Pages

Friday, 14 November 2014

Jaga Kedaulatan, TNI Bangun Pertahanan Terpadu di Perbatasan NKRI

PERBATASAN - Masjid Raya Natuna dilihat dari ketinggian. TNI berencana membangun Batalyon Infanteri 135 di Natuna, pada 2015. (Foto: Wikipedia)
PERBATASAN – Masjid Raya Natuna dilihat dari ketinggian. TNI berencana membangun Batalyon Infanteri 135 di Natuna, pada 2015. 

Natuna,  Setelah berdirinya Yonif-10 Mar/SBY di Batam, TNI akan kembali memperkuat pertahanannya di wilayah perbatasan dengan membangun satu batalyon infanteri TNI AD di Natuna pada 2015. Natuna merupakan kepulauan yang menjadi pintu gerbang NKRI di wilayah Laut Tiongkok Selatan dan dekat dengan titik konflik antara negara-negara yang berkepentingan di wilayah tersebut.

Danrem 033/Wira Pratama Kepri Brigjen TNI B. Zuirman di sela kunjungan ke Natuna beberapa waktu lalu menjelaskan kebenaran berita perencanaan tersebut.
“Benar, pada tahun 2015 nanti akan ada batalyon infantri di Natuna. Ini adalah salah satu upaya dalam pengembangan gelar kekuatan pasukan TNI di wilayah perbatasan. Mengapa batalyon infanteri? Sebab batalyon ini adalah pasukan yang bisa diarahkan ke mana saja dan siap tempur kalau terjadi apa-apa nantinya, juga taktis. Sedangkan alat perangnya adalah yang terdepan atau utama,” ujar Zuirman.

Rencananya, markas batalyon tersebut akan ditempatkan di daerah Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, dengan nama Batalyon Infanteri 135. Penempatan itu merupakan langkah antisipatif untuk menegakan kedaulatan NKRI di wilayah perairan Laut Tiongkok Selatan.

“Perlu diketahui, Kabupaten Natuna merupakan daerah NKRI yang berbatasan langsung dengan perairan Vietnam, dan wilayah timurnya berbatasan dengan Malaysia Timur, Thailand, dan Brunei, yang bila terjadi konflik, sangat riskan dijadikan musuh sebagai pangkalan, sebelum masuk ke wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, perlu ada tambahan pasukan yang terpusat di wilayah ini,” tuturnya.

Pertahanan Terpadu
Pemerintah telah mencanangkan konsep Tri Matra Terpadu sebagai konsep pertahanan negara, terutama diperuntukan untuk daerah-daerah rawan konflik dan kepulauan terluar yang menjadi beranda NKRI.

Keberadaan Tri Matra Terpadu dengan nama Kogabwilhan (Komando Gabungan Wilayah Pertahanan) menjadi bagian terpenting dalam rangka menjaga kedaulatan, terutama di kepulauan terluar seperti Natuna.

“Kogabwilhan menjadi penting untuk memperkuat pertahanan terutama di wilayah kepulauan terluar seperti Natuna, meskipun konsep itu belum bisa berjalan karena ada keterbatasan anggaran,” kata Asisten Deputi Bidang Kesatuan Bangsa, Kemenko Polhukam, Kolonel Laut Agus Surya, di kantornya, Selasa (11/11/2014).

Lebih Lanjut, Agus menambahkan, Kogabwilhan bukan hanya di Natuna. Daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain juga perlu dibangun Kogabwilhan.
“Di kepulauan-kepulauan terluar dari barat sampai ke timur perlu dibangun Kogabwilhan. Selain itu, di angkatan laut perlu juga adanya penambahan armada menjadi tiga, yaitu barat, tengah, dan timur. Kalau dulu armada barat pernah saya usulkan di Pekanbaru, karena di situ titik terdekat dengan Selat Malaka dan juga Kepulauan Natuna,” tuturnya.

Keberadaan Kogabwilhan sudah menjadi kebutuhan mendesak, mengingat eskalasi kawasan semakin memanas. Sampai dengan saat ini, Amerika telah memusatkan pertahanannya di wilayah pasifik dan dekat dengan teritorial Indonesia, seperti di Filipina, Darwin, Guam, dan Singapura. Tentunya keberadaan itu akan menjadi ancaman bagi kedaulatan NKRI.

Kendala Anggaran
Senada Agus, pengamat militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodhawardani juga mendukung langkah pembangunan Kogabwilhan itu, yang sampai sekarang menurutnya, masih banyak memiliki kendala, salah satunya anggaran.
“Kita menganut konsep Tri Matra Terpadu untuk beberapa tahun ke depan dan untuk angkatan laut kita butuh sekitar 150-an KRI dan beberapa kapal selam, di angkatan udara kita butuh skuadron untuk beberapa pesawat tempur, dan di angkatan darat butuh beberapa batalyon di daerah perbatasan. Saya kira itu menjadi kebutuhan yang utama dalam mewujudkan pertahanan ideal buat negara kita,” papar Dhani.

Menyoal estimasi anggaran yang dibutuhkan untuk membangun program tersebut, wanita asal Surabaya ini dengan serius menegaskan bahwa dalam berbicara pertahanan, tidak boleh main-main dan tidak bisa diukur dengan besarnya uang.

“Estimasi anggaran periode 2015-2019 kita baru menganggarkan 1,5 persen dari GDP dan 2 persen pada tahun 2024. (Sebesar) 1,5 persen itu artinya apa? Kita harus mengalokasikan anggaran sebesar Rp150 triliun untuk pertahanan. Itu saja tidak mudah, ketika ekonomi kita masih begini. Kita akan selalu dibenturkan dengan masalah kesejahteraan versus keamanan. Jadi, ini suatu pertaruhan yang tidak mulus. Dari dalam sendiri, kita selalu mendapat problem kemanusiaan yang banyak. Tetapi seharusnya membangun kekuatan pertahanan itu sesuatu yang lain lagi. Ini yang penting, karena bagaimana kita merasa aman dan perasaan aman itu enggak bisa dikalkulasi dengan uang,” tandasnya.

Menurutnya, dengan besarnya anggaran yang telah ditetapkan, Tri Matra Terpadu harus berjalan secara optimal. Ada matra yang menjadi prioritas untuk pembangunan ke depan, misalnya matra laut.
“Masing-masing angkatan itu punya porsi sendiri-sendiri. Kalau kita bicara pertahanan maritim bukan hanya dilihat dari angkatan laut saja, tetapi bagaimana keterpaduan dari konsep Tri Matra Terpadu itu berjalan secara bersamaan. Kemudian ditambah new compartement dalam arti pertahanan yang mengikuti pembangunan maritim,” terangnya. (http://jurnalmaritim.com)