Pages

Sunday, 30 March 2014

Menyusuri Kepingan Sejarah Perang Dunia II di Indonesia Timur




Perang Dunia II (1939-1945) tak bisa dilepaskan dari pulau-pulau Indonesia yang berada di bibir Samudra Pasifik. Morotai dan Biak menjadi saksi bisu bagaimana pertempuran hebat pernah terjadi di sana. Sayang, saksi sejarah itu kini hanya menyisakan cuilan-cuilan besi tua yang terabaikan.

GUNAWAN SUTANTO, Morotai
AWAL Maret 1942, Jenderal Douglas MacArthur bimbang saat mendapatkan perintah dari Presiden AS Franklin D. Roosevelt (FDR) agar dirinya dan pasukannya mundur dari Filipina dan menuju Australia. Presiden FDR melihat posisi Amerika sudah terdesak setelah Pearl Harbour dibom Jepang pada Desember 1941.
Jenderal lulusan terbaik West Texas Military Academy itu kemudian memanggil Mayjen Jonathan Wainwright di Pulau Corregidor, Filipina. Di depan Wainwright, MacArthur mengucap janji untuk kembali merebut Filipina. Dia berkata, “I came through and I shall return.”
Hanya beberapa bulan setelah mundur dari Filipina, MacArthur menepati janji itu. Dia merancang strategi jitu dengan menguasai beberapa pulau di bibir Samudra Pasifik, salah satunya Morotai di Maluku Utara. Strategi yang dikenal dengan lompat katak itu dilakukan sebagai upaya untuk kembali menguasai Filipina.
Morotai yang awalnya sunyi mendadak hiruk pikuk dengan kedatangan ribuan tentara sekutu beserta peralatan tempur mereka. “Kata orang tua dulu, ramainya Jakarta di tahun '70-an masih kalah dibanding ketika sekutu datang ke Morotai,” ujar Ikrap Pawane, kepala kantor pos yang memiliki penginapan di Morotai, kepada Jawa Pos yang menyusuri artefak Perang Dunia II di Morotai dua pekan lalu.
Ditemani wartawan Maluku Pos (JPNN Group) Fahrudin, saya ingin merasakan denyut Perang Dunia II di Morotai 72 tahun silam. Saya pergi ke Morotai dengan menyeberang melalui Tobelo, Halmahera Utara. Perjalanan laut 2,5 jam itu akhirnya membawa saya merapat ke Dermaga Daruba, Morotai, Sabtu siang (15/3).
Ketika itu jarum jam menunjukkan pukul 13.00 WIT (Waktu Indonesia Timur). Di luar dermaga nyaris tidak ada aktivitas berarti, begitu pula sisa-sisa PD II. Tidak terlihat peninggalan sejarah perang di sepanjang jalan utama Morotai. Padahal, ribuan kendaraan dan persenjataan tempur pernah memenuhi pulau itu dan banyak yang ditinggalkan oleh tentara sekutu maupun Jepang.
Siang itu Museum PD II yang didirikan menjelang digelarnya event akbar Sail Morotai 2012 tak buka. Saya kemudian memutuskan untuk mencari penginapan di pulau tersebut. Untung, saya menemukan penginapan milik Ikrap Pawane yang putra asli Morotai. Dari dia saya mendapatkan banyak cerita tentang bagaimana dulu puing-puing PD II itu menemani masa kecilnya.
“Ketika SD saya mainnya di pesawat-pesawat Amerika yang ditinggal di landasan terbang. Bahkan, orang tua saya kalau menjemur sagu di sayap pesawat itu,” cerita Ikrap. Namun, pada 1970-an akhir, pihak AS memutuskan untuk mengambil sejumlah kendaraan tempur sisa PD II. Yang ditinggal hanya kendaraan yang rusak.
Warga Morotai menyebut Herlina, tokoh Trikora, berperan atas raibnya kendaraan dan senjata tempur PD II. Selain Herlina, rezim Orde Baru menyebut telah terjadi pengambilan barang-barang peninggalan PD II yang kabarnya dibawa ke Australia. Informasi itu dibenarkan Muhlis Eso, pemerhati sejarah yang konsisten mengumpulkan sisa-sisa peninggalan PD II.
“Oleh warga di sini, barang-barang peninggalan itu dijual sebagai besi tua. Sekilonya hanya dihargai seribu rupiah,” jelas Muhlis.
Muhlis termasuk yang mengambil jalan berbeda dari warga lain. Dia memilih tidak menjual barang-barang peninggalan yang ditemukannya. Bahkan, dia memiliki museum pribadi untuk menyimpan barang-barang temuannya itu. Koleksi Muhlis juga dipinjam untuk mengisi Museum PD II di Morotai. Museum tersebut didirikan untuk menyambut Sail Morotai dan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Minggu pagi (16/3), bersama dengan Muhlis, saya blusukan ke wilayah di selatan Morotai. Kawasan selatan menyimpan jejak pendaratan pasukan sekutu. Perjalanan kami mulai ke daerah Tanah Tinggi yang berada di dekat pantai. Di semak-semak daerah itu masih tersisa dua tank amfibi LVT-2.
Kendaraan perang itu berada di semak-semak Tanah Tinggi karena rusak ditembaki saat berupaya masuk ke daratan Morotai. Bekas tembakan-tembakan peluru tersebut masih terlihat di tank amfibi itu. Sayang, hanya tersisa bangkai rangkanya. Mesin, rantai, dan perabot lain sudah hilang.
Meski sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, masih terkesan pemda setempat tidak melakukan perawatan yang berarti. Itu bisa dilihat dari bangkai tank amfibi yang menjadi sasaran vandalisme. Belum lagi kondisi sekitar tank amfibi yang ditumbuhi ilalang dan berlumpur.
Balai Pelestarian Cagar Budaya Ternate yang menjadi kepanjangan tangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya memasang plang dan membangun cungkup. “Yang biasa membersihkan amfibi ini ya saya dan paman. Tapi, beberapa hari ini saya repot sehingga belum sempat ke sini,” terang Muhlis.
“Dulu banyak tank serupa yang tertinggal di sini, tapi sekarang tinggal dua saja. Yang lain jadi korban besi tua,” tambahnya.
Saat menyeberang ke Morotai, di dalam feri saya bertemu dengan seorang kuli besi tua dari Demak, Jawa Tengah. Dia mengaku bernama Andik Setiawan. Andik lalu bercerita bahwa keluarganya sejak awal 2000 mencari besi tua di Morotai dan Halmahera Utara. Dia menuturkan, tak jarang besi tua itu berupa barang peninggalan perang yang didapatkan dari warga.
“Kami belinya seribu, nanti dijual lagi ke pengepul tiga ribu,” terangnya.
Pengepul itu memotong-motong besi tua dan mengirimkannya dengan kontainer dari Halmahera Utara kepada pengusaha di Surabaya. Andik mengaku pernah mendapatkan meriam dari warga seberat 1 ton.
Selain menunjukkan bangkai tank amfibi yang masih tersisa, Muhlis mengajak saya ke beberapa tempat bersejarah lain. Di antaranya, landasan pesawat tempur yang dibangun sekutu, Pitu Strip, di Desa Wawama. Dinamai Pitu Strip karena di sana ada tujuh landasan pesawat.
Pitu Strip dibangun setelah sekutu berhasil masuk dan menguasai pesisir Pulau Morotai pada September 1944. Sayang, saat itu hanya dua landasan yang bisa dilihat dengan mudah. Satu di antaranya masih difungsikan dan menjadi bagian dari Bandara Leo Wattimena di pangkalan udara TNI-AU.
Landasan lain sudah tertutup semak belukar karena tidak pernah diurus. Tapi, saya berkesempatan berdiri dan melihat kekarnya landasan tersebut. Muhlis menceritakan, landasan itu dulu bisa digunakan untuk parkir mobil dan wira-wiri tiga ribu pesawat yang diboyong MacArthur.
Meski beberapa bagian telah ditumbuhi semak belukar, lapisan runway-nya masih utuh. Menurut Muhlis, landasan itu kuat tak lain karena bahan yang digunakan berasal dari batu putih yang diambil dari sekitar laut. “Cerita kakek saya, pembuatan landasan ini dengan batu putih yang digerus dan disirami air,” ujar Muhlis, lalu mencongkel lapisan batu di salah satu runway.
Seorang perwira di Lanud Leo Wattimena, Letda Supriyono, mengungkapkan, landasan yang digunakan saat ini cukup panjang dan sangat memungkinkan untuk pendaratan pesawat apa pun. “Boeing pun bisa mulus mendarat di sini,” ujar perwira dari Jogjakarta itu.
Saat ini baru ada satu pesawat perintis yang seminggu tiga kali rutin melayani rute Ternate-Morotai. Persoalan status pangkalan militer itulah yang mungkin tidak bisa membuat sejumlah maskapai masuk ke Morotai.
Melihat langsung yang tersisa di Landasan Pitu, saya tak bisa membayangkan bagaimana hiruk pikuk Morotai kala itu. Pesawat yang mondar-mandir di langit dan kendaraan tempur yang hilir mudik di jalanan. Saya jadi yakin akan cerita Ikrap Pawane. MacArthur mengubah kesunyian Morotai menjadi pulau yang sibuk selama PD II. Mengalahkan keramaian Jakarta kala itu.

JPNN