dimana pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Suharto kala itu secara terang-terangan berpihak ke Barat dan menafikan sahabat lamanya, maka Russia membuat strategi baru yang memungkinkan hal itu tidak terulang lagi paling tidak bisa diminimalisir semaksimal mungkin.
Dengan alasan telah mencampuri proses politik dalam negeri (pemilu), pada Oktober 2012, kantor salah satu “badan besar” negara terkemuka didunia yang telah berdiri di Moskow sejak 20 tahun lalu diminta untuk ditutup dan dihentikan kegiatannya.
Pada bulan sama, melalui pengesahan presiden, telah dikeluarkan UU tentang Pengkhianatan terhadap negara yang memungkinkan para aparat penegak hukum menyasar seseorang telah bekerja sama dengan organisasi internasional karena membocorkan rahasia negara.
Sebulan sebelumnya, Presiden berusia 61 tahun pemegang sabuk hitam tae kwon do dan yang selalu tampil fit ini menandatangani peraturan yang mengharuskan setiap organisasi kemasyarakatan yang memperoleh bantuan dari luar, teregistrasi sebagai “agen asing”.
Berbagai kebijakan Pemerintahan Putin ini serta merta menuai protes dan tentangan dari berbagai pihak, khususnya organisasi kemasyarakan internasional dan pemerintah negara-negara Barat yang selama ini memang selalu mengkritisi pemerintahan Putin sebagai rejim yang kurang mempromosikan nilai-nilai demokrasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Rasanya masih jauh untuk bisa mengikuti jejak Russia untuk saat ini. Sementara Russia di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin sudah menarik benang merah yang tegas dengan negara-negara Barat, kita masih berada di “Grey Area”. Kita belum berani menentukan sikap yang tegas dengan siapa kita berteman dan dengan siapa kita harus bertindak. Ataukah kita menjadi negara non blok, seperti yang pernah digagas Bung Karno? Sejarah berkata lain, semenjak kejatuhan Presiden Sukarno kita ternyata lebih banyak berkiblat ke barat, status sebagai negara non block hanya sebuah lips service semata. Kenyataan membuktikan, pada saat terakhir menjelang kejatuhan Suharto, beliau mencoba untuk mengakrabkan diri dengan Russia, yang tentu saja memancing emosi dari pihak Barat dan berakhir dengan kejatuhan beliau sendiri. Persis seperti yang dialami oleh Presiden Sukarno dahulu, ditikam dari belakang oleh orang-orang terdekatnya sendiri, tentunya pun dengan bantuan blok Barat.
Masihkah kita tidak puas dengan satu contoh, Perancis yang dulu merupakan negara terbesar di daratan Eropa, pernah keluar dari NATO dan memutuskan untuk berdiri sendiri pun ternyata akhirnya bergabung kedalam masyarakat Uni Eropa. Saat Perancis menyatakan sikap yang berbeda dengan Amerika dalam perang Irak, akhirnya mau tidak mau harus tunduk dengan kemauan Amerika setelah kota Paris dilanda kerusuhan massal yang berlanjut dengan pembakaran dan penjarahan massal menjelang naiknya Nikolas Sarkozy ke tampuk kepresidenan. Saat ini pun Perancis masih gamang menyikapi tekanan Amerika dalam penjualan kapal Mistral ke Russia.
Di manapun di dunia “zero enemy and million friends” hanyalah retorika belaka, Tiada kawan maupun lawan yang abadi, hanya kepentinganlah yang abadi, pada akhirnya hanya akan ada satu pilihan, “you’re with us or against us…..”
Ada sebuah kutipan yang menarik dari Putin, terkait dengan nilai-nilai strategi dan masa depan pembangunan Rusia, yaitu:
“Yang lebih menentukan keberhasilan pembangunan adalah kualitas warga negara dan kualitas masyarakat dalam artian ketangguhan intelektual, spiritual dan moralnya, serta sejauh mana mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari sejarah, nilai dan tradisi bangsa.” (JKGR)