Pages

Sunday, 30 March 2014

I Love You, Natuna..!

 
Sudut Pulau Natuna –

I Love You, Natuna..! Seandainya kisah pembuangan seorang tokoh berpengaruh di suatu negara masih ada hingga ke saat ini, maka saya memimpikan untuk menjadi tokoh itu yang dibuang ke Natuna. Hehehe..! Its my legend island..! Tepat 25 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di pulau emas ini.
Maaf, saya menyebutnya sebagai pulau emas, untuk menggambarkan betapa besarnya potensi ekonomi yang dimiliki pulau ini. Natuna tiba-tiba menjadi sesuatu yang sangat grand dalam hidup saya, ketika suatu saat saya diminta kepala sekolah saya untuk mewawancarai tokoh terkemuka, budayawan Riau, sekaligus pencetus ide Riau Merdeka, yakni Prof. Dr. Tabrani Rab. Waktu itu saya baru pindah sekolah di salah satu SMAN paling terkenal di Pekanbaru. Hehehe..! Maaf saya harus menyebut almamater saya ini sebagai sebuah institusi pendidikan menengah favorit atau paling terkenal di Pekanbaru, supaya bisa mendeskripsikan seacara real tentang kondisi Riau di masa itu. Riau 25 tahun yang lalu adalah sebuah wilayah kepulauan yang maha besar di belahan Timur pulau Sumatera. Riau adalah daerah yang pernah memberikan andil besar dalam perekonomian nasional.
Di masa jayanya, ketika PT Caltex Pacific Indonesia mulai menemukan cadangan minyak terbesar di Indonesia, yakni 2 miliar barel, yang terdapat dalam perut bumi wilayah Duri, Riau mampu menyumbang sebesar 65% dari seluruh lifting minyak nasional Indonesia. Angka yang sangat fantastis..! Dari sini kita akan mengetahui alasan mengapa di Pekanbaru terdapat skuadron pesawat tempur yang diperhitungkan. Oil and Gas Factor..! Bahkan konflik PRRI Permesta di Sumatera harus berawal dan berakhir di daerah ini.
Ilustrasi: Offshore Oil and Gas lifting . image: en.tempo.co
Adalah LB Moerdani yang dalam misi melumpuhkan konflik tersebut baru untuk pertama kalinya melakukan terjun payung, telah menjadi saksi dan sekaligus mampu memprediksi masa depan gemilang daerah ini. Di wilayah provinsi Riau pada masa itu sudah menjadi pemandangan keseharian bila kita menyaksikan sumur-sumur minyak, pipa-pipa minyak sebesar perut kerbau di sebelah kiri dan kanan bahu jalan, anjungan minyak lepas pantai, atau kawasan-kawasan eksklusif yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan minyak, baik lokal maupun asing. Dari mulai Dumai, Duri, Minas, Rumbai, Pekanbaru, Siak, Selat Panjang, Sei Pakning, Bengkalis, terus memanjang jauh hingga ke Natuna, aura minyak tidak akan pernah lepas dari pandangan mata kita.
Menelusuri jalur minyak Riau, itulah yang saya lakukan 25 tahun lalu bersama Prof. Tabrani, dalam rangka memperkaya materi yang akan saya pakai dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja tingkat Nasional di Jakarta. Dengan ketekunan penuh bak seorang ayah, dia menceritakan rentetan kisah dan sejarah kejayaan kerajaan-kerajaan di Riau, seperti kerajaan Siak Sri Inderapura maupun kerajaan Seri Bintan di pulau Bintan, Kepri. Meskipun dengan andil minyak yang mencapai 65% dari total minyak nasional, tapi ekonomi Riau saat itu tidak terlalu istimewa, hanya sedikit lebih baik dari Bengkulu dan Jambi. Jalan-jalan perkotaan yang sempit, jalan provinsi yang lebih banyak memanfaatkan infrastruktur jalan milik perusahaan minyak, yang selalu berdebu di saat musim kemarau, atau sangat licin di saat musim hujan. Hampir tidak ada sesuatu yang membanggakan. Bahkan di Pekanbaru sendiri sebagai ibukota provinsi Riau pada saat itu, kondisinya tidak lebih baik dari ibu kota kabupaten yang ada di pulau Jawa.
Ketika kita belum familiar dengan istilah Mall, dan lebih memilih kata Plaza untuk menyebut pusat perdagangan modern, maka waktu itu di Pekanbaru hanya ada terdapat satu plaza, yakni Suzuya Plaza, yang terletak di Jalan Soedirman. Tempat ini menjelma menjadi pusat hiburan masyarakat urban Pekanbaru, dan menjadi tujuan utama seluruh masyarakat Riau yang bertandang ke Pekanbaru. Kota kedua terbesar di Riau adalah Tanjung Pinang, yang notabene adalah bekas ibukota provinsi Riau, yang letaknya berada di wilayah Kepri. Dengan sistem transportasi udara yang masih sangat minim, moda angkutan laut menjadi satu-satunya alternatif untuk bisa menjangkau seluruh pelosok daerah Riau. Tanjung Pinang dianggap sudah sampai sepertiga perjalanan kita dari Pekanbaru menuju pulau Natuna. Sesudah Tanjung Pinang, kita masih harus melewati Tanjung Balai Karimun, sebelum akhirnya kita akan melakukan perjalanan menegangkan, karena disepanjang laut yang kita lewati, hantaman ombak senantiasa datang silih berganti, bahkan jika badai sedang tiba, perjalanan laut dari Pekanbaru ke Natuna bisa menjadi perjalanan maut yang harus ditempuh berhari-hari, atau seringkali Natuna menjadi The Forbidden Island, yang dilarang untuk dikunjungi melalui laut karena ganasnya ombak sangat mengancam keselamatan.
Jadi jangan bayangkan Natuna seperti kota kecamatan lainnya yang ada di pulau Jawa. Jumlah kendaraan roda empat masih sangat jarang, karena bisa dimaklumi, jalan raya disana lebih layak disebut sebagai gang daripada sebatang jalan. Sempit dan alakadarnya. Sepeda dan motor menjadi pilihan utama, bahkan untuk memiliki motor, kita gak perlu sibuk ngurus STNK dan BPKB, motor bodong pun masih bisa kita pake, jangan takut dengan polantas, karena polisi mana yang mau ditugaskan di Natuna, bahkan markas TNI AL pun kondisinya tidak lebih baik dari gubuk warung tuak, yang berlantai tanah dan berdinding serta beratapkan seng. Yang membedakan cuma kibaran bendera Merah Putih yang terpancang gagah di atas sebatang kayu bakau. Sungguh sangat menyedihkan..!
Tapi itu dulu, sekarang kondisinya sudah berubah total. Tidak perlu lagi merasa minder beridentitaskan warga Natuna. Ketika kandungan minyak dalam perut bumi di Riau daratan sudah jauh berkurang, Natuna kini menjelma menjadi pulau harapan dan primadona Indonesia di masa depan. Perhatian dunia tidak pernah terlepas dari titik hitam peta dunia yang menjadi wilayah terluar teritori NKRI.
Kandungan minyak dan gasnya yang sangat melimpah, dan konon menjadi salah satu cadangan migas terbesar dunia, serta posisi netralnya yang sangat setrategis dalam konteks konflik LCS, menjadikan pulau permai ini tidak pernah berhenti menebar seduction effect pada negara-negara yang terlibat langsung dalam kemelut LCS atau pun negara-negara penjarah sumber daya alam dunia. Adalah sebuah keputusan tepat yang sangat menyenangkan, sekaligus menenangkan ketika pemerintah memberikan fokus pada pengembangan pulau ini dari sisi militer.
Combat radius Sukhoi dari Natuna
Combat radius Sukhoi dari Natuna
Jangan berhenti hanya sampai pembentukan pangkalan utama TNI AL, nyatanya Natuna bukanlah sebuah pulau kerdil yang tidak memiliki karakter agraria. Natuna jauh lebih besar dari S’pore dan Batam, yang bahkan masih bisa dikembangkan menjadi sentra industri gula dan garam terbesar di Asia. Natuna bukanlah secuil wilayah datar, yang konon tidak cocok ditempati oleh skuadron heli Apache, dan Natuna bukanlah semata-mata tentang laut dan pantai. Natuna adalah segalanya, yang memiliki kelayakan dan nilai yang sangat strategis baik yang dimiliki oleh daratannya, laut, maupun wilayah udaranya. Bahkan jika pemerintah lebih serius, pembentukan sebuah Kodam di Natuna akan sama pentingnya dengan pengerahan pasukan kita di TimTim dulu.
Bisa dibayangkan jika pulau-pulau seperti Natuna, Tanjung Balai Karimun, Tanjung Pinang, Selat Panjang, sampai Pekanbaru dilengkapi piranti arhanud medium range, maka gugusan wilayah ini akan menjelma menjadi sosok seekor naga dengan bola dan lidah apinya yang menjulur, menyambut sahabat yang berniat baik, dan akan siap membakar dan menghanguskan siapun yang datang untuk menebar ancaman. Selamat datang TNI, selamat berbenah Natuna. Doa kami akan senantiasa ada untukmu. Jayalah NKRI..!

jkgr