Pages

Sunday, 30 March 2014

Menyusuri Kepingan Sejarah Perang Dunia II di Indonesia Timur

Museum Didirikan Hanya untuk Sambut Sail Morotai




Jenderal Douglas MacArthur benar-benar menjadikan Morotai pusat kekuatan sekutu untuk memereteli dominasi Jepang di kawasan Pasifik. Di kepulauan itu, dia membangun kekuatan logistik hingga strategi perang.

Laporan Gunawan Sutanto, MOROTAI
SEBUAH ceruk mirip gua tak jauh dari Landasan Pitu Strip menjadi bukti bagaimana Jenderal Douglas MacArthur tak sekadar ingin mengusir Jepang dari Morotai. Dia juga ingin menjadikan pulau itu pusat kekuatan sekutu untuk membombardir Jepang yang menguasai Pasifik.
Di ceruk itu terdapat sumber air yang dikenal masyarakat dengan nama Air Kaca. Meski berstatus situs purbakala, keberadaan tempat itu tak terurus. Pemerintah daerah hanya memermak Air Kaca sesaat sebelum Sail Morotai 2012, perhelatan akbar kelautan yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Seusai penyelenggaraan Sail Morotai 2012, nasib Air Kaca tak ubahnya petilasan sejarah Perang Dunia (PD) II lainnya. Tak terawat dan bergantung kepada pengelola tanah ulayat. Sumber air itu memang berada di tanah adat. Tanah itu kini dikelola secara swadaya oleh seorang warga bernama Syukur Kuseke.
Syukur mengatakan, menurut cerita orang tuanya, Air Kaca sudah ada sejak zaman nenek moyang dulu. Namun, oleh MacArthur dibangun kembali menjadi tempat persediaan air bersih. “Orang tahunya sebagai tempat mandi MacArthur, padahal fungsinya lebih dari itu. Tempat ini menjadi sumber air bersih untuk segala kebutuhan pasukan sekutu,” papar pria 43 tahun itu.
Sumber air itu berada masuk dari jalan raya. Pengunjung harus menuruni jalan setapak sedalam sekitar 3,5 meter. Di atasnya tumbuh pohon tua yang rindang. Hawanya sejuk, apalagi ketika angin laut berembus.
Sisa-sisa bangunan era sekutu masih terlihat. Misalnya fondasi yang digunakan untuk menempatkan mesin pompa air. ’’Dulunya air bersih dari sini juga dialirkan hingga Pulau Zum-Zum,” kata Syukur.
Pulau Zum-Zum terletak di gugusan Kepulauan Morotai. Dulu pernah digunakan sebagai “rumah dinas” dan pusat komando MacArthur.
Sumber air berbentuk kolam itu, kata Syukur, punya kedalaman bervariasi. Berkisar 3–8 meter. Syukur mengelola tempat itu secara swadaya sejak 2009 menggantikan kakeknya. Dia pernah mengajukan proposal ke pemerintah setempat untuk membenahi situs sejarah itu. Namun, tidak direspons hingga sekarang ini. "Mereka turun ketika akan digelar Sail Morotai 2012. Setelah itu, ya cuek saja," ungkapnya.
Respons positif justru datang dari keluarga tentara sekutu yang pernah terlibat dalam PD II di Morotai. Salah satunya Geoff Fox, anak serdadu Australia yang terlibat dalam Battle of Morotai dalam PD II. "Dia (Geoff Fox, Red) menanam seratus pohon di sini dan memasang banner PD II ini," ujar Syukur.
Dari Air Kaca, perjalanan saya lanjutkan ke Pulau Zum-Zum. Dengan perahu motor, diperlukan waktu 15 menit untuk menyeberang dari Daruba ke Zum-Zum. Begitu kapal motor merapat di dermaga kayu pulau itu, pengunjung seolah dibawa ke era PD II.
Di pulau yang dikenal dengan nama MacArthur Island itu, pengunjung bisa melihat bangkai kapal sekutu terkubur di pasir laut pelabuhan tersebut. “Menurut cerita, kapal sekutu karam setelah diserang Jepang dan akhirnya terkubur pasir seperti ini,” ujar Muhlis Eso, pemerhati sejarah yang konsisten mengumpulkan sisa-sisa peninggalan PD II.  
Menurut Muhlis, sebenarnya di Selat Morotai masih banyak sisa kendaraan tempur milik sekutu yang karam. Mulai pesawat, mobil Jeep hingga truk pasukan. Belum banyak yang mengambil bangkai besi itu karena memang tidak mudah mengangkatnya ke daratan. “Ini sebagian bangkai kendaraan tempur yang ada di dalam laut sini,” kata Muhlis sambil menunjukkan foto-foto bangkai kendaraan sekutu mobil itu.
Sepulang dari Pulau Zum-Zum ke Morotai, Muhlis memamerkan Museum PD II yang dibangun untuk menyambut Sail Morotai 2012. Di dalam museum yang tak begitu luas itu, seluruh koleksinya milik Muhlis. Mulai peralatan makan, senjata SMB 12,7, selongsong peluru, meriam, mesin sandi, hingga puluhan keping dog tag.
Museum itu didirikan hanya untuk menyambut even akbar tersebut. Setelah itu, perawatan dan pengelolaannya diserahkan kepada Muhlis. Pemerintah seakan tak mengurusi lagi, termasuk membiayai operasinya. Akibatnya, Muhlis pun tidak bisa maksimal mengurusnya. Dia baru mau membuka dan membersihkan museum itu jika ada waktu luang.
Tak jauh dari sumber Air Kaca, pemerintah pusat kini tengah membangun Monumen PD II dan Trikora di pesisir Morotai. Tapi, belum jelas apa saja benda-benda bersejarah yang dipamerkan dan siapa kelak yang mengelolanya. 
Menurut cerita orang-orang tua kepada Muhlis, peran Morotai dalam PD II begitu sentral. Bahkan, pesawat B-29 Superfoster yang membawa bom atom sebelum diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki (Jepang) sempat transit di Landasan Pitu. “Kata kakek saya, ketika pesawat itu transit di sini, warga diminta menjauh dari Landasan Pitu hingga beberapa kilometer karena khawatir terjadi apa-apa dengan bom itu,” paparnya.
Selain menyuguhkan benda sisa PD II yang kini jumlahnya makin sedikit, Morotai masih menyimpan misteri tentang keberadaan tentara Jepang yang melarikan diri dan diduga masih hidup di hutan Morotai. Seperti diketahui, pada 1974 atau 30 tahun setelah PD II, di hutan Morotai ditemukan seorang prajurit Jepang bernama Teruo Nakamura. Tentara dari Kekaisaran Jepang itu bersembunyi di hutan Galoka karena menolak menyerah kepada sekutu. Nakamura ditemukan tim pencari dari TNI-AU atas permintaan bantuan dari Jepang.
“Orang sini masih yakin ada prajurit lain yang bersembunyi di hutan Morotai. Kami mengenalnya dengan nama Murita,” kata Muhlis yang dua tahun lalu ikut tim pencari tentara Jepang yang masuk ke hutan.
“Saya masuk ke hutan dengan tujuan ke titik di mana orang sering melihat sosok Murita. Ketika itu ada tembakan yang diarahkan kepada kami,” cerita Muhlis.
Tim yakin desing peluru itu keluar dari senapan milik tentara Jepang. Bukti lain adalah ditemukannya puluhan senjata di dalam hutan. Bapak enam anak itu kemudian mengantarkan saya ke sejumlah warga yang mengaku pernah bertemu dengan sosok Murita. Warga itu kebetulan merupakan korban konflik agama di Maluku yang melarikan diri ke hutan pada 2000-an.
Sosok Murita diperkirakan kini berusia 90 tahun. Menurut Muhlis, hal itu masuk akal karena sejumlah prajurit angkatan darat dari Kekaisaran Jepang yang dibawa ke Morotai waktu itu berstatus wajib militer. Mereka dibawa dari Taiwan yang ketika itu masih menjadi koloni Jepang. Usia mereka yang wajib militer kebanyakan masih belasan tahun.
Misteri persembunyian Murita itu hingga kini masih membuat penasaran sebagian warga. Yang jelas, Morotai menyimpan cerita-cerita sejarah PD II. Mestinya kisah itu tak hanya cukup dikenang lewat museum tanpa penjaga

JPNN