Pengumuman jam malam (avondklok) pada masa bahaya dan perang. Foto: KITLV.
JAM malam (avondklok),
larangan berada dan berkegiatan di luar rumah di malam hari pada jam
tertentu, biasanya diberlakukan dalam keadaan bahaya –seperti menghadapi
pemberontakan atau pengambil-alihan kekuasaan– dan perang.
Dalam sejarah Indonesia, beberapa
peristiwa mendorong pemberlakuan jam malam. Pada Oktober 1740, penguasa
VOC membantai ribuan etnis Tionghoa di Batavia karena khawatir akan
kemampuan mereka dalam berdagang maupun berbaur dengan warga pribumi.
Kaum Tionghoa melakukan perlawanan, tapi dipukul mundur. Melihat situasi semakin genting, sejak 8 Oktober 1740,
Gubernur Jenderal Valckenier memberlakukan jam malam bagi warga
Tionghoa. Akibatnya, persiapan perayaan Tionghoa secara besar-besaran
dibatalkan.
“Mereka harus tinggal di dalam rumah
dalam keadaan gelap gulita karena tidak diperkenankan untuk menyalakan
api untuk penerangan sekalipun,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik. Pemberlakuan jam malam disertai dengan larangan menyalakan penerangan.
Jam malam intens diberlakukan di masa
perang. Penguasa Belanda memberlakukan jam malam pada awal Perang
Pasifik dan semakin diperketat sejak Singapura bertekuk lutut kepada
Jepang. Di pengujung kekuasaannya pada Maret 1942, Belanda mengumumkan
keadaan dalam bahaya dan perang. Malam pun menjadi kelabu dan rawan.
Jalanan sepi dan lengang. Rumah-rumah penduduk gelap tanpa lampu.
“Berlakulah jam malam, dan aksi pemadaman lampu penerangan,” kata Saifuddin Zuhri dalam Guruku, Orang-orang dari Pesantren. Istilahnya LDB (Lucht Beschermen Dienst) atau dinas penjagaan dari bahaya serangan udara. Tetapi, rakyat mengartikannya: Lampu pejah Bom Dawah (lampu mati dan bom pun jatuh). Rapat-rapat dan pertemuan harus meminta izin penguasa.
Segera setelah Jepang mendarat di Jawa,
Jepang mengumumkan jam malam masih tetap berlaku. Baru pada 5 Juni 1942
ketentuan jam malam dihapuskan. Menjelang kekalahannya, Jepang
memberlakukan jam malam karena berperang dengan Sekutu.
“Begitu matahari tak terlihat di ufuk
barat, semua lampu di seluruh kota dimatikan. Kompleks-kompleks yang
dipandang strategis seperti tempat tinggal dan perkantoran tidak boleh
membiaskan cahaya ke langit. Oleh Jepang, ini bahkan diwajibkan,” kata
Kris Biantoro dalam otobiografinya, Manisnya Ditolak. Larangan menyalakan lampu itu karena akan menjadi sinyal bagi pesawat pengebom Sekutu.
Menurut Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika?, karena
aturan jam malam dan pemadaman lampu selama perang tidak dicabut sampai
23 Agustus 1945, seminggu sesudah 17 Agustus 1945, Proklamasi tidak
langsung memicu gelora semangat rakyat di kota Surabaya.
“Baru setelah beberapa lama pasar malam
buka kembali dan orang-orang mulai melakukan kegiatan sosial dan
jual-beli yang secara tradisional dilakukan pada malam hari,” tulis
Gouda dan Zaalberg.
Tidak lama kemudian Sekutu datang. Sejak
11 November 1945, Sekutu memberlakukan jam malam dari pukul 18.00
sampai 06.00. Ketika mengambil-alih pendudukan Indonesia dari Sekutu,
Belanda memberlakukan jam malam terutama ketika melancarkan agresi
militer. Mereka yang terpaksa melakukan perjalanan malam harus memiliki
pas khusus dari pihak berwajib.
Pergolakan di beberapa daerah, seperti gerakan RMS (Republik Maluku Selatan), PRRI/Permesta, dan DI/TII SM Kartosuwiryo,
mendorong pemerintah daerah memberlakukan jam malam. Begitu pula
pascaperistiwa Gerakan 30 september 1965, di berbagai daerah
diberlakukan jam malam, dan pada saat itulah tentara melakukan
penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang terkait PKI
–dituduh sebagai dalang G30S.
Jam malam juga diberlakukan di Jakarta pascaperistiwa Malari (15 Januari 1974). Pergolakan daerah terakhir yang diberlakukan jam malam adalah Darurat Militer di Aceh pada 2003-2004.
Setelah reformasi, beberapa daerah
memberlakukan jam malam, bahkan dalam bentuk peraturan daerah, dengan
alasan lain –bukan karena bahaya apalagi perang. Masyarakat keberatan
karena dianggap mendiskreditkan, terutama perempuan, seperti aturan jam
malam di Kota Tangerang dan Kabupaten Bulukumba. Aturan jam malam bagi
tempat hiburan malam di Jawa Barat malah menimbulkan masalah baru.
Tampaknya, jam malam harus ditinjau kembali.historia