Pages

Wednesday, 12 November 2014

Kerja Sama RI-Tiongkok, Penyeimbang Five Power Defence Arrangements


Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana di antara para pemimpin dunia dalam sesi foto bersama APEC, di Beijing, Senin (10/11/2014). (Foto: Setkab)
LAWATAN TIONGKOK – Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana di antara para pemimpin dunia dalam sesi foto bersama APEC,

Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pembicaran bilateral dengan tuan rumah KTT APEC 2014, Presiden Republik Rakyat Tiongkong Xi Jinping di Beijing, Minggu (9/11/2014) lalu. Dari hasil pembicaraan itu, segudang spekulasi turut merebak dari berbagai pengamat. Tidak terkecuali, pengamat pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie. Ia menyampaikan respons positifnya terhadap lawatan perdana presiden.

“Pada periode 2000-2010 lalu, Tiongkok telah sukses membangun kekuatan Offshore Defence dengan berkonsentrasi pada Offshore Combatant dan Brown Water Navy. Pada 2010-2020 mendatang, Tiongkok mencanangkan Offshore Operation sepanjang Island Chain dan pembangunan Green Water Navy dengan pengembangan kapal besar permukaan, kapal selam nuklir, dan pesawat tempur untuk kapal induknya. Pada 2020-2050, Tiongkok akan melakukan finalisiasi program pesawat tempur dan pembangunan kekuatan Blue Water Navy yang mampu beroperasi di dua high seas,” ungkap Connie.
Menurutnya, kondisi itu merupakan potensi bagi pemerintahan Jokowi yang sedang berupaya mewujudkan Poros Maritim Dunia.

“Tentu inilah pertama kalinya dalam sejarah Tiongkok berdiri, negara ini berterus terang dan demikian terbuka akan menjadi sebuah Negara Maritim yang mumpuni, baik secara ekonomi, diplomatik, maupun militer. Kekuatan militer Tiongkok yang diarahkan pada core interest mencakup kesejahteraan zona litoral, ekonomi, dan nilai kebanggaan hegemonik sangatlah terkait erat dengan keamanan SLOC (Sea Lanes of Communications), dan chokepoints yang selama ini keberadaannya menjadi sebuah link yang hilang dari isu stabilitas regional,” tambahnya.
Lebih lanjut, wanita lulusan Universitas Indonesia itu menuturkan keuntungan yang akan didapatkan Indonesia sebagai jantung kawasan maritim ASEAN. Dalam hal memperkuat pertahanan maritimnya, Indonesia selalu diapit kekuatan FPDA (Five Power Defence Arrangements), yang merupakan hubungan pertahanan melalui persetujuan multilateral antara Britania Raya, Australia, Selandia Baru, Malaysia, dan Singapura yang telah ditandatangani sejak 1971.

“Jika kita dapat merapatkan barisan dalam ASEAN Political Security maka demand dan supply untuk tumbuhnya kekuatan industri pertahanan bersama negara-negara ASEAN tambah Tiongkok, dipastikan kita akan lebih mumpuni dalam membangun industri pertahanan untuk menghadapi segala bentuk ancaman. Selain itu, sebagai kemampuan untuk menghadapi kekuatan negara-negara FPDA. Bagaimanapun, FPDA sesungguhnya harus menjadi ukuran dalam memandang ancaman masa depan kawasan, juga posisi Indonesia yang sesungguhnya terkepung oleh Commonwealth Countries, seperti Australia, Malaysia, dan Singapura yang tergabung dalam kepentingan dan kekuatan yang hampir sama,” paparnya.

Menurut Connie, setidaknya, kerja sama dengan Tiongkok akan menjadi penyeimbang kekuatan FPDA yang berafiliasi kuat dengan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia juga memiliki peranan penting dalam memainkan kawasan regional ASEAN dalam perwujudan Poros Maritim. Diharapkan, dalam pertemuan bilateral ini akan menjadi landasan kuat atau bargaining politik saat presiden Jokowi menghadiri ASEAN Summit di Myanmar, 12-14 November 2014 dan pertemuan G20 Leaders’ Summit di Brisbane, Australia, 15-16 November 2014.

Paradigma Pertahanan Indonesia
Connie menerangkan, secara internal, pertemuan bilateral dengan Tiongkok akan mengubah paradigma pertahanan Indonesia yang selama dijalankan dalam prinsip thousand friends zero enemy menuju konsep pertahanan yang menitikberatkan pada keamanan samudera dan dirgantara yang jauh lebih utuh dan komprehensif.

“Paradigma ini patut diingat akan mengidentifikasikan ‘transformasi militer’ yang mencakup postur pertahanan dan prosesnya, antara lain perpindahan dari Threat-Based Planning ke Capabilities Based Planning, dari One Size Fits All Deterrence ke Tailored Deterrence; perpindahan dari fokus kinetik kepada Effects-Based Operations; perpindahan dari Department of Defense solutions ke Interagency Approaches; perpindahan dari Static Defense atau Garrison Forces ke arah Mobile atau Expeditionary Operations; perpindahan dari Exposed Forces Forward to Reaching Back ke Global Defense Posture Review; dan perpindahan dari Fragmented Homeland Assistance ke Integrated Homeland Security. Berbagai perubahan yang terjadi dalam agenda transformasi yang lebih luas tersebut dihubungkan kepada konsep transforming transformation yang merupakan konsekuensi dari Ocean Leadership Presiden Jokowi yang harus kita semua dukung,” paparnya.
Dari perubahan paradigma itu, Connie berharap, Poros Maritim Dunia akan menjadi keniscayaan selama ada negara-negara adidaya yang menopang konsep itu. Hal ini persis dengan apa yang dilakukan Bung Karno pada era 1960-an.

“Saya pun pernah mengatakan bahwa Presiden Jokowi merupakan Pati Unus-nya zaman sekarang, karena kecerdikannya dalam melihat peluang dan potensi kawasan. Selain itu, dengan lawatannya ke Tiongkok sudah sangat tepat sekali dalam mengoptimalkan peranan Indonesia dalam kancah dunia internasional,” tuturnya.

Connie mengimbau, perkembangan situasi keamanan kawasan menuntut berpikir cepat, kreatif, dan mengetahui dengan jelas arah tujuan merumuskan strategi pertahanan maritim dan udara sebagai kawasan dan sebuah kesatuan untuk tercapainya keamanan dan regional ekuilibrium. ( JMOL)