Perang Dunia II (1939-1945) tak
bisa dilepaskan dari pulau-pulau Indonesia yang berada di bibir Samudra
Pasifik. Morotai dan Biak menjadi saksi bisu bagaimana pertempuran hebat
pernah terjadi di sana. Sayang, saksi sejarah itu kini hanya menyisakan
cuilan-cuilan besi tua yang terabaikan.
GUNAWAN SUTANTO, Morotai
AWAL Maret 1942, Jenderal Douglas
MacArthur bimbang saat mendapatkan perintah dari Presiden AS Franklin D.
Roosevelt (FDR) agar dirinya dan pasukannya mundur dari Filipina dan
menuju Australia. Presiden FDR melihat posisi Amerika sudah terdesak
setelah Pearl Harbour dibom Jepang pada Desember 1941.
Jenderal lulusan terbaik West Texas
Military Academy itu kemudian memanggil Mayjen Jonathan Wainwright di
Pulau Corregidor, Filipina. Di depan Wainwright, MacArthur mengucap
janji untuk kembali merebut Filipina. Dia berkata, “I came through and I
shall return.”
Hanya beberapa bulan setelah mundur dari
Filipina, MacArthur menepati janji itu. Dia merancang strategi jitu
dengan menguasai beberapa pulau di bibir Samudra Pasifik, salah satunya
Morotai di Maluku Utara. Strategi yang dikenal dengan lompat katak itu
dilakukan sebagai upaya untuk kembali menguasai Filipina.
Morotai yang awalnya sunyi mendadak
hiruk pikuk dengan kedatangan ribuan tentara sekutu beserta peralatan
tempur mereka. “Kata orang tua dulu, ramainya Jakarta di tahun '70-an
masih kalah dibanding ketika sekutu datang ke Morotai,” ujar Ikrap
Pawane, kepala kantor pos yang memiliki penginapan di Morotai, kepada
Jawa Pos yang menyusuri artefak Perang Dunia II di Morotai dua pekan
lalu.
Ditemani wartawan Maluku Pos (JPNN
Group) Fahrudin, saya ingin merasakan denyut Perang Dunia II di Morotai
72 tahun silam. Saya pergi ke Morotai dengan menyeberang melalui Tobelo,
Halmahera Utara. Perjalanan laut 2,5 jam itu akhirnya membawa saya
merapat ke Dermaga Daruba, Morotai, Sabtu siang (15/3).
Ketika itu jarum jam menunjukkan pukul
13.00 WIT (Waktu Indonesia Timur). Di luar dermaga nyaris tidak ada
aktivitas berarti, begitu pula sisa-sisa PD II. Tidak terlihat
peninggalan sejarah perang di sepanjang jalan utama Morotai. Padahal,
ribuan kendaraan dan persenjataan tempur pernah memenuhi pulau itu dan
banyak yang ditinggalkan oleh tentara sekutu maupun Jepang.
Siang itu Museum PD II yang didirikan
menjelang digelarnya event akbar Sail Morotai 2012 tak buka. Saya
kemudian memutuskan untuk mencari penginapan di pulau tersebut. Untung,
saya menemukan penginapan milik Ikrap Pawane yang putra asli Morotai.
Dari dia saya mendapatkan banyak cerita tentang bagaimana dulu
puing-puing PD II itu menemani masa kecilnya.
“Ketika SD saya mainnya di
pesawat-pesawat Amerika yang ditinggal di landasan terbang. Bahkan,
orang tua saya kalau menjemur sagu di sayap pesawat itu,” cerita Ikrap.
Namun, pada 1970-an akhir, pihak AS memutuskan untuk mengambil sejumlah
kendaraan tempur sisa PD II. Yang ditinggal hanya kendaraan yang rusak.
Warga Morotai menyebut Herlina, tokoh
Trikora, berperan atas raibnya kendaraan dan senjata tempur PD II.
Selain Herlina, rezim Orde Baru menyebut telah terjadi pengambilan
barang-barang peninggalan PD II yang kabarnya dibawa ke Australia.
Informasi itu dibenarkan Muhlis Eso, pemerhati sejarah yang konsisten
mengumpulkan sisa-sisa peninggalan PD II.
“Oleh warga di sini, barang-barang
peninggalan itu dijual sebagai besi tua. Sekilonya hanya dihargai seribu
rupiah,” jelas Muhlis.
Muhlis termasuk yang mengambil jalan
berbeda dari warga lain. Dia memilih tidak menjual barang-barang
peninggalan yang ditemukannya. Bahkan, dia memiliki museum pribadi untuk
menyimpan barang-barang temuannya itu. Koleksi Muhlis juga dipinjam
untuk mengisi Museum PD II di Morotai. Museum tersebut didirikan untuk
menyambut Sail Morotai dan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Minggu pagi (16/3), bersama dengan
Muhlis, saya blusukan ke wilayah di selatan Morotai. Kawasan selatan
menyimpan jejak pendaratan pasukan sekutu. Perjalanan kami mulai ke
daerah Tanah Tinggi yang berada di dekat pantai. Di semak-semak daerah
itu masih tersisa dua tank amfibi LVT-2.
Kendaraan perang itu berada di
semak-semak Tanah Tinggi karena rusak ditembaki saat berupaya masuk ke
daratan Morotai. Bekas tembakan-tembakan peluru tersebut masih terlihat
di tank amfibi itu. Sayang, hanya tersisa bangkai rangkanya. Mesin,
rantai, dan perabot lain sudah hilang.
Meski sudah ditetapkan sebagai cagar
budaya, masih terkesan pemda setempat tidak melakukan perawatan yang
berarti. Itu bisa dilihat dari bangkai tank amfibi yang menjadi sasaran
vandalisme. Belum lagi kondisi sekitar tank amfibi yang ditumbuhi
ilalang dan berlumpur.
Balai Pelestarian Cagar Budaya Ternate
yang menjadi kepanjangan tangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
hanya memasang plang dan membangun cungkup. “Yang biasa membersihkan
amfibi ini ya saya dan paman. Tapi, beberapa hari ini saya repot
sehingga belum sempat ke sini,” terang Muhlis.
“Dulu banyak tank serupa yang tertinggal di sini, tapi sekarang tinggal dua saja. Yang lain jadi korban besi tua,” tambahnya.
Saat menyeberang ke Morotai, di dalam
feri saya bertemu dengan seorang kuli besi tua dari Demak, Jawa Tengah.
Dia mengaku bernama Andik Setiawan. Andik lalu bercerita bahwa
keluarganya sejak awal 2000 mencari besi tua di Morotai dan Halmahera
Utara. Dia menuturkan, tak jarang besi tua itu berupa barang peninggalan
perang yang didapatkan dari warga.
“Kami belinya seribu, nanti dijual lagi ke pengepul tiga ribu,” terangnya.
Pengepul itu memotong-motong besi tua
dan mengirimkannya dengan kontainer dari Halmahera Utara kepada
pengusaha di Surabaya. Andik mengaku pernah mendapatkan meriam dari
warga seberat 1 ton.
Selain menunjukkan bangkai tank amfibi
yang masih tersisa, Muhlis mengajak saya ke beberapa tempat bersejarah
lain. Di antaranya, landasan pesawat tempur yang dibangun sekutu, Pitu
Strip, di Desa Wawama. Dinamai Pitu Strip karena di sana ada tujuh
landasan pesawat.
Pitu Strip dibangun setelah sekutu
berhasil masuk dan menguasai pesisir Pulau Morotai pada September 1944.
Sayang, saat itu hanya dua landasan yang bisa dilihat dengan mudah. Satu
di antaranya masih difungsikan dan menjadi bagian dari Bandara Leo
Wattimena di pangkalan udara TNI-AU.
Landasan lain sudah tertutup semak
belukar karena tidak pernah diurus. Tapi, saya berkesempatan berdiri dan
melihat kekarnya landasan tersebut. Muhlis menceritakan, landasan itu
dulu bisa digunakan untuk parkir mobil dan wira-wiri tiga ribu pesawat
yang diboyong MacArthur.
Meski beberapa bagian telah ditumbuhi
semak belukar, lapisan runway-nya masih utuh. Menurut Muhlis, landasan
itu kuat tak lain karena bahan yang digunakan berasal dari batu putih
yang diambil dari sekitar laut. “Cerita kakek saya, pembuatan landasan
ini dengan batu putih yang digerus dan disirami air,” ujar Muhlis, lalu
mencongkel lapisan batu di salah satu runway.
Seorang perwira di Lanud Leo Wattimena,
Letda Supriyono, mengungkapkan, landasan yang digunakan saat ini cukup
panjang dan sangat memungkinkan untuk pendaratan pesawat apa pun.
“Boeing pun bisa mulus mendarat di sini,” ujar perwira dari Jogjakarta
itu.
Saat ini baru ada satu pesawat perintis
yang seminggu tiga kali rutin melayani rute Ternate-Morotai. Persoalan
status pangkalan militer itulah yang mungkin tidak bisa membuat sejumlah
maskapai masuk ke Morotai.
Melihat langsung yang tersisa di
Landasan Pitu, saya tak bisa membayangkan bagaimana hiruk pikuk Morotai
kala itu. Pesawat yang mondar-mandir di langit dan kendaraan tempur yang
hilir mudik di jalanan. Saya jadi yakin akan cerita Ikrap Pawane.
MacArthur mengubah kesunyian Morotai menjadi pulau yang sibuk selama PD
II. Mengalahkan keramaian Jakarta kala itu.JPNN