Museum Didirikan Hanya untuk Sambut Sail Morotai
Jenderal Douglas MacArthur
benar-benar menjadikan Morotai pusat kekuatan sekutu untuk memereteli
dominasi Jepang di kawasan Pasifik. Di kepulauan itu, dia membangun
kekuatan logistik hingga strategi perang.
Laporan Gunawan Sutanto, MOROTAI
SEBUAH ceruk mirip gua tak jauh dari
Landasan Pitu Strip menjadi bukti bagaimana Jenderal Douglas MacArthur
tak sekadar ingin mengusir Jepang dari Morotai. Dia juga ingin
menjadikan pulau itu pusat kekuatan sekutu untuk membombardir Jepang
yang menguasai Pasifik.
Di ceruk itu terdapat sumber air yang
dikenal masyarakat dengan nama Air Kaca. Meski berstatus situs
purbakala, keberadaan tempat itu tak terurus. Pemerintah daerah hanya
memermak Air Kaca sesaat sebelum Sail Morotai 2012, perhelatan akbar
kelautan yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Seusai penyelenggaraan Sail Morotai
2012, nasib Air Kaca tak ubahnya petilasan sejarah Perang Dunia (PD) II
lainnya. Tak terawat dan bergantung kepada pengelola tanah ulayat.
Sumber air itu memang berada di tanah adat. Tanah itu kini dikelola
secara swadaya oleh seorang warga bernama Syukur Kuseke.
Syukur mengatakan, menurut cerita orang
tuanya, Air Kaca sudah ada sejak zaman nenek moyang dulu. Namun, oleh
MacArthur dibangun kembali menjadi tempat persediaan air bersih. “Orang
tahunya sebagai tempat mandi MacArthur, padahal fungsinya lebih dari
itu. Tempat ini menjadi sumber air bersih untuk segala kebutuhan pasukan
sekutu,” papar pria 43 tahun itu.
Sumber air itu berada masuk dari jalan
raya. Pengunjung harus menuruni jalan setapak sedalam sekitar 3,5 meter.
Di atasnya tumbuh pohon tua yang rindang. Hawanya sejuk, apalagi ketika
angin laut berembus.
Sisa-sisa bangunan era sekutu masih
terlihat. Misalnya fondasi yang digunakan untuk menempatkan mesin pompa
air. ’’Dulunya air bersih dari sini juga dialirkan hingga Pulau
Zum-Zum,” kata Syukur.
Pulau Zum-Zum terletak di gugusan Kepulauan Morotai. Dulu pernah digunakan sebagai “rumah dinas” dan pusat komando MacArthur.
Sumber air berbentuk kolam itu, kata
Syukur, punya kedalaman bervariasi. Berkisar 3–8 meter. Syukur mengelola
tempat itu secara swadaya sejak 2009 menggantikan kakeknya. Dia pernah
mengajukan proposal ke pemerintah setempat untuk membenahi situs sejarah
itu. Namun, tidak direspons hingga sekarang ini. "Mereka turun ketika
akan digelar Sail Morotai 2012. Setelah itu, ya cuek saja," ungkapnya.
Respons positif justru datang dari
keluarga tentara sekutu yang pernah terlibat dalam PD II di Morotai.
Salah satunya Geoff Fox, anak serdadu Australia yang terlibat dalam
Battle of Morotai dalam PD II. "Dia (Geoff Fox, Red) menanam seratus
pohon di sini dan memasang banner PD II ini," ujar Syukur.
Dari Air Kaca, perjalanan saya lanjutkan
ke Pulau Zum-Zum. Dengan perahu motor, diperlukan waktu 15 menit untuk
menyeberang dari Daruba ke Zum-Zum. Begitu kapal motor merapat di
dermaga kayu pulau itu, pengunjung seolah dibawa ke era PD II.
Di pulau yang dikenal dengan nama
MacArthur Island itu, pengunjung bisa melihat bangkai kapal sekutu
terkubur di pasir laut pelabuhan tersebut. “Menurut cerita, kapal sekutu
karam setelah diserang Jepang dan akhirnya terkubur pasir seperti ini,”
ujar Muhlis Eso, pemerhati sejarah yang konsisten mengumpulkan
sisa-sisa peninggalan PD II.
Menurut Muhlis, sebenarnya di Selat
Morotai masih banyak sisa kendaraan tempur milik sekutu yang karam.
Mulai pesawat, mobil Jeep hingga truk pasukan. Belum banyak yang
mengambil bangkai besi itu karena memang tidak mudah mengangkatnya ke
daratan. “Ini sebagian bangkai kendaraan tempur yang ada di dalam laut
sini,” kata Muhlis sambil menunjukkan foto-foto bangkai kendaraan sekutu
mobil itu.
Sepulang dari Pulau Zum-Zum ke Morotai,
Muhlis memamerkan Museum PD II yang dibangun untuk menyambut Sail
Morotai 2012. Di dalam museum yang tak begitu luas itu, seluruh
koleksinya milik Muhlis. Mulai peralatan makan, senjata SMB 12,7,
selongsong peluru, meriam, mesin sandi, hingga puluhan keping dog tag.
Museum itu didirikan hanya untuk
menyambut even akbar tersebut. Setelah itu, perawatan dan pengelolaannya
diserahkan kepada Muhlis. Pemerintah seakan tak mengurusi lagi,
termasuk membiayai operasinya. Akibatnya, Muhlis pun tidak bisa maksimal
mengurusnya. Dia baru mau membuka dan membersihkan museum itu jika ada
waktu luang.
Tak jauh dari sumber Air Kaca,
pemerintah pusat kini tengah membangun Monumen PD II dan Trikora di
pesisir Morotai. Tapi, belum jelas apa saja benda-benda bersejarah yang
dipamerkan dan siapa kelak yang mengelolanya.
Menurut cerita orang-orang tua kepada
Muhlis, peran Morotai dalam PD II begitu sentral. Bahkan, pesawat B-29
Superfoster yang membawa bom atom sebelum diledakkan di Hiroshima dan
Nagasaki (Jepang) sempat transit di Landasan Pitu. “Kata kakek saya,
ketika pesawat itu transit di sini, warga diminta menjauh dari Landasan
Pitu hingga beberapa kilometer karena khawatir terjadi apa-apa dengan
bom itu,” paparnya.
Selain menyuguhkan benda sisa PD II yang
kini jumlahnya makin sedikit, Morotai masih menyimpan misteri tentang
keberadaan tentara Jepang yang melarikan diri dan diduga masih hidup di
hutan Morotai. Seperti diketahui, pada 1974 atau 30 tahun setelah PD II,
di hutan Morotai ditemukan seorang prajurit Jepang bernama Teruo
Nakamura. Tentara dari Kekaisaran Jepang itu bersembunyi di hutan Galoka
karena menolak menyerah kepada sekutu. Nakamura ditemukan tim pencari
dari TNI-AU atas permintaan bantuan dari Jepang.
“Orang sini masih yakin ada prajurit
lain yang bersembunyi di hutan Morotai. Kami mengenalnya dengan nama
Murita,” kata Muhlis yang dua tahun lalu ikut tim pencari tentara Jepang
yang masuk ke hutan.
“Saya masuk ke hutan dengan tujuan ke
titik di mana orang sering melihat sosok Murita. Ketika itu ada tembakan
yang diarahkan kepada kami,” cerita Muhlis.
Tim yakin desing peluru itu keluar dari
senapan milik tentara Jepang. Bukti lain adalah ditemukannya puluhan
senjata di dalam hutan. Bapak enam anak itu kemudian mengantarkan saya
ke sejumlah warga yang mengaku pernah bertemu dengan sosok Murita. Warga
itu kebetulan merupakan korban konflik agama di Maluku yang melarikan
diri ke hutan pada 2000-an.
Sosok Murita diperkirakan kini berusia
90 tahun. Menurut Muhlis, hal itu masuk akal karena sejumlah prajurit
angkatan darat dari Kekaisaran Jepang yang dibawa ke Morotai waktu itu
berstatus wajib militer. Mereka dibawa dari Taiwan yang ketika itu masih
menjadi koloni Jepang. Usia mereka yang wajib militer kebanyakan masih
belasan tahun.
Misteri persembunyian Murita itu hingga
kini masih membuat penasaran sebagian warga. Yang jelas, Morotai
menyimpan cerita-cerita sejarah PD II. Mestinya kisah itu tak hanya
cukup dikenang lewat museum tanpa penjagaJPNN